Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Katedral tua itu tampak angker. Dengan langkah pelan, aku masuk ke ruangan-nya yang te-ma-ram. Segala pro-perti gereja warisan abad ke-17 ini lekas meng-giring angan-ku ke masa silam. Ini-lah katedral yang menyimpan jejak sa-lah satu episode penting sejarah Finlan-dia.
Di depan, ada meja altar warna putih dengan beberapa lilin. Sebuah salib dipasang persis di depan jendela kaca. Ada juga mimbar di samping kiri berbentuk piala besar berukir warna hijau tembaga. Lalu, di bagian belakang, sebuah piano terlindung oleh facade yang keasliannya masih dipertahan-kan. Se-mua “karya seni” ini dipayungi atap yang mengerucut ke atas.
Aku sempat terpaku sejenak meng-amati patung Czar Rusia Alexander I yang tegak di sebelah kanan. Dibalut baju perang, tangan kanan Czar menjulur ke bawah dengan telapak mengha-dap bumi. Dia seperti ingin mengirim-kan perbawa kekuasaannya kepada setiap pengunjung.
Warga Kota Porvoo bangga memiliki katedral yang tegak di sebuah puncak bukit itu. Di katedral itulah Czar menetapkan Finlandia sebagai kawasan Diet (semacam otonomi) pada musim semi 1809. Saat itu Rusia baru saja merebut Finlandia dari Swedia dalam perang dua tahun. Dengan status itu, eksistensi agama resmi Finlandia, Lutheran, dijamin. Hingga hari ini, Lutheran menjadi agama resmi negeri di ujung utara bumi tersebut.
Masih di area katedral, di sebelah kiri berdiri sebuah gereja kayu yang dibangun sejak 1630. Dari luar, bangunan berwarna merah oker itu terasa apik. Tempat ibadah itu masih digunakan untuk kebaktian setiap hari Minggu. Pada pukul 10.00 umat Lutheran berbahasa Finnish melakukan kebaktian di gereja kayu, disusul mere-ka yang berbahasa Swedia pada pukul 12.00 di katedral.
Katedral memang menjadi tujuan awal kami saat mengunjungi Porvoo, sebuah kota tua berjarak 50 kilometer arah timur Helsinki, pada September lalu. Ditemani Timo Haninen, seorang manajer pada Finnish Tourist Board, kami bertiga menuju Porvoo dengan sedan Renault biru. Hanya dibutuhkan sekitar satu setengah jam untuk sampai ke kota itu lewat jalan bebas hambatan. Mereka yang ingin mencecap sensasi Laut Baltik bisa menggunakan kapal JL Runeberg, yang sandar dari pelabuhan Helsinki. Jenis angkutan lain adalah bus yang biasanya berangkat dari kawasan Esplanadi Park.
Sejak awal aku sudah menyiapkan diri dengan jaket tebal. Maklum, Finlandia di pertengahan September ini telah memasuki musim gugur. Suhu bisa merambat turun hingga 13 derajat Celsius. Ditambah embusan angin dari Kutub Utara, sergapan hawa dinginnya bagai menyelinap hingga ke balik kulit. Aku teringat udara di puncak Gunung Lawu saat dini hari. Kira-kira sedingin itulah rasanya.
Porvoo adalah kota tertua kedua di Finlandia (kota paling uzur adalah Turku). Kota ini sudah berdiri sejak abad ke-13. “Daya tarik utama Porvoo adalah perkampungan penduduk dengan rumah-rumahnya yang terbuat dari kayu,” ujar Timo. Perkampung-an rumah kayu tampaknya memang sesu-atu yang ganjil di daratan Eropa. Apalagi, sebagian rumah itu konon sudah bertahan hingga ratusan tahun. Maka, mengunjungi Porvoo, setelah selama tiga hari sebelumnya menyusuri sudut-sudut Helsinki, akan menjadi interupsi yang menarik.
Letak katedral yang berada di puncak bukit memudahkan kami melakoni rute berikutnya. Keluar dari sana, udara terasa semakin dingin. Aku merapatkan jaket dan mencoba melawan dingin dengan jalan kaki menuruni bukit, menuju kawasan kuno Porvoo (Old Porvoo). Kawasan ini terletak di sebelah utara Jalan Mannerheiminkatu, jalan utama yang membelah kota menjadi dua. Rumah-rumah kayu penduduk terletak di area ini. Adapun kawasan lain yang disebut Empire District terletak di seberang selatan jalan raya.
Berbentuk mirip limasan, kumpulan rumah kayu di kawasan kuno itu menciptakan perkampungan-perkampung-an kecil di kawasan lembah. Menurut catatan, ada sekitar 250 rumah kayu yang dijadikan tempat tinggal. Ke-ba-nyak-an rumah diwarnai merah oker, meski ada juga yang dicat biru atau kuning lembut. Warna merah diyakini membuat rumah-rumah kayu itu awet menghadapi empasan empat musim. Jalanan terbuat dari batu-batu bundar (cobblestone) yang disusun rapi.
Semua itu membuat aku merasa seper-ti berjalan di tengah perkampungan dalam dongeng-dongeng lawas karya H.C. Andersen. Mirip dalam dongeng itu pula, tak sedikit warga Porvoo yang bekerja sebagai petani gandum. Meski begitu, banyak pula yang mengais rezeki di Helsinki.
Coba kuketuk dinding salah satu rumah itu. Keras sekali. Maklum, bangunan ini terbuat dari kayu birch yang memang melimpah di negeri ini. Jenis pepohonan lain yang membuat Finlandia kian hijau adalah pinus dan spurce (sejenis cemara). Melangkah di antara dinding rumah itu membuat embusan angin tak begitu terasa lagi.
Kami sampai di sebuah area yang agak lapang. Kebanyakan warga di sini menyulap kediamannya menjadi tempat menjual berbagai barang konsumsi turis. Suvenir, busana-busana khas, hingga bunga-bunga kecil dalam pot yang ditaruh begitu saja di depan rumah. Semuanya siap menabalkan kenangan akan kota mungil berpenduduk 46 ribu jiwa itu.
Sebuah rumah kian menggeretku ke dunia dongeng karena memasang takhta kayu warna merah di dekat pintunya. Di atas kursi dipasang mahkota imi-tasi. Siapa pun silakan berpose di sana bagai raja-ratu ala kerajaan kuno.
Ada toko antik di samping kiri jalan menyediakan aneka properti masa lalu: lampu-lampu, jam kuno, peta lawas, pernak-pernik peribadatan, dan sebagainya. Seorang nyonya sepuh pemilik tempat ini tak pernah beranjak dari kursinya di dekat jendela. Ia membiarkan pengunjung menjelajahi sendiri tokonya. Tapi matanya awas memandang setiap pengunjung yang memasuki pintunya.
Timo membuka sebuah rahasia kecil. Katanya, tak semua pengunjung diterima memasuki gerai sang nyonya. “Jika merasa tak suka, ia begitu saja meminta mereka keluar dari tokonya,” ujar Timo.
Tampaknya, semua yang tersedia di kawasan old town ini bermuara ke masa silam. Hanya, seluruh peninggalan masa lalu itu masih berfungsi baik. Rumah-rumah kayu, katedral, juga berbagai karya seni yang lahir di Porvoo.
J.L. Runeberg (1804-1877), misalnya, penyair nasional Finlandia asal Turku, mencapai kematangannya ketika tinggal di Porvoo. Pada masa-nya, ia acap dibandingkan dengan seniman-seniman romantik Eropa, se-perti Hugo, Shelley, Keats, Lermontov, atau Petöfi. Salah satu karyanya, Maamme (Vårt Land atau Our Land), kemudian digubah menjadi lagu nasional Finlandia. Syair yang ditulisnya tentu menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya. Bekas kediaman Runeberg di kawasan Empire District kini menjadi salah satu tujuan turisme.
Atmosfer budaya Porvoo tak hanya digelegakkan oleh Runeberg. Pada eranya, eksis pula pematung Ville Vallgren (1855-1940). Salah satu karya besarnya adalah patung telanjang Havis Amanda, yang kini masih tegak di kawasan Pasar Rakyat Helsinki. Anak penyair Runeberg, bernama Walter Runeberg (1838-1920), juga dikenal sebagai seorang pematung kondang. Patung Alexander di katedral Porvoo adalah salah satu karyanya.
Dan pada era sekarang, di Porvoo terdapat sekitar 400 seniman berbagai bidang yang terus berkreasi. Itulah yang membuat kota ini amat istimewa bagi orang Finlandia.
Tulus Wijanarko (Finlandia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo