Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Di Pasar Wae Kesambi, Cara Singkat Mengenal Kehidupan Labuan Bajo

Saat kunjungan ketiga ke Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur, Januari 2018, salah satu yang saya kunjungi adalah Pasar Wae Kesambi

10 Juli 2018 | 16.24 WIB

Suasana di Pasar Wae Kesambi, Labuan Bajo, Flores, NTT, Januari, 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana
Perbesar
Suasana di Pasar Wae Kesambi, Labuan Bajo, Flores, NTT, Januari, 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Labuan Bajo - Saat kunjungan ketiga kalinya ke Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur, Januari 2018, salah satu yang saya kunjungi adalah Pasar Wae Kesambi. Seorang pemilik kapal bernama Lulang membisiki saya bahwa pasar itu layak disambangi, "Jika ingin mengenal kehdupan asli Labuan Bajo," kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya dan Lulang belum pernah bertemu sebelumnya. Namun ia menjadi kawan baik saya selama di kota ujung barat Pulau Flores itu. Seseorang di kapal feri yang saya tunggangi dari Bima menuju Labuan Bajo-lah yang mengenalkan saya pada Lulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Lulang berasal dari Bugis. Keluarganya tinggal di Pulau Kukusan. Mereka berprofesi sebagai nelayan. Sedangkan Lulang baru-baru ini menjadi penyewa sailing boat.

Maka, sagi-pagi benar, pada hari ketiga, saya berkendara ke Pasar Wae Kesambi. Tak sulit menemukan pasar itu. Letaknya di jalan protokol, dekat dengan tempat wisata Gua Batu Cermin dan kantor Polres Manggarai Barat.

Dari Kampung Ujung, tempat menginapnya para backpacker, saya menempuh waktu lebih-kurang 15 menit sampai ke pasar itu. Di sepanjang jalan, saya melihat wajah-wajah yang lain.

Berbeda dengan di kawasan pesisir, di perjalanan hingga tiba di pintu gerbang pasar, saya menemui banyak orang dengan karakter wajah khas timur. Alis-alis mereka lebih tebal daripada orang yang saya temui di pesisir. Mereka tersenyum setiap kali berpapasan mata dengan saya.

Saya pernah mendengar, Flores memiliki julukan sebagai pulau seribu senyum. Di sinilah saya menjumpainya, di Pasar Wae Kesambi.

Kala itu saya datang pukul 06.00. Namun pasar masih sepi. Hanya ada beberapa pedagang menata sayurannya. Seorang mama berusia lebih-kurang 50 tahun memberi tahu bahwa derik aktivitas jual-beli baru mulai pukul 07.30.

Mereka, kata mama itu, lebih dulu ibadah sebelum berkegiatan di pasar. Atau juga memberi makan hewan ternak. Memang, sepanjang perjalanan tadi, saya menyaksikan orang-orang berbaris rapi jalan kaki menuju gereja. Ada beberapa gereja Katolik di sisi atas Labuan Bajo.

Menjelang pukul 07.00, pasar pun mulai ramai. Orang-orang mulai datang. Saya berkeliling pasar yang tidak terlampau luas itu sampai tiga kali.

Bagian paling muka ialah tempat orang-orang berjualan ikan. Para pedagang ikan biasanya berasal dari wilayah pesisir. Mereka kebanyakan pendatang seperti yang saya temui di sekitar pelabuhan.

Ada macam-macam ikan yang mereka jual. Dari ikan kering, hingga yang basah. Harga ikan yang mereka jual rata-rata lebih mahal Rp 1.000 per kilogram daripada harga yang ditawarkan di Tempat Pelelangan Ikan Labuan Bajo, dekat pelabuhan.

Sedangkan di bagian tengah umumnya diisi oleh pedagang-pedagang asli Manggarai Barat. Mereka menjual berbagai jenis sayuran yang diambil langsung dari Ruteng.

Seorang warga asal Sumatera Utara, yang lama tinggal di Bajo bernama Papa Jo, bilang, Labuan Bajo tak terlampau subur tanahnya. Tumbuhan yang dapat dipanen di sana hanya singkong beserta daunnya dan jagung. Maka itu, untuk memenuhi asupan sayur lain, seperti bayam merah, mereka harus memasok dari Ruteng.

Bagian belakang pasar diisi oleh penjaja kudapan ringan. Beragam kue untuk sarapan, seperti bapalaya dan jintan dijual di sana. Uniknya, para pedagangnya ialah orang-orang Bugis. Saya ingat kata Lulang bahwa ragam variasi makanan di Bajo biasanya dibawa dari Bugis.

Di Pasar Wae Kesambi, terjadi interaksi menarik antara pendatang dan warga asli. Mereka berbicara dengan bahasa Manggarai Barat, tapi logatnya berbeda. Tuturan orang Flores asli terdengar lebih medok dan banyak menambahkan kata 'kah' pada akhir kalimat mereka. Intonasinya pun lebih meliuk.

Sepanjang nongkrong di Pasar Wae Kesambi, saya menyaksikan dua wajah Labuan Bajo. Wajah bagi orang asli dan pendatang. Di sana terjadi komunikasi yang harmonis di tengah perbedaan yang cukup kental.

Di sana pula terjadi pertukaran informasi mengenai hal-hal yang dibawa dari pesisir dan pegunungan. Pasar itulah pusat informasi teraktual bagi warga setempat yang belum mengenal sarana komunikasi modern.

Pasar Wae Kesambi adalah sisi lain yang eksotis dari Labuan Bajo, di balik Pulau Padar yang populer dan keberadaan komodo yang mendunia. Di sinilah Labuan Bajo hidup, nyata. Di sinilah potret realitas yang sebenar-benarnya.

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus