LEPAS beduk isya, lapangan badminton di dekat pelelangan ikan
itu mulai ramai. Sebuah pengeras suara yang tergantung pada
sebatang bambu menyemprotkan lagu-lagu tarling. Para penabuh
gendang, gitar melodi, kecrek dan gong sesekali berteriak
menghangatkan suasana. Dan di tengah lapangan yang makin padat
penonton itu, 25 orang penari wanita sedang melenggok-lenggok
bersama pasangan masing-masing.
Pertunjukan serupa itu tiap malam dapat disaksikan di Desa
Blanakan, desa nelayan tradisional di Kecamatan Ciasem, Subang.
Penduduk setempat menamakannya dongbret, kesenian rakyat yang di
sekitar Jakarta dikenal dengan sebutan doger dan disebut longser
oleh penduduk sekitar Bandung. Jika longser konon berasal dari
kata-kata melong (melihat) dan sir (bernafsu), maka dongbret
berasal dari kata berkerudung (berkerodong) sarung dan menggeret
si penari. Doger dalam beberapa tahun terakhir ini hampir tak
terdengar lagi. Sedang longser sudah susah mempertahankan
hidupnya, karena kekurangan peminat.
Denda
Apapun namanya, tapi kesenian rakvat ini sering dianggap berbau
porno. Karena apabila suara tabuh-tabuhan dan tarian semakin
hangat, sehingga penonton mulai tergiur, ia dapat saja menggaet
si penari (wanita) ke tempat gelap. Bahkan pertunjukan dongbret
di Blanakan tadi, satu-satunya daya tariknya adalah karena para
penonton, yang kebanyakan terdiri dari nelayan, dengan bebas
dapat menarik seorang penari dari arena dan membawanya ke perahu
yang tertambat di pantai.
Memang tak banyak yang tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tapi
di Blanakan seorang penari tak boleh dibawa lebih dari 5 menit,
paling lama 10 menit. Selesai adegan-adegan di atas perahu, si
nelayan tinggal menyelipkan uang Rp 50 atau Rp 100 di sela
kutang si penari. Selesai. Dan si penari kembali ke arena lagi
menunggu gaetan penonton lain. Pertunjukan berlangsung sampai
larut malam.
Kata orang-orang tua di Indramayu, dongbret bertanah leluhur di
daerah ini dan berkembang biak di desa-desa nelayan pantai utara
Jawa Barat. "Dengan uang seblendong seorang penari dulu dapat
diajak ke tempat gelap sesuka hati," tutur seorang nelayan tua
di Desa Cangkingan, Karangampel, Indramayu. Seblandong sama
dengan 2,5 sen uang Hindia Belanda dulu.
Tapi dongbret tampaknya sudah punah di daerah Indramayu.
Terutama karena Pemda setempat menganggapnya sebagai pertunjukan
tak sopan dan melarangnya. Untung bahwa Pemda Subang
memanfaatkannya untuk menghibur para nelayan di Blanakan. Setiap
hari di desa ini berlabuh sekitar 200 buah perahu nelayan
tradisional -- dan untuk menghibur para penangkap ikan itulah
dongbret diundang bermain secara tetap.
"Untuk hiburan para nelayan setelah berhari-hari berada di
laut," kata Ketua Koperasi Perikanan Laut Blanakan, Dirman. Ia
tak setuju jika dongbret dikatakan sebagai pertunjukkan cabul.
Ini Blanakan pertunjukan dilangsungkan dengan tertib," tambah
Dirman, "setiap nelayan hanya boleh membawa penari ke perahu
atau tempat lain yang disukainya selama 5 sampai 10 menit. Jika
ketentuan itu dilanggar, baik penari maupun nelayan yang
membawanya dapat hukuman denda -- tak disebutnya berapa.
Menurut Daiyah, 18 tahun, salah seorang dari penari dongbret di
Blanakan itu modal goyang pinggul saja tak cukup. Tetap
diperlukan ukuran wajah yang dapat memikat para nelayan. "Kita
harus pandai bergoyang dan berdandan yang menarik. Kalau tidak,
bisa semalaman tidak ada yang menarik. Itu berarti kita tak
punya duit," ujarnya.
Untuk keperluan profesinya itu, Daiyah dan teman-temannya
sesama penari lepas magrib sudah sibuk mandi dengan sabun wangi.
Kemudian berdandan seayu mungkin dengan bedak, cat bibir, potlot
alis. Lalu seluruh tubuh disemprot wewangian. "Agar si peminat
tertarik," tuturnya dengan polos.
Daiyah yang berasal dari Desa Cangkingan sebenarnya tak ingin
jadi dalang -- sebutan untuk penari dongbret."Saya sebenarnya
masih ingin sekolah, tetapi teman-teman wanita di desa saya
umumnya jadi penari dongbret," kisahnya. "Mereka berhenti
sekolah. Daripada kesepian tak ada teman, saya lantas
ikut-ikutan."
Daiyah pernah duduk di bangku kelas 5 SD Cangkingan. Ia memulai
debutnya jadi dalang (penari) setahun yang lalu. Termasuk penari
yang laris. Tiga bulan tak kurang dari Rp 30 ribu bisa dibawanya
pulang ke desa. "Lumayan untuk membantu orang tua, memperbaiki
dapur dan membeli perabotan rumah tangga," ujarnya. Untuk
kelompoknya sendiri, ia rata-rata berhasil menyerahkan Rp 2.000
setiap malam.
Musim panen ikan, berarti pula panen buat penari dongbret. Waktu
itu para nelayan biasanya murah hati dalam memberi tip. Daiyah
kadangkala bisa menerima tip dari satu orang sampai Rp 1.000.
"Yah, kalau sudah musim panen ikan saya sampai kehabisan tenaga,
banyak sekali yang mengajak kencan, "kata anak ke 7 dari 10
bersaudara ini.
Tetapi meskipun laris, Daiyah tetap merindukan masa depan
sebagaimana gadis-gadis lainnya. "Saya tak ingin jadi penari
dongbret sampai tua," katnya, "Saya ingin kawin dan hidup
sebagai orang istri yang baik. Cuma sampai saat ini saya belum
menemukan jodoh."
Penari yang lain bernama Jueni, janda kembang, juga dari Desa
Cangkingan. Menurut penari ini, "Jadi penari dongbret sama
artinya dengan menjadi milik umum, untuk memberikan hiburan
dalam batas-batas tertentu. Makin banyak yang mengajak, makin
banyak yang kita peroleh."
Celana Sempit
Untuk menjaga kemungkinan jangan sampai peminat melanggar
batas," setiap menari saya memakai celana dalam dan celana
pendek yang sempit," tambah janda itu. Biasanya penari
dongbret memakai rok dan baju blus. "Asal jangan kain kebaya
atau celana panjang," kata Jueni. Lho kenapa? Ia tak menjawab,
hanya senyum di kulum.
Jueni bergabung dengan rombongan dongbret sejak 4 tahun yang
lalu. Di situlah ia bertemu dengan Suwiri yag kemudian
mengawininya. Sayang pernikahan itu hanya berusia 6 bulan ia
pun kembali ke arena. "Yah untuk membantu mencari nafkah buat
orang tua, sebab orang tua saya cuma buruh tani dengan
penghasilan tak seberapa," tutur janda yang mengaku tak bisa
baca tulis tapi berwajah manis itu. Kini ia tetap berharap pada
suatu kali akan muncul jodoh yang kedua di arena dongbret.
Jadi penari dongbret tak selalu menyenangkan. "Kalau musim
paceklik atau musim hujan, nelayan yang datang tak begitu
banyak, karena tak punya uang. Kami jadi malas menari, maunya
tidur," sambung Daiyah yang sudah kita sebut-sebut tadi. Belum
lagi kalau sakit. Tapi ada kerjasama antara rombongan dongbret
itu dengan Koperasi Perikanan Laut Misaya Fajar Sidik yang ada
di Blanakan. koperasi itu selalu memberi pengobatan gratis
jika ada anggota rombongan dongbret sakit. Bahkan setiap bulan
seorang mantri kesehatan membagikan obat-obatan dengan
cuma-cuma.
Penari-penari itu semua mondok di rumah Kadiman, pimpinan
rombongan.
Setiap malam di musim panen, rombongan dongbret bisa
mengumpulkan uang sampai Rp 25 riu. Penari-penarinya mendapat
honor sepertiga dari pendapatan mereka masihg-masing. Ketua
rombongan dapat Rp 5 ribu sendiri. Sisanya kemudian dibagi di
antara para penabuh.
Bila seorang pemuda jatuh hati pada penari dongbret, yang biasa
dilakukan adalah membookingnya terus-menerus. Siang hari penari
bisa dikunjungi di pondokan. Kalau hubungan sudah kelihatan
serius, biasanya ketua rombongan segera memanggil kedua pihak
untuk minta penegasan. Kalau dicapai kata sepakat, kepala
rombongan tak akan segan-segan melepas penarinya untuk menjadi
ibu rumah tangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini