Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi Hatees
Penyair dan peneliti Pusat Kajian Kebudayaan Tapanuli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya terkejut ketika salah satu rekan saya, Ardi Yunus Siregar, bercerita tentang temuan sejumlah tinggalan megalitikum di kaki Gunung Batara Wisnu, di Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. “Batara Wisnu? Apa tidak keliru? Bukankah itu nama dewa dalam lakon pewayangan?” kata saya sembari mengingat karakter wayang kulit yang menampilkan sosok fisik Batara Wisnu yang berkulit hitam, gagah, dan sakti mandraguna dalam lakon Ramayana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ardi, warga asli Sipirok, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, memahami keraguan saya. Pasalnya, masyarakat Batak memang tidak terlalu akrab dengan tokoh-tokoh dalam lakon pewayangan. Dia tersenyum, lalu berkata bahwa dia juga meragukan penamaan itu. “Untuk sementara kita terima. Banyak identifikasi yang dilakukan para peneliti di masa lalu hanya cocokologi,” kata pria berusia 49 tahun tersebut.
Selain pencinta sejarah budaya masyarakat Batak, terutama yang berkaitan dengan asal-usul masyarakat bermarga Siregar, Ardi menguasai filsafat budaya Batak yang disebut Dalihan Na Tolu.
Dia acap melakukan perjalanan ke situs-situs megalitikum yang ada di wilayah Tapanuli bagian selatan. Di daerah ini terdapat banyak titik yang diduga sebagai situs prasejarah, seperti kawasan candi di Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara; candi di Siabu, Kabupaten Mandailing Natal; dan situs-situs permukiman kuno lainnya.
Bila mendengar ada situs megalitikum di suatu daerah, dia pergi sana untuk melakukan pengamatan lapangan guna sekadar membuktikan bahwa kabar yang dia dengar bukan omong kosong. Sering kali saat dia tiba di lokasi yang disebut tinggalan prasejarah, ternyata itu hanya tumpukan batu alam yang tak punya jejak keberadaan peradaban manusia masa lalu.
Jika dari pengamatan lapangan dia bisa menemukan ciri-ciri yang khas dari sebuah situs megalitikum, dia akan merancang ekspedisi ke daerah itu. Dia tak pernah pergi sendirian, selalu mengajak anak-anak muda yang tergabung dalam organisasi pencinta alam. “Generasi muda perlu memahami apa yang ada di sekitarnya. Para pencinta alam mesti tahu cara menggali ilmu pengetahuan dari lingkungan di sekitarnya,” kata dia, Februari lalu, sembari mengajak saya melakukan ekspedisi ke situs-situs megalitikum di kaki Gunung Batara Wisnu. Saya tertarik menerima ajakan itu.
***
Seharusnya kami melakukan perjalanan ekspedisi ke Gunung Batara Wisnu pada Maret lalu. Tapi, gara-gara pandemi Covid-19, kami terpaksa menunda jadwal keberangkatan hingga pemerintah menetapkan kondisi normal baru pada Juni lalu. Ekspedisi pun terealisasi pada 10 Juni 2020. Ekspedisi yang dinamai Ekspedisi Meraba Sipirok (EMAS) IV itu dilakukan untuk mengeksplorasi sejumlah potensi di Kecamatan Saipar Dolok Hole dengan rute Gunung Batara Wisnu.
Ada 18 orang yang ikut. Mereka berasal dari sejumlah lembaga, seperti Ikatan Mahasiswa asal Sipirok, Arse, Saipar Dolok Hole, dan Aek Bilah (Imasada); Komunitas Pencinta Alam (KPA) Forester Tabagsel; KPA Kopi Kelam Sipirok; KPA Fakultas Pertanian Universitas Graha Nusantara; Komunitas Seni Budaya (Konsep) Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan; Mapala Institut Pendidikan Tapanuli Selatan; dan Pusat Kajian Kebudayaan Tapanuli.
Sebelum berangkat, Ardi mengatakan salah satu obyek yang akan dikunjungi adalah situs Lobudao di kaki Gunung Batara Wisnu. Situs arkeologi dari zaman prasejarah itu membentang seluas sekitar 5 hektare di Desa Parsuluman, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Tapanuli Selatan. Di kawasan ini ditemukan fragmen relief-relief yang dipahatkan pada papan-papan batu andesit khas batu dari tradisi megalitikum dan fragmen patung-patung manusia.
Kata “lobudao”, kata Ardi, berasal dari dua kata dasar dalam bahasa Angkola: “lobu” dan “dao”. Dalam Kamus Bahasa Angkola yang disusun Arden Siregar, dkk, kata “lobu” bermakna “perkampungan atau permukiman yang telah ditinggalkan penghuninya dalam kurun yang sangat lama”. Sedangkan “dao” artinya “sangat jauh”. Jadi, “lobudao” secara harfiah berarti “perkampungan yang ditinggalkan sejak lama dan berada di tempat yang jauh”.
Meskipun ada banyak pilihan sarana transportasi umum, kami memilih menyewa truk dari Kota Sipirok menuju Kecamatan Saipar Dolok Hole. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, kami tiba di Kelurahan Sipagimbar, ibu kota Kecamatan Saipar Dolok Hole. Rombongan kami disambut Andri Daulat Pasaribu, warga Sipagimbar yang memandu perjalanan kami. Dia yang menyebarluaskan informasi awal ihwal Gunung Batara Wisnu dan sejumlah situs megalitikum di sekitarnya lewat video blog (vlog).
Truk yang kami tumpangi bergerak ke titik situs Lobudao di Bukit Lobudao, wilayah Desa Batang Parsuluman, sekitar 15 kilometer dari Kelurahan Sipagimbar ke arah selatan. Dalam perjalanan, truk melintasi jalan onderlagh selebar 3 meter, yang kadang menyempit di beberapa bagian karena ditutupi rumpun semak perdu. Di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan asri dari perkebunan warga yang ditanami berbagai tanaman produksi, seperti karet dan kopi.
Sampai pada satu titik kami melihat Gunung Batara Wisnu yang menjulang setinggi 1.790 mdpl di sebelah kiri kami. Di kaki gunung itu, pohon-pohon membentang hijau dan berakhir di kaki-kaki gunung berupa lahan persawahan dengan padi-padi yang menguning. Menjelang tanjakan menuju batas Desa Batang Parsuluman, hamparan lahan kering dengan tanah cokelat menyambut kami. “Dulu di daerah ini bisa ditemukan rusa, kancil, harimau, beruang, siamang, dan binatang-binatang hutan lainnya,” kata Andri.
***
Situs Lobudao tepat berada di lereng Bukit Lobudao (Tor Lobudao). Pada jarak yang tidak begitu jauh, di sebelah tenggaranya terdapat Gunung Batara Wisnu. Dari ketinggian Tor Lobudao menatap ke utara, terlihat Dolok Hajoran atau Tor Sijomba-jomba di wilayah yang termasuk Kabupaten Tapanuli Utara. Nama Dolok Batara Wisnu terdengar asing di telinga masyarakat bermarga Batak yang tinggal di sekitarnya. Mereka nyaris tak punya persentuhan apa pun dengan salah satu nama dewa dalam kisah pewayangan itu, Dewa Batara Wisnu.
Tidak jelas bagaimana latar sejarahnya sehingga gunung setinggi lebih dari1.600 mdpl itu diberi nama Batara Wisnu. Namun tradisi lisan di lingkungan masyarakat di desa-desa di Saipar Dolok Hole menyebutkan bahwa nama Batara Wisnu sudah ada sejak lama. Sejak leluhur pertama mereka yang datang dari Utara tiba di Saipar Dolok ratusan tahun silam, nama Batara Wisnu sudah melekat pada gunung tersebut.
Versi lain menyebutkan nama Batara Wisnu punya kaitan dengan sejumlah situs tinggalan arkeologis yang mengelilingi gunung itu. Di semua arah mata angin, peninggalan arkeologi berupa situs perkampungan kuno dengan kompleks permakaman ditemukan di kaki gunung tersebut. Keberadaan situs-situs perkampungan itu memberi kesan atau orientasi bahwa masyarakat di kaki gunung menempatkan Gunung Batara Wisnu pada posisi agung untuk disembah.
Pada 2004, peneliti dari Badan Arkeologi Medan melakukan survei arkeologis, mendatangi lokasi-lokasi situs yang berorientasi Gunung Batara Wisnu. Saat itu, para peneliti mengawali penelitiannya di obyek-obyek arkeologi berupa candi (biaro) di Kabupaten Padang Lawas Utara, menyusuri sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barumun dan Batang Pane. Guna mencari tahu siapa masyarakat yang memiliki tinggalan arkeologis candi tersebut, para peneliti melakukan survei ke hulu Barumun dan Batang Pane hingga menemukan peninggalan-peninggalan bertradisi prasejarah di kaki Gunung Batara Wisnu.
Pada 2009, enam peneliti dari Badan Arkeologi Medan, yang dipimpin Lucas Partanda Koestoro, melakukan ekskavasi di situs Lobudao. Saat itu mereka menemukan artefak berupa relief pada permukaan batu dan patung yang posisinya mengarah ke Gunung Batara Wisnu. Dalam Berita Penerbitan Arkeologi No. 24 yang diterbitkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata setahun kemudian, para peneliti menyimpulkan bahwa setiap penduduk di situs perkampungan itu memposisikan Gunung Batara Wisnu sebagai obyek agung yang menyimbolkan penguasa jagat raya.
Dalam filsafat Adwaita Wedanta atau tradisi Hindu umumnya, Batara Wisnu merupakan putra kelima dari Batara Guru (Sang Hyang Manikmaya) dengan Dewi Umayi. Batara Wisnu memiliki lima saudara: Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Kala. Dalam mitologi Jawa, Batara Wisnu adalah Dewa Keadilan dan Kesejahteraan. Lantaran Batara Wisnu merupakan simbol keadilan dan kesejahteraan, orang-orang mengaitkan gunung itu dengan Batara Wisnu.
Di situs Lobudao terdapat temuan berupa fragmen patung manusia dengan sikap sembah (duduk dengan bertumpu pada kedua kaki) dan jari tangan ditautkan di sekitar perut. Sepintas hal itu terlihat seperti sikap sembah dalam tradisi Hindu. Apalagi ada simbol yang dibentuk berupa vulva, yang menurut para peneliti merupakan lambang kesuburan karena kemiripannya dengan alat kelamin perempuan.
Ardi menyebutkan simbol vulva itu dalam bahasa Angkola disebut “longgom”, yang artinya “keteduhan, ketenangan, kebahagiaan, kesuburan, dan kesejahteraan” serta dimaknai sebagai sikap penyerahan diri kepada Mula Jadi Nabolon. “Simbol longgom banyak ditemukan pada relief dan patung di sejumlah situs di Tapanuli bagian selatan. Ini simbol yang muncul jauh sebelum ada peradaban Hindu di lingkungan masyarakat,” tutur Ardi.
***
Situs Lobudao diperkirakan ada sebelum masa Hindu atau termasuk situs arkeologi prasejarah. Karena itu, situs ini nyaris tidak ada kaitannya dengan penamaan Gunung Batara Wisnu meskipun temuan-temuan arkeologis di kawasan situs itu berorientasi Gunung Batara Wisnu.
Saat kami tiba di kawasan situs Lobudao, kami disambut kawasan hutan bekas area hutan produksi yang ditanami pinus. Tunggul-tunggul pohon dan kayu pinus gelondongan menyebar di mana-mana. Beberapa pohon pinus yang sudah mati tampak tegak. Sekitar 50 meter melewati hutan pinus, kami tiba di kawasan situs Lobudao.
