Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Sulit Dana? Ya, Biar…

Dari beberapa soal—undang-undang kesenian dan departemen kebudayaan—gagasan kerja sama pemerintah-swasta-seniman dari Kongres Kesenian II ini boleh juga.

3 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Sulit Dana? Ya, Biar…
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

ORANG bilang seniman umumnya memiliki ego besar. Bukan saja mereka tak bisa mengurus diri sendiri, diurusi pun susah. Tapi ajaib, dua kali sudah para se----niman ini berkumpul dan berbincang tentang persoalan kesenian (dan ju---ga senimannya, tentu). Tak kepalang- tang-gung, pertemuan itu disebut- -Kong-res Kesenian. Yang pertama, 10 tahun lalu. Pokok soal yang dibahas-, betapa sulit izin pementas-an diperoleh. Yang kedua, selama empat ha-ri dan berakhir Kamis pekan lalu di Ta-man Mini Indonesia Indah, Jakarta, ma-sih juga senada dengan yang pertama- tapi tak serupa. Ini kali pokok bahasan tentang susahnya mendapatkan dana dan belum adanya payung hukum yang melin-dungi kegi-atan kesenian.

Boleh jadi persoalan dana menjadi per-hatian utama, karena di nega-ra lain kesenian bisa mendapatkan dana dengan mudah. Menurut Linda Hoemar Abidin, manajer dan promosi Dewan Kesenian Jakarta, mudahnya dana kesenian di Singapura, Jerman, dan Amerika dikarenakan adanya kebijakan kemitraan antara pemerintah, perusahaan swasta, dan seniman.

Singapura, misalnya, negeri mal dan supermarket yang belakangan berambisi menjadi kota kebangkitan dan pusat kehidupan peradaban Asia mo-dern, menetapkan kebijakan kemitraan berska-la nasional. Hasilnya, pada 1989, Singa-pura membentuk Dewan Kese-nian Nasional. Lalu pada tahun itu juga di--resmikan Esplanade, sebuah kompleks kesenian yang megah. Sejumlah seni-man dari luar Singapura diundang untuk pentas di sana. Kabarnya, penge-lolaan yang cang-gih serta dukung-an pemerin-tah- dan swasta yang besar ini menjadikan kom-pleks kesenian di ne-geri itu bisa ber-saing dengan industri perbankan dan petrokimia: memasukkan uang ke kas- negara.

Di Jerman, negeri Beethoven, menurut cerita Linda, memacu kreativitas dan komitmen terhadap kesenian de-ngan menjalin kemitraan pusat dan daerah. Dukungan pemerintah memungkinkan di kota kecil Bayreuth saban tahun digelar Festival Musik Wagner. Di hari-hari festival, kota yang hanya ber-penduduk sekitar seribu orang itu penuh sesak oleh penduduk sementara yang datang dari berbagai kota di Jerman maupun dari luar negeri-.

Di Amerika lain lagi. Pemerintah AS memang cuma mengalokasikan dana kegiatan seni sekitar 5 persen dari anggaran belanjanya, itu pun sebatas untuk pertunjukan orkestra. Namun, jangan ditanya dukungan swasta pada kesenian. Di negara kapitalis ini pemerin-tah-nya menggariskan kebijakan bahwa per-usahaan swasta yang menyumbang untuk kesenian akan mendapat pengurangan pajak sesuai dengan besar-kecilnya sumbangan. Ini menyebabkan perusahaan swasta berlomba memburu acara kesenian untuk didanai.

Satu contoh, program berkala penu-lisan kreatif internasional dari University of Iowa. Acara temu sastrawan tingkat dunia ini memberikan uang sa-ku memadai, buku-buku gratis, dan ongkos menonton film dan pementasan drama di seantero AS kepada setiap peserta. Dari mana datangnya dana? Dari sebuah perusahaan traktor ternama di AS.

Inilah yang membuat sastrawan -Arswendo Atmowiloto mengusulkan agar kita mengeksplorasi hubungan saling menguntungkan antara industri dan seni. Usul ini bukan omong kosong karena benihnya sudah ada. Satu-dua perusahaan swasta Indonesia tak keberatan menyisihkan dana untuk kesenian, namun sifatnya masih perso-nal—tergantung individu senimannya alias belum melembaga. Misalnya, per-usahaan pembangun kompleks apar-temen mewah, The Pakubuwono Resi-dence, gemar mendanai pentas puisi para penyair di lingkungan The Paku-buwono Residence. Imbalan untuk senimannya lumayan. Penyair Rendra, misalnya, pernah mengantongi- imbalan Rp 10 juta untuk membaca dua-tiga puisinya.

Lantas, industri rokok. Memang, yang didukung industri asap ini baru olah-raga dan pergelaran musik. Tapi ini membuktikan bahwa para pembayar pajak terbesar itu bersedia ”kehilangan” uang bukan hanya untuk- beriklan.

Sebenarnya, tanpa dukungan yang melembaga, berbagai kegiatan kesenian yang bertaraf internasional sudah juga berjalan. Taruh umpamanya CP Biennale yang baru berakhir pekan ini setelah sebulan menggelar pameran seni rupa di Museum Bank Indonesia, Jakarta—dan sempat diprotes karena salah satu karya dianggap porno (lihat Tempo edisi 26 September). Kemudian Jiffest, Jakarta International Film Festival, yang sudah beberapa kali terselenggara. Memang, Jak-Jazz, festival jazz international yang digagas oleh Ireng Maulana, tak berlanjut gara-gara kesulitan dana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus