Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Ini Dia Yang Baru dari Jember, Batik Meru Betiri

Kabupaten Jember Jember mempunyai batik tulis khas yakni batik Meru Betiri.

22 Maret 2018 | 07.33 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Supmini Wardhani, desianer Kehati Meru Betiri memamerkan batik tulis motif bunga raflesia. Dokumen: Universitas Jember

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jember - Kabupaten Jember Jember mempunyai batik tulis khas yakni batik Meru Betiri. Batik tulis itu diproduksi oleh ibu-ibu di Desa Wonoasri, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember yang merupakan desa penyangga Taman Nasional Meru Betiri (TNMB).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkenalan dan peluncuran batik Meru Betiri dilaksanakan Selasa sore,  20 Maret 2018, di balai Desa Wonoasri. Terdapat 13 motif batik yang semuanya bersumber dari kekayaan hayati TNMB.  Semua batik tulis Meru Betiri karya ibu-ibu Desa Wonoasri adalah batik tulis yang menggunakan pewarna alami.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Supmini Wardhani, desainer kelompk itu, mengatakan ada 13 motif batik Meru Betiri yang telah dibuat. Misalnya: motif bunga raflesia, cabe jawa, dan blarak atau daun kelapa. Sementara motif elang Jawa, sisik trenggiling, dan macan tutul mengambil dari fauna yang menghuni TNMB.

“Ada juga motif perpaduan antara flora dengan fauna, yakni tawon raflesia,” ujar Supmini Wardhani  Pembentukan kelompok pembatik ini difasilitasi para peneliti Universitas Jember.

Kelompok Kehati Meru Betiri beranggotakan 46 anggota yang telah mendapatkan pelatihan membatik selama 14 hari. Mereka mendapat bimbingan dari Soediono (Sanggar batik Godhong Mbako, Jember).

Semua batik diproses dengan pewarnaan alami tanpa bahan kimia. Untuk mendapatkan warna hitam mereka menggunakan akar dan batang tanaman mangrove. “Lalu warna merah dari daun jati, warna krem dari daun tumbuhan Putri Malu, serta pewarna alami lainnya yang tersedia di lingkungan sekitar kami,” tutur Aris Rudiarso yang bertugas memberikan warna setelah kain batik selesai di canting.

Untuk mendapatkan pewarnaan yang maksimal, selembar kain harus melewati proses pewarnaan minimal enam kali pencelupan. Dan setiap kali proses pewarnaan membutuhkan waktu sekitar 36 jam.

Itu hanya untuk satu warna saja. Jadi prosesnya makin lama jika dalam selembar kain batik ada dua warna atau lebih. “Penggunaan pewarna alami inilah yang membuat batik produksi kami umumnya bernuansa warna pastel, tidak ada warna yang mencolok,” kata Aris Rudiarso lagi.

Solikin, staf di Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Jember mengatakan batik tulis dengan pewarnaan alami memiliki peluang pasar menjanjikan, terutama di pasar luar negeri. “Batik tulis seperti ini jika sudah masuk butik di Surabaya atau Jakarta harganya minimal Rp 750 ribu hingga 1 juta rupiah,” kata dia.

Ketua Program Mitigasi Berbasis Lahan Universitas Jember, Wachju Subchan mengatakan pemberian pelatihan membatik kepada ibu-ibu di Desa Wonoasri ITU bertujuan memberikan ketrampilan untuk mencari tambahan pemasukan. “Program Mitigasi Bencana Berbasis Lahan tidak hanya melakukan rehabilitasi hutan saja, tetapi juga memberikan berbagai keterampilan yang berbasis pada potensi desa seperti pembuatan jamu, budidaya semut rang-rang dan batik tulis ini," kata dia.

DAVID PRIYASIDHARTA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus