Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Heboh Ekspor Benur Lobster, Lembah Baliem Malah Punya Udang yang Bikin Penasaran

Lembah Baliem menyimpan kuliner lezat berbahan lobster air tawar, yang disebut udang selingkuh.

6 Agustus 2020 | 10.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Honai, rumah tradisional khas Papua. Tempo/Rully Kesuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menyebut nama Lembah Baliem yang didiami Suku Dani, Lani, dan Suku Yali, para turis dunia langsung teringat Festival Lembah Baliem. Tak hanya Festival Lembah Baliem, sejatinya banyak hal yang bisa dilihat di lembah luas nan subur itu. Selain beragam flora dan fauna, Lembah Baliem memiliki sungai yang melegenda: Sungai Baliem. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sungai Baliem memang tak sebesar Sungai Nil atau Sungai Kapuas, namun sungai itu menjadi detak nadi kehidupan suku-suku yang berada di Lembah Baliem. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sungai Baliem boleh dikata sebagai salah satu sungai tertiggi di Indonesia. Lokasinya berada pada ketinggian 1.650 meter di atas permukaan laut. Sungai ini mengalir sejauh 80 km melalui Lembah Baliem ke arah selatan, bermuara di Pantai Asmat. Air Sungai Baliem terkenal sangat dingin, bersuhu 14 hingga 18°C.

Sungai ini jadi buah bibir, karena menjadi habitat lobster air tawar dengan sebutan udang selingkuh, "Disebut demikian, karena bentuk lobster yang memiliki capit besar laksana kepiting, warga Suku Dani pun berimajinasi udang itu merupakan hasil perselingkuhan atau kawin silang antara kepiting dan udang," ujar Hari Suroto, arkeolog dan peneliti dari Balai Arkeologi Papua dalam tulisannya yang dikirim kepada redaksi TEMPO.   

Jadi, bila ekspor benur lobster jadi isu nasional, di Lembah Baliem lobster air tawar hidup dengan tenang. Namun menjaga keberlanjutan udang selingkuh menjadi penting, karena merupakan hewan endemik di Sungai Baliem. 

Secara ilmiah udang ini termasuk dalam genus Cherax. Terdapat 13 spesies Cherax di pegunungan tengah Papua. Spesies Cherax monticola persebarannya antara lain di sungai-sungai di Lembah Baliem. Di tempat lain, dia disebut lobster air tawar. Suku Dani menyebutnya udi.

Udang air tawar endemik pegunungan Papua ini terbilang makanan kelas menengah. Udang ini dibandrol Rp200 ribu sampai Rp300 ribu per porsi di Kota Wamena.

Harga satu plastik udang selingkuh mentah segar di Pasar Nayak, Kota Wamena lebih mahal lagi, tentu saja dalam satu plastik beratnya kurang dari satu kilogram, harganya mencapai Rp. 500.000 bila sedang musim dan bila tidak musim maka harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

Suasana Sungai Baliem yang tenang dan berair dingin. Foto: @rolanddaniello

Bagaimana caranya Suku Dani di Lembah Baliem mendapatkan udang selingkuh ini? Dalam menangkap udang selingkuh di sungai, biasanya dilakukan oleh perorangan atau kelompok.

Cara menangkap udang selingkuh yaitu dengan tangan, menggunakan alat atau diracun dengan tuba. Secara tradisional alat yang digunakan untuk menangkap udang yaitu sejenis serok terbuat dari rajutan kulit kayu melinjo.

Pencarian udang selingkuh dilakukan pada siang hari atau ketika matahari sudah muncul. Bukan apa-apa, soalnya cuaca Lembah Baliem itu sangat dingin menusuk tulang.

Saat ini Suku Dani sudah mengenal peralatan modern untuk menangkap udang selingkuh, dengan menggunakan jaring atau jala yang dibeli di toko.

Udang selingkuh harganya sangat mahal, walaupun begitu, udang ini sangat digemari turis. Setiap turis yang berkunjung ke Wamena, pasti mencari udang ini.

"Udang selingkuh merupakan potensi tersembunyi Lembah Baliem, yang belum dikembangkan. Jika hanya mengandalkan hasil tangkapan dari Sungai Baliem, dikhawatirkan udang ini lama kelamaan akan habis," ujar Hari Suroto.

Untuk itu perlu penelitian agar udang ini dapat dikembangkan dan dibudidayakan di kolam. Kolam-kolam alami dengan sumber air tidak pernah kering banyak terdapat di Distrik Wesaput, namun belum banyak dimanfaatkan untuk budidaya perikanan.

Walaupun mahal, udang selingkuh sangat unik, enak, dan tetap dicari oleh turis. Menurut Hari, dengan membudidayakan di kolam, diharapkan kesejahteraan masyarakat Baliem akan meningkat, serta populasi udang selingkuh akan terjaga.

Mandi Sembari Menangkap Udang Selingkuh

Biasanya, orang yang tinggal di daerah tropis, dalam satu hari, mandi dua kali, pagi dan sore. Namun ada cerita menarik dari masyarakat Dani di Kampung Parema, Distrik Wesaput, Kabupaten Jayawijaya. Mereka punya kebiasaan mandi yang unik. Apa itu?

Kamu tahu, suhu udara di Lembah Baliem sangat dingin. Alhasil, warga Kampung Parema, punya kebiasaan mandi pada siang hari, saat matahari sudah tinggi. Mereka mandi di Sungai Baliem atau sumber mata air di sekitar kampung.

Sebelum mandi, pada pagi hari biasanya mereka beraktivitas di kebun. Setelah berkebun barulah mereka mandi. Kadang, sambil mandi mereka sekalian mencari udang di Sungai Baliem.

Udang selingkuh yang ditangkap di Sungai Baliem. Foto: @dgipul

Legenda Sungai Baliem

Sepanjang hilir sungai, warga Suku Dani memanfaatkan lahan untuk berkebun. Alirannya yang berliku-liku seolah-olah tampak seperti ular besar. Suku Dani memiliki mitos terjadinya sungai itu. Menurut Hari Suroto, pada zaman dulu ada seekor ular besar, yang suka memangsa anak laki-laki.

Pada suatu hari dalam satu keluarga Suku Dani, lahirlah seorang anak laki-laki yang sangat dicintai oleh orang tua dan kakak perempuannya. Apabila orang tua pergi berkebun, anak perempuan mereka ditugaskan untuk menjaga adik laki-lakinya. Mereka berpesan, bila ular raksasa itu muncul, si kakak  harus segera memanggil bapaknya. 

Benar saja, pada suatu hari, ular pemakan anak itu tiba-tiba datang. Sang kakak perempuan segera berteriak memanggil bapaknya. Dengan sigap dan lincah, sang bapak menyerang ular. Terjadilah perkelahian seru, sampai akhirnya ular itu mati dipotong menjadi dua.

Jasad sang ular pun berubah menjadi Sungai Baliem. Kepalanya mengalir ke utara sedangkan ekornya mengalir ke selatan. "Namun saat ini Sungai Baliem tidak mengalir ke utara. Mungkin saja pada masa lalu terjadi gempa bumi atau tanah longsor, sehingga menutup aliran Sungai Baliem yang mengarah ke utara," ujar Hari Suroto.

Sungai Baliem dengan debit air yang melimpah dan stabil, berpotensi menghasilkan listrik bertenaga energi terbarukan. Pada 2012, Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air ( PLTA) Baliem dengan dengan kapasitas 50 MW. PLTA yang dibangun itu, terdiri atas 10 unit mesin berkapasitas masing-masing 5 MW.

Pertempuran rekayasa di festival Lembah Baliem, Wamena, Papua, 8 Agustus 2014. Festival diselenggarakan dari 6-12 Agustus 2014. (Agung Parameswara/Getty Images)

Lembah Baliem walaupun berada di ketinggian 1.650 meter dari permukaan air laut, tetapi memiliki potensi sumberdaya perikanan lobster air tawar yang belum dikembangkan.  

HARI SUROTO

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus