Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

DI Yogyakarta Berulang Tahun ke-269, Tiga Lokasi Makam Pendiri Mataram Jadi Pusat Ziarah

Tiga makam yang disambangi merupakan tempat disemayamkannya raja-raja Keraton Yogyakarta, para adipati Puro Pakualaman, serta leluhur Kerajaan Mataram

8 Maret 2024 | 13.00 WIB

Ziarah ke makam Kotagede Yogyakarta pada Kamis, 6 Maret 2024 digelar menjelang peringatan hari jadi ke-269 DIY (Dok. Istimewa)
Perbesar
Ziarah ke makam Kotagede Yogyakarta pada Kamis, 6 Maret 2024 digelar menjelang peringatan hari jadi ke-269 DIY (Dok. Istimewa)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Yogyakarta - Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY akan berulang tahun ke 269 pada 13 Maret 2024 mendatang. Menjelang hari jadi itu, masyarakat dan jajaran pemerintah DIY pun menggelar ziarah dan tabur bunga ke makam-makam pendiri Kerajaan Mataram di Yogyakarta pada Kamis, 6 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ada tiga lokasi makam pendiri Kerajaan Mataram yang disambangi, yakni Astana Kuthagede di Kota Yogyakarta, Astana Pajimatan di Imogiri Kabupaten Bantul, dan Astana Girigondo di Kabupaten Kulon Progo. Tiga makam itu merupakan tempat disemayamkannya raja-raja Keraton Yogyakarta, para adipati Puro Pakualaman, serta leluhur Kerajaan Mataram yang berjasa di masa silam dalam melahirkan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

" Ziarah di tiga astana itu sebagai upaya mengenang semangat dari leluhur yang dulu gigih berjuang menentang kolonialisme," ujar Sekda DIY Beny Suharsono yang memimpin rombongan dari Pemda DIY dan kepala daerah kabupaten/kota, Kamis.

Ziarah ke makam Kotagede Yogyakarta pada Kamis, 6 Maret 2024 digelar menjelang peringatan hari jadi ke-269 DIY (Dok. Istimewa)

Cikal Bakal DI Yogyakarta

Beny mengatakan berdirinya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang menjadi cikal bakal Daerah Istimewa Yogyakarta itu merupakan sebuah perjuangan panjang Pangeran Mangkubumi melawan penindasan dan kekuasaan VOC, serta menentang adanya campur tangan VOC Belanda terhadap Mataram kala itu. Di saat Kerajaan Mataram Islam melemah karena pengaruh VOC, Pangeran Mangkubumi tampil menjadi sosok yang memperjuangkan kedaulatan Mataram melawan penindasan VOC.

Perlawanan bersenjata tersebut berlangsung selama sembilan tahun, hingga terjadinya Perjanjian Giyanti pada 1755, yang kemudian disusul dengan peristiwa Hadeging atau berdirinya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat.

"Peristiwa tersebut terjadi pada hari Kamis Pon, tanggal 29 Jumadil’awal tahun Be 1680, bertepatan dengan 13 Maret 1755," kata dia.

Lalu Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I memproklamirkan Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat (separo Nagari Mataram). 

"Peristiwa tersebut yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi DIY," kata Beny.

Tantangan Awal Berdirinya Yogyakarta

Dalam perjalanan sejarahnya, Beny menyampaikan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam menghadapi penjajahan yang berupaya menguasai kembali Republik Indonesia, yang saat itu baru berdiri.

Di awal kemerdekaan Republik Indonesia, Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah kepemimpinan Sri Sultan HB IX dan Kadipaten Pakualaman di bawah Sri Paku Alam VIII memberikan sumbangsih yang besar, dalam memberi dukungan bagi kemerdekaan. Keduanya menyatakan bergabung ke dalam Republik Indonesia serta mempertahankan eksistensi Republik yang saat itu masih berusia sangat muda.

"Semangat perlawanan atas penindasan dan kolonialisme yang ditunjukkan oleh raja dan adipati tersebut atau loro-lorone atunggal merupakan warisan Sultan Agung. Semangat perjuangan dan keberanian dalam melawan penjajah, mengalir dalam darah kedua pemimpin, yang merupakan keturunan dari Raja Mataram tersebut," kata dia.

Lebih lanjut, Beny menambahkan peristiwa proklamasi Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ini dipandang bisa memberikan inspirasi bagi generasi muda. Sementara Pemda DIY bisa melakukan reposisi
guna meningkatkan pelayanan yang lebih kekinian kepada publik sehingga berdampak kepada masyarakat.

"Selain ziarah, kegiatan lain akan kita lakukan mensinergikan dengan kegiatan yang sudah ada. Jadi ini bukan kegiatan baru tetapi kegiatan yang sudah direncanakan yang dirangkum memperingati Hari Jadi DIY," kata dia. "Kami juga meluruskan penggunaan pakaian adat Jawa gaya Yogyakarta dari Kamis Pahing menjadi Kamis Pon karena kita belajar dari sejarah," kata Beny.

PRIBADI WICAKSONO

 

Mila Novita

Mila Novita

Bergabung dengan Tempo sejak 2013 sebagai copywriter dan bergabung dengan redaksi pada 2019 sebagai editor di kanal gaya hidup. Kini menjadi redaktur di desk Jeda yang meliputi gaya hidup, seni, perjalanan, isu internasional, dan olahraga

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus