Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Kepingan Kisah tentang Jumadil Kubro

Syekh Maulana Muhammad Jumadil Kubro dianggap sebagai wali dari para wali. Banyak peziarah mengunjungi makamnya.

21 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petilasan Syekh Jumadil Kubra di Bukit Turgo di Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, 16 Maret 2024 TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Makam Syeh Maulana Muhammad Jumadil Kubro menjadi magnet bagi wisatawan.

  • Peziarah biasanya memadati Bukit Turgo pada malam 1 Syuro.

  • Jumadil Kubro dipercaya sebagai wali muslim Jawa paling tua yang berasal dari Majapahit.

NISAN berbahan keramik berkelir hitam ini menjadi legenda dan mitos dari generasi ke generasi. Berada di puncak Bukit Turgo, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, kayu dan kotak berselimut putih berdiri di atasnya. Pada dinding keramik tertulis "Makam Syeh Maulana Muhammad Jumadil Kubro".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sore saat gerimis pada pekan pertama puasa Ramadan lalu, tak ada peziarah yang merapal doa. Hanya kabut tebal dan angin yang menudungi petilasan. Peziarah meyakini tempat pemujaan itu sebagai makam Jumadil Kubro. Orang Jawa mengenalnya sebagai wali dari para wali, nenek moyang Wali Songo, dan petapa hutan. Jumadil Kubro memikat orang Jawa dengan ajaran-ajaran sufi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peziarah datang ke sana untuk memanjatkan doa serta mencari berkah keselamatan dan rezeki. Ada juga yang melatih laku prihatin dan tirakat. Biasanya peziarah memadati petilasan ini pada malam 1 Syuro dan malam Nisfu Sya'ban. Menurut ajaran Islam, Suro, sebagai bulan Muharam, diyakini punya makna sangat penting oleh mayoritas muslim di Jawa. Menurut kepercayaan Islam-Jawa, 10 hari pertama bulan Suro dianggap paling keramat.

Muharam memiliki banyak kelebihan, di antaranya merupakan bulan kemuliaan bagi para nabi dan rasul, juga terdapat hari Asyura pada 10 Muharam dan umat Islam disarankan berpuasa pada hari itu. Muharam merupakan bulan pertama dalam sistem penanggalan Hijriah atau tahun baru Islam. "Jumlah pengunjung bisa mencapai 5.000 orang saat peringatan malam 1 Suro," kata pengelola desa wisata Gunung Merapi, Wasi, kepada Tempo, Jumat, 19 April 2024. 

Menurut Wasi, para peziarah banyak yang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka berasal dari berbagai kalangan, di antaranya pejabat dan politikus. Sejumlah orang menyebutkan presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pernah berziarah ke petilasan itu.

Pemandangan di sekitar puncak Bukit Turgo di Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, 16 Maret 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Pada hari-hari biasa, jumlah kunjungan hanya 50-200 orang. Itu pun hanya pada hari tertentu, yakni Sabtu dan Ahad. Selama puasa Ramadan dan libur Lebaran tahun ini, jumlah kunjungan per hari hanya 50 orang seiring dengan status siaga atau level tiga Merapi.

Berbagai literatur tentang Islam di Asia Tenggara, misalnya kitab sejarah maupun babad Jawa, banyak menyebutkan Jumadil Kubra. Arkeolog asal Belanda, Martin van Bruinessen, dalam bukunya yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, menyebut Jumadil Kubra sebagai leluhur Wali Songo, seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Ampel.

Tapi tak terdapat satu sumber tertulis pun yang menyebutkan perjalanan Jumadil Kubra ke Asia Tenggara pada zaman Majapahit. Martin yakin Jumadil Kubra hanya temuan, ciptaan para habib sebagai usaha meningkatkan perannya dalam sejarah Islam di Jawa.

Dalam sejarah keilmuan Islam, terdapat satu orang yang diberi gelar kubra, yaitu Najmuddin Kubra, pendiri tarekat Kubrawiyah yang berkembang di Iran dan Asia Tengah pada abad ke-13 hingga ke-17. Ciri khas tarekat ini menekankan pada cara melihat dengan mata hati cahaya-cahaya berwarna yang mengandung makna khusus.

"Nama Najmuddin Kubra dan tokoh silsilah Kubrawiyah lain disebut dalam beberapa babad Jawa lama, terutama Sejarah Banten Rante-rante, sebagai guru dan teman seperguruan Sunan Gunung Jati ketika belajar di Mekah," demikian ditulis Martin dalam buku setebal 576 halaman itu.

Thomas Stamford Raffles, dalam buku History of Java atau Sejarah Jawa pada 1817, juga merekam kisah Jumadil Kubra sebagai pembimbing wali pertama. Raden Rahmat, yang kemudian menjadi Sunan Ampel, lahir dari pasangan ulama Arab dan putri Campa. Pertama-tama, ia datang ke Palembang, lalu melakukan perjalanan ke Majapahit. Dia mendarat di Gresik dan mengunjungi Syekh Jumadil Kubra yang menetap di Gunung Jali. 

Di desa-desa lereng Gunung Merapi, legenda Jumadil Kubra muncul dalam cerita dari mulut ke mulut. Jumadil Kubra dipercaya sebagai wali muslim Jawa paling tua yang berasal dari Majapahit. Dia hidup sebagai petapa di hutan Gunung Merapi. Jumadil Kubra