Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesungguhnya ini bukan hal baru. Sebagian anggo-ta Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat suka men-jual kehormatannya sendiri. Mungkin karena terpi-lih dengan cara membagi-bagi duit, mereka berusa-ha mengembalikan modal lewat perilaku yang tidak pa-ntas. Sebagian wakil rakyat tak malu-malu menjadi makelar pro-yek, pemeras pejabat, dan calo anggaran.
Kasus yang mulai mencuat pada akhir Agustus lalu meng-hadirkan gambaran yang lebih jelas. Sejumlah anggota DPR diduga menjadi calo anggaran bencana alam sebesar Rp 609 miliar dari Departemen Pekerjaan Umum yang dibagikan ke 174 kabupaten dan kota. Karena aloka-sinya mesti mendapat lampu hijau dari DPR, para bupati dan wali kota pun berlomba-lomba melobi wakil rak-yat yang menjadi anggota Panitia Anggaran. Bagi anggota Dewan yang bermental makelar, inilah peluang mengeruk fulus. Kabarnya, mereka memungut imbalan 4 persen dari nilai anggaran yang disetujui.
Langkah Badan Kehormatan DPR yang lekas mengusut du-gaan tersebut patut dipuji. Badan ini sudah turun ke be-be-rapa daerah untuk menggali informasi dari para bupati dan wali kota. Sejumlah anggota legislatif yang mengetahui atau diduga terlibat dalam praktek kotor itu telah pula diperiksa. Mudahir, salah satu anggota Panitia Anggaran, bahkan mengaku menerima 40 proposal proyek dari berba-gai kabupaten atau kota. Anggota Fraksi PDI Perjuangan ini juga berterus terang dirinya pernah bertemu sejumlah bupati untuk membicarakan hal itu.
Simak pula penuturan Andi Mustakim, staf Mudahir, yang disampaikan kepada Badan Kehormatan. Dia membe-narkan dirinya ditugasi bosnya agar mengurusi proposal itu. Mengaku tidak memperoleh komisi, Mustakim, yang ju-ga dikenal sebagai pengusaha, berharap mendapatkan pro-yek dari para bupati. Dia malah merasa menjadi korban percaloan karena pernah mengumpulkan duit Rp 200 juta dari para pengusaha, lalu diberikan ke sejumlah anggota DPR.
Berbekal semua pengakuan, rasanya sudah cukup bagi Ba-dan Kehormatan untuk memberikan sanksi yang tegas bagi Mudahir dan juga anggota legislatif lainnya yang terlibat. Badan ini bisa memberhentikan keanggotaan mereka karena telah melanggar kode etik. Ambil contoh Mudahir. Dia cenderung menyalahgunakan posisinya sehingga memungkinkan stafnya sendiri mengambil keuntungan. Dalam Pasal 13 Kode Etik DPR disebutkan dengan gamblang: anggota dilarang menyalahgunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, sanak famili, dan kroninya yang mempunyai usaha.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga perlu segera meme-riksa para anggota legislatif, karena dalam kasus itu ter-kan-dung pula unsur korupsi dan suap-menyuap. Untuk me-meriksa rekening mereka, Pusat Pelaporan dan Ana-lisis Transaksi Keuangan bisa dilibatkan. Bila ada satu saja anggota bisa dijerat, jaringan percaloan akan lebih mudah dibongkar. Jadi, bukan hanya pelanggaran kode etik yang diusut, tapi juga pelanggaran pidana yang memungkinkan mereka diseret ke pengadilan.
Para pemimpin partai politik pun tidak boleh adem ayem. Seharusnya mereka buru-buru memeriksa kadernya yang diduga terlibat percaloan, jika tak ingin partainya semakin terkotori. Relakan pula mereka diperiksa oleh KPK. Hanya langkah ini yang bisa memperbaiki citra buruk para politisi dan mengembalikan kehormatan wakil rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo