Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Ini Rahasia Keindahan Bukit Peramun yang Pikat Turis Dunia

Bukit Peramun dulunya merupakan permukiman para tabib yang tertutup. Kini bukit itu mulai dilirik wisatawan karena dihuni tarsius.

9 Desember 2019 | 11.00 WIB

Monyet tarsius di Bukit Peramun. Wisatawan sangat dibatasi untuk melihat primata langka ini. Dok. Kemenparekraf
Perbesar
Monyet tarsius di Bukit Peramun. Wisatawan sangat dibatasi untuk melihat primata langka ini. Dok. Kemenparekraf

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Belitung memiliki lanskap pantai yang indah, kopi yang lezat, dan dua bawah air yang menawan. Tapi cukupkah? Rupanya provinsi kampung halaman Basuki Tjahaja Purnama itu, memiliki keindahan alam yang lain. Dan kali ini tidak di pesisir pantainya.  

Bukit Peramun menjadi ikon baru wisata di Belitung. Terdiri dari hutan yang dihuni satwa endemik, puncak Bukit Peramun digunakan sebagai titik pandang Belitung dari ketinggian. 
 
Bukit Peramun terletak di Desa Air Selumar, Kepulauan Bangka Belitung. Lokasinya terletak 21,8 km dengan jarak tempuh sekitar 30 menit dari Bandara Hanandjoeddin di Belitung. 
 
Hutan ini memiliki 147 jenis pohon yang sebagian besar berkhasiat obat, delapan jenis tanaman anggrek dan 30 jenis lumut. Kawasan ini dikelola langsung oleh komunitas masyarakat setempat bernama Arsel binaan Bank Central Asia (BCA).
 
Bukit Peramun menjadi titik pantau Kota Belitung. Dulunya banyak tabib atau herbalis bermukin di Bukit Peramun. Dok. Kemenparekraf
 
Ketua komunitas Arsel, Adie Darmawan atau akrab disapa Adong menjelaskan bahwa  ‘peramun’ berasal dari kata peramuan. Kata peramuan diambil dari bukti sejarah, yang mengatakan di sekitar lokasi pernah ada desa yang dihuni para ahli peracik tanaman berkhasiat obat. Mereka disebut pula tabib atau herbalis. Lokasi tersebut kini menjadi wilayah konservasi dan tertutup untuk pengunjung umum.
 
“Menurut cerita, dahulu pernah berdiri semacam kampung kecil yang berlokasi di gubuk peramun atau lorong granit. Masyarakatnya sangat ahli meracik tanaman lokal yang berkhasiat obat. Hal tersebut diperkuat dengan penemuan bermacam tanaman berkhasiat obat di bibir lorong granit, yang diduga dahulu adalah gubuk peramun,” ujar Adong.
 
Untuk menuju puncak yang tingginya 129 mdpl, wisatawan harus berjalan kaki selama sekitar 30 menit dengan sudut kemiringan jalan (elevasi) 35 derajat. Meski medannya cukup menantang bagi mereka yang tidak terbiasa, namun pemandangan yang tersaji sesampainya di puncak sungguh indah. 
 
Di puncak, wisatawan dapat menikmati keindahan alam sambil berfoto di sekitar batu granit dengan berbagai fasilitas yang disiapkan mulai dari mobil, sepeda ontel, hingga puncak pohon yang dipangkas untuk tempat berfoto. Jika cuaca mendukung, wisatawan juga bisa menikmati sunset di sana. 
 
Bersua Tarsius, Binatang Malam yang Unik
 
Memasuki malam hari, wisatawan dapat melihat monyet hantu mini bermata belo, yang lebih dikenal sebagai tarsius. Warga setempat biasanya menyebut pelilian. 
 
Wisatawan sangat dibatasi yang berkunjung ke Bukit Peramun untuk menjaga kelestarian biota di dalamnya. Dok. Kemenparekraf
 
Rupa tarsius memang unik. Ukurannya sebesar anak kucing, berbentuk monyet dengan ekor panjang dan memiliki mata besar, serta bisa memutar leher 180 derajat. Hidupnya pun nocturnal.
 
Keberadaan tarsius sangat dijaga oleh warga sekitar karena jumlahnya yang semakin sedikit. Mereka membatasi bahwa dalam satu minggu, hanya tiga kali pengunjung diperbolehkan melihat tarsius. 
 
Cara pengunjung dapat melihat tarsius pun unik. Warga yang membiarkan tarsius hidup bebas di hutan hanya akan mencarinya ketika ada pengunjung yang ingin melihat. Mereka tidak meletakan tarsius di dalam kandang. Hal demikian dilakukan untuk menjaga kelestarian tarsius. 
 
Wisatawan bisa melihat tarsius pada malam hari saat mereka mencari jangkrik. Waktu ideal yakni pukul 18.30 -21.00. Biasanya wisatawan diberi waktu sekitar 10-15 menit dengan jarak minimal 1 meter dari tarsius. 
 
Selain itu juga tidak diperbolehkan menyalakan lampu flash selama memotret. Untuk penerangan, warga setempat akan membantu menggunakan lampu kecil yang cukup terang yang diletakkan dibelakang badan tarsius sehingga tidak menganggu hewan kecil tersebut. 
 
"Cahaya lampu flash dapat merusak mata tarsius. Matanya bisa berair cukup banyak dan butuh waktu lama untuk penyembuhannya," terang Adong lagi. 
 
Selain gugusan kepulauan, Belitung memiliki potensi besar wisata alam di daratan. Dok. Kemenparekraf
 
Waktu melihat tarsius berakhir saat hewan tersebut menunjukan tanda-tanda hendak melompat menuju pohon lain. Jika sudah begitu, pemotretan tarsius harus diakhiri dengan membiarkan mereka pergi. 
 
Pemandu akan menegakkan batang pohon tempat tarsisus berdiri seperti sediakala dan membiarkannya lompat ke pohon lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus