Angin sore yang menggoyang dedaunan cemara di depan candi itu, tak sedikit pun mengusik kekhusyukan para pendoa. Kian sore, jumlah mereka semakin banyak, berdatangan di kompleks Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran Bantul Yogyakarta tersebut.
"Patung di dalam candi itu sosok Yesus, yang digambarkan dalam wujud pemimpin dalam kultur Jawa," ujar Sekretaris Paroki Gereja Ganjuran Hadrianus Krismawan Aris Dwiyanto ditemui Tempo Minggu (15/12).
Candi di kompleks gereja yang lokasinya di ujung selatan Yogya atau tepatnya di Desa Sumbermulyo, Kecamayan Bambanglipuro, Bantul itu dibangun tahun 1927 silam. Candi itu ada setelah tahun 1924 atau tiga tahun sebelumnya, Gereja Ganjuran itu dibuat keluarga pengusaha pabrik gula keturunan Belanda, Joseph dan Julius Schmutzer.
Melihat kompleks gereja candi itu, orang awam mungkin saja bisa terkecoh karena nuansa Kristiani tak terlalu nampak dari luar. Saat memasuki kompleks gereja. Bahkan nuansanya lebih mirip memasuki pura di Bali karena gapuranya kental dengan corak khas Hindu.
Seorang umat berdoa di depan patung Yesus di Gereja Ganjuran, Bantul, Yogyakarta. TEMPO/Pribadi Wicaksono
Baru ketika pengunjung masuk lebih dalam kompleks gereja, akan mendapati pemandangan asri nan adem. Ada bangunan gereja utama berbentuk Joglo besar dengan atap serta pilar penuh ornamen. Sedangkan di beberapa sudut tampak joglo yang lebih kecil untuk umat istirahat dan berdoa.
Di samping bangunan gereja itu terdapat candi yang menjadi ciri khas utama Gereja Ganjuran itu.
Aris menuturkan, candi yang dibuat dari batuan kaki Gunung Merapi itu lumayan kokoh. Candi itu tak gores atau rusak sedikitpun saat gempa besar melanda Yogya, terutama kawasan Bantul pada Mei 2006 silam. Gempa berkekuatan 5,9 skala Richter yang menewaskan lebih dari 6.000 jiwa tersebut justru merobohkan bangunan utama gereja di sampingnya.
Bangunan gereja itu sendiri mulai dibangun ulang pada 2008 silam dan tak lagi berkonsep tertutup, melainkan berbentuk bangunan joglo.
Yesus diwujudkan Raja Jawa dalam Candi di kompleks Gereja Ganjuran, Bantul, Yogyakarta. TEMPO/Pribadi Wicaksono
Saat gempa merobohkan gereja itu, ujar Aris, setidaknya ada tiga benda tersisa utuh yakni ornamen patung Yesus, Bunda Maria dan tabernakel atau lemari penyimpanan untuk ibadat. Patung Yesus dan Maria yang berusia sama tua dengan gereja itu dibangun pun berwujud pimpinan Jawa, seperti patung yang ada di dalam candi.
"Gereja sengaja dibangun berkonsep joglo karena bentuk itu sebenarnya yang diinginkan bapak Schmutzer," ujar Aris.
Aris menuturkan, sang pendiri, Schmutzer, sebelum membangun gereja yang disusul candi yang dilengkapi patung sosok Yesus dalam rupa dan busana pemimpin tanah Jawa itu, lebih dulu mendalami kultur, tradisi dan adat istiadat masyarakat setempat. Terlebih di masa itu, pemerintahan di Jawa khususnya Yogyakarta saat kental dengan pengaruh kuat kerajaan Mataram, yang terintepretasikan oleh Keraton Yogyakarta.
"Masyarakat dulu melihat sosok pemimpinnya tak lain adalah raja. Selain raja itu sosok yang dianggap pemimpin saat itu orang yang berpenampilan lebih dan sebagainya,"ujarnya.
Berangkat dari latar belakang tradisi lokal masyarakat Jawa yang masih sangat kuat , Schmutzer lantas meminta sosok pemimpin untuk menggabarkan Yesus di gereja dan candi itu dihadirkan dengan bentuk menyerupai raja Jawa, agar masyarakat mudah memahaminya dan tidak asing.
Umat sedang menanti pelaksana misa Ekaristi di Gereja Ganjuran, Bantul, Yogyakarta. TEMPO/Pribadi Wicaksono
"Jika sosok Yesus saat itu dihadirkan dengan gambaran umumnya (versi Barat), masyarakat lokal tentu asing lalu bertanya, 'Mosok pemimpin wujudnya seperti itu?'" ujarnya.
Aris menuturkan langkah Schmutzer men-Jawa-kan sosok Yesus di kawasan Ganjuran itu, bisa diterima karena dinilai tetap selaras dengan liturgis Katolik yang di dalamnya juga memiliki perayaan bernama Kristus Sebagai Raja. Tak hanya ornamen dan sosok keluarga kudus saja yang dipresentasikan dengan nuansa Jawa.
Gereja yang memiliki 6.000 umat itu dalam setiap perayaan ibadahnya masih menjadwalkan misa dengan bahasa Jawa, dan iringan musik gamelan sebagai pengantar lagu-lagu ibadahnya. "Terkadang ada perayaan yang dikemas dalam bentuk kesenian Ketoprak, seperti saat Paskah atau Natal," ujar Aris.
Sedangkan ornamen ornamen untuk umat melakukan doa kepada Bunda Maria atau melakukan prosesi Jalan Salib saat Paskah, juga digambarkan dengan nuansa Jawa.
Gereja Candi yang jaraknya sekitar 20 menit ditempuh kendaraan bermotor dari Kota Yogyakarta itu, ujar Aris, setiap hari selalu dikunjungi umat dari berbagai daerah yang hendak berdoa.
Sebelum berdoa di depan candi, umat biasanya akan membasuh diri mereka dengan air yang disalurkan melalui keran-keran yang di berada di samping candi, lalu memasang lilin di belakang candi itu.
Keran-keran air untuk membasuh wajah, sebelum umat berda di kompleks Gereja Ganjuran, Bantul, Yogyakarta. TEMPO/Pribadi Wicaksono
Tak jarang, umat yang datang berdoa di Ganjuran karena sedang menghadapi sesuatu yang sangat penting bagi hidupnya dan butuh penguatan batin. Seperti doa kesembuhan dari sakit, doa tentang pekerjaan atau persoalan yang hidup kompleks lainnya. Tak sedikit yang percaya, jika doa-doa di Ganjuran itu banyak dikabulkan.
PRIBADI WICAKSONO