Di area itu, kami melakukan pengamatan permukaan, mencari tanda-tanda yang menyimbolkan perkampungan kuno, dan menemukan batas perkampungan berupa tanggul dari tanah yang berfungsi sebagai benteng. Sebagian tanggul yang menjadi batas perkampungan sudah hilang, berganti dengan bekas roda kendaraan berat. Kemungkinan besar, saat alat-alat berat digunakan untuk menebangi pinus pada 2017, sejumlah tinggalan arkeologis situs Lobudao mengalami kerusakan akibat dilindas roda kendaraan dan tertimpa pohon yang tumbang.
Dari pengamatan, kami menemukan gejala-gejala yang tampak di permukaan situs dan mendapatkan kejelasan ihwal benda sisa aktivitas manusia pada masa lalu. Kami kemudian menyisir kawasan situs dan menemukan tinggalan arkeologis berupa fragmen keramik. Selain itu, pengamatan yang dilakukan menampak gundukan-gundukan tanah di area permakaman. Kemungkinan besar, permakaman pada masa itu bukan berupa galian tanah, melainkan mayat dimakamkan dengan ditaruh di permukaan tanah kemudian ditimbun.
Gundukan yang menjadi kuburan itu diberi pagar berupa lempeng atau papan batu berdiameter 50 cm atau 40 cm, dan pada beberapa lempeng batu itu ditemukan relief berupa ukiran atau pahatan batu yang menggambarkan sosok manusia sedang menyembah dengan tangan membentuk simbol longgom atau vulva pada bagian bawah perut (pusar). Kubur-kubur itu jiratnya dibangun dengan papan batu berbentuk persegi, yang pada salah satu bagian dibiarkan terbuka. Bagian itu mengarah ke Gunung Batara Wisnu atau tidak diberi pagar berupa papan batu.
Beberapa fragmen patung berhasil ditemukan, umumnya bagian badan, dan sebuah fragmen yang merupakan potongan kepala. Patung-patung tersebut merupakan bagian dari makam karena fragmen potongan patung ada di dalam makam yang diberi pagar berupa papan-papan batu. Potongan fragmen itu berada di posisi menghadap ke arah Gunung Batara Wisnu.
Kami kemudian membersihkan dan menggali beberapa makam. Setiap makam dikelilingi papan batu berupa batu kapur berwarna putih yang mudah pecah. Papan-papan batu disusun membentuk persegi empat sekaligus berfungsi membatasi bagian makam satu dengan makam lainnya. Dalam Berita Penerbitan Arkeologi No. 24 yang diterbitkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Medan, pada 2010 menyebutkan ada 20 makam di situs Lobudao.
Pada beberapa makam, ada bekas fragmen patung berbentuk kaki yang tertanam cukup dalam. Kami mencoba menggali patung-patung tanpa kepala dan badan itu. Tapi, setelah menggali sedalam 50 sentimeter, kami belum juga menemukan dasarnya. Kami memperkirakan, jika kondisinya utuh, bentuk asli patung itu memiliki tinggi sekitar 1 meter. Makam-makam di situs Lobudao berbeda-beda. Beberapa makam dilengkapi dengan patung-patung atau relief di bagian depannya.
Patung-patung tersebut ditanam di bagian depan makam. Hal itu terlihat dari pahatannya yang tidak mencapai bagian bawah, yang menunjukkan bahwa patung-patung tersebut ditanam. Selain itu, terdapat beberapa patung dalam keadaan tertanam. Ukuran makam-makam tersebut berbeda. Demikian pula dengan susunan batunya. Umumnya, makam-makam itu memiliki jirat sederhana, hanya membentuk denah persegi. Namun ada pula yang jiratnya terbentuk oleh susunan batu yang berlapis.
Situs Lobudao masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan masyarakat mana yang membangun perkampungan ini. Namun, sebelum penelitian dilakukan, ada baiknya pemerintah daerah menjaga situs ini dengan baik agar tidak dijarah. Pasalnya, sebagian besar tinggalan arkeologis berupa fragmen-fragmen keramik, patung, dan relief di lokasi ini memiliki nilai sejarah dan ekonomi yang tinggi, yang menjadi incaran pencuri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo