Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski tidak seriuh kongres partai politik, para seniman di Indonesia ternyata menyelenggarakan kong-res secara beruntun dengan biaya yang mahal. Kong-res Dewan Kesenian yang diadakan di Jayapura pada Agustus lalu itu hampir luput dari liputan pers. Beri-ta-nya justru muncul pekan lalu, tatkala para seniman mem-perdebatkan perlu-tidaknya Dewan Kesenian Indonesia. Kebetulan pekan lalu Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata menyelenggarakan Kongres Kesenian Indo-nesia II, yang diikuti ratusan seniman, di Padepokan Seni Silat Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Kongres Jayapura dan Taman Mini formatnya berbeda, yang mendanai juga berbeda, namun yang hadir hampir sama saja dan hasilnya pun sama: sejumlah usul bagaimana mengelola kesenian di masa depan. Selebihnya adalah ribut-ribut apakah perlu ada organisasi kesenian yang berpredikat nasional.
Kongres Dewan Kesenian di Jayapura pesertanya peng-urus dewan kesenian yang ada di daerah-daerah, baik yang keberadaannya aktif maupun yang tinggal papan nama. Dengan uang dari kepala daerah masing-masing, berkumpullah mereka di ujung timur negeri ini. Sidang-sidang alot dan ada yang walk out, layaknya kongres partai. Nah, yang betah meneruskan sidang kemudian menghasilkan kese-pa-katan membentuk Dewan Kesenian Indonesia dengan ketua tim formatur Ratna Sarumpaet, yang saat ini Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Yang walk out meneruskan protesnya di Jakarta dengan mendirikan Masyarakat Kesenian Indonesia. Kedua pihak membuat ”perang pernyataan”.
Yang pro-Dewan Kesenian Indonesia menganggap dewan ini sangat penting untuk mewakili para seniman di tingkat nasional. Artinya, dewan ini menjadi mitra kerja pemerintah pusat. Kalau ada bantuan pemerintah, penyalurannya lewat dewan ini. Begitulah kurang lebih, dan akhirnya Dewan Kesenian Indonesia menjadi ”atasan” dewan kesenian yang ada di daerah.
Justru itu yang ditentang oleh para seniman yang tidak menyetujui adanya Dewan Kesenian Indonesia. Se-olah-olah seniman punya organisasi bak partai politik, ada peng-u--rus cabang dan pengurus pusat. Dewan kesenian di dae-rah tetap dibutuhkan sebagai sarana komunikasi seniman di daerah, namun keberadaannya adalah otonom dan independen. Para seniman yang kontra ini juga khawatir akan bisa digiring oleh pusat-pusat kekuasaan.
Pendapat seniman yang kontra-Dewan Kesenian Indonesia tampaknya lebih realistis. Apalagi seniman umumnya jenis profesi yang sulit diatur dalam sebuah organisasi. Keberadaan mereka di dalam organisasi justru sering membelenggu dan mengganggu kreativitas. Seniman sebaiknya berkarya saja, dan itu tugas pokoknya sebagai pekerja seni. Siapa yang kemudian memperkenalkan karyanya itu ke tengah-tengah masyarakat, biarlah seniman sendiri yang menentukan orangnya. Tidak harus mereka menggantungkan diri pada dewan kesenian.
Biarkan para seniman independen dan merdeka. Jika me-reka membutuhkan sarana untuk berkumpul dan bertu-kar pikiran, itu sudah diakomodasi di dewan kesenian daerah. Bahwa di banyak kota tidak ada dewan kesenian, itu juga menandakan para seniman di sana mungkin tidak memerlukan wadah formal. Adapun kegiatan semacam Kongres Kesenian Indonesia bisa saja diperlukan sebagai temu muka dan temu gagasan para seniman, apalagi itu tidak sering dilakukan. Kongres Kesenian Indonesia II pekan lalu berlangsung 10 tahun setelah Kongres Kesenian Indonesia I.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo