Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Hanya 10 menit untuk nelayan

Kesenian tradisionil di desa blanakan, subang, yang pertunjukkannya memikat kaum pria iseng. penarinya dapat dibawa ke tempat gelap (ke atas perahu).

20 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEPAS beduk isya, lapangan badminton di dekat pelelangan ikan itu mulai ramai. Sebuah pengeras suara yang tergantung pada sebatang bambu menyemprotkan lagu-lagu tarling. Para penabuh gendang, gitar melodi, kecrek dan gong sesekali berteriak menghangatkan suasana. Dan di tengah lapangan yang makin padat penonton itu, 25 orang penari wanita sedang melenggok-lenggok bersama pasangan masing-masing. Pertunjukan serupa itu tiap malam dapat disaksikan di Desa Blanakan, desa nelayan tradisional di Kecamatan Ciasem, Subang. Penduduk setempat menamakannya dongbret, kesenian rakyat yang di sekitar Jakarta dikenal dengan sebutan doger dan disebut longser oleh penduduk sekitar Bandung. Jika longser konon berasal dari kata-kata melong (melihat) dan sir (bernafsu), maka dongbret berasal dari kata berkerudung (berkerodong) sarung dan menggeret si penari. Doger dalam beberapa tahun terakhir ini hampir tak terdengar lagi. Sedang longser sudah susah mempertahankan hidupnya, karena kekurangan peminat. Denda Apapun namanya, tapi kesenian rakvat ini sering dianggap berbau porno. Karena apabila suara tabuh-tabuhan dan tarian semakin hangat, sehingga penonton mulai tergiur, ia dapat saja menggaet si penari (wanita) ke tempat gelap. Bahkan pertunjukan dongbret di Blanakan tadi, satu-satunya daya tariknya adalah karena para penonton, yang kebanyakan terdiri dari nelayan, dengan bebas dapat menarik seorang penari dari arena dan membawanya ke perahu yang tertambat di pantai. Memang tak banyak yang tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tapi di Blanakan seorang penari tak boleh dibawa lebih dari 5 menit, paling lama 10 menit. Selesai adegan-adegan di atas perahu, si nelayan tinggal menyelipkan uang Rp 50 atau Rp 100 di sela kutang si penari. Selesai. Dan si penari kembali ke arena lagi menunggu gaetan penonton lain. Pertunjukan berlangsung sampai larut malam. Kata orang-orang tua di Indramayu, dongbret bertanah leluhur di daerah ini dan berkembang biak di desa-desa nelayan pantai utara Jawa Barat. "Dengan uang seblendong seorang penari dulu dapat diajak ke tempat gelap sesuka hati," tutur seorang nelayan tua di Desa Cangkingan, Karangampel, Indramayu. Seblandong sama dengan 2,5 sen uang Hindia Belanda dulu. Tapi dongbret tampaknya sudah punah di daerah Indramayu. Terutama karena Pemda setempat menganggapnya sebagai pertunjukan tak sopan dan melarangnya. Untung bahwa Pemda Subang memanfaatkannya untuk menghibur para nelayan di Blanakan. Setiap hari di desa ini berlabuh sekitar 200 buah perahu nelayan tradisional -- dan untuk menghibur para penangkap ikan itulah dongbret diundang bermain secara tetap. "Untuk hiburan para nelayan setelah berhari-hari berada di laut," kata Ketua Koperasi Perikanan Laut Blanakan, Dirman. Ia tak setuju jika dongbret dikatakan sebagai pertunjukkan cabul. Ini Blanakan pertunjukan dilangsungkan dengan tertib," tambah Dirman, "setiap nelayan hanya boleh membawa penari ke perahu atau tempat lain yang disukainya selama 5 sampai 10 menit. Jika ketentuan itu dilanggar, baik penari maupun nelayan yang membawanya dapat hukuman denda -- tak disebutnya berapa. Menurut Daiyah, 18 tahun, salah seorang dari penari dongbret di Blanakan itu modal goyang pinggul saja tak cukup. Tetap diperlukan ukuran wajah yang dapat memikat para nelayan. "Kita harus pandai bergoyang dan berdandan yang menarik. Kalau tidak, bisa semalaman tidak ada yang menarik. Itu berarti kita tak punya duit," ujarnya. Untuk keperluan profesinya itu, Daiyah dan teman-temannya sesama penari lepas magrib sudah sibuk mandi dengan sabun wangi. Kemudian berdandan seayu mungkin dengan bedak, cat bibir, potlot alis. Lalu seluruh tubuh disemprot wewangian. "Agar si peminat tertarik," tuturnya dengan polos. Daiyah yang berasal dari Desa Cangkingan sebenarnya tak ingin jadi dalang -- sebutan untuk penari dongbret."Saya sebenarnya masih ingin sekolah, tetapi teman-teman wanita di desa saya umumnya jadi penari dongbret," kisahnya. "Mereka berhenti sekolah. Daripada kesepian tak ada teman, saya lantas ikut-ikutan." Daiyah pernah duduk di bangku kelas 5 SD Cangkingan. Ia memulai debutnya jadi dalang (penari) setahun yang lalu. Termasuk penari yang laris. Tiga bulan tak kurang dari Rp 30 ribu bisa dibawanya pulang ke desa. "Lumayan untuk membantu orang tua, memperbaiki dapur dan membeli perabotan rumah tangga," ujarnya. Untuk kelompoknya sendiri, ia rata-rata berhasil menyerahkan Rp 2.000 setiap malam. Musim panen ikan, berarti pula panen buat penari dongbret. Waktu itu para nelayan biasanya murah hati dalam memberi tip. Daiyah kadangkala bisa menerima tip dari satu orang sampai Rp 1.000. "Yah, kalau sudah musim panen ikan saya sampai kehabisan tenaga, banyak sekali yang mengajak kencan, "kata anak ke 7 dari 10 bersaudara ini. Tetapi meskipun laris, Daiyah tetap merindukan masa depan sebagaimana gadis-gadis lainnya. "Saya tak ingin jadi penari dongbret sampai tua," katnya, "Saya ingin kawin dan hidup sebagai orang istri yang baik. Cuma sampai saat ini saya belum menemukan jodoh." Penari yang lain bernama Jueni, janda kembang, juga dari Desa Cangkingan. Menurut penari ini, "Jadi penari dongbret sama artinya dengan menjadi milik umum, untuk memberikan hiburan dalam batas-batas tertentu. Makin banyak yang mengajak, makin banyak yang kita peroleh." Celana Sempit Untuk menjaga kemungkinan jangan sampai peminat melanggar batas," setiap menari saya memakai celana dalam dan celana pendek yang sempit," tambah janda itu. Biasanya penari dongbret memakai rok dan baju blus. "Asal jangan kain kebaya atau celana panjang," kata Jueni. Lho kenapa? Ia tak menjawab, hanya senyum di kulum. Jueni bergabung dengan rombongan dongbret sejak 4 tahun yang lalu. Di situlah ia bertemu dengan Suwiri yag kemudian mengawininya. Sayang pernikahan itu hanya berusia 6 bulan ia pun kembali ke arena. "Yah untuk membantu mencari nafkah buat orang tua, sebab orang tua saya cuma buruh tani dengan penghasilan tak seberapa," tutur janda yang mengaku tak bisa baca tulis tapi berwajah manis itu. Kini ia tetap berharap pada suatu kali akan muncul jodoh yang kedua di arena dongbret. Jadi penari dongbret tak selalu menyenangkan. "Kalau musim paceklik atau musim hujan, nelayan yang datang tak begitu banyak, karena tak punya uang. Kami jadi malas menari, maunya tidur," sambung Daiyah yang sudah kita sebut-sebut tadi. Belum lagi kalau sakit. Tapi ada kerjasama antara rombongan dongbret itu dengan Koperasi Perikanan Laut Misaya Fajar Sidik yang ada di Blanakan. koperasi itu selalu memberi pengobatan gratis jika ada anggota rombongan dongbret sakit. Bahkan setiap bulan seorang mantri kesehatan membagikan obat-obatan dengan cuma-cuma. Penari-penari itu semua mondok di rumah Kadiman, pimpinan rombongan. Setiap malam di musim panen, rombongan dongbret bisa mengumpulkan uang sampai Rp 25 riu. Penari-penarinya mendapat honor sepertiga dari pendapatan mereka masihg-masing. Ketua rombongan dapat Rp 5 ribu sendiri. Sisanya kemudian dibagi di antara para penabuh. Bila seorang pemuda jatuh hati pada penari dongbret, yang biasa dilakukan adalah membookingnya terus-menerus. Siang hari penari bisa dikunjungi di pondokan. Kalau hubungan sudah kelihatan serius, biasanya ketua rombongan segera memanggil kedua pihak untuk minta penegasan. Kalau dicapai kata sepakat, kepala rombongan tak akan segan-segan melepas penarinya untuk menjadi ibu rumah tangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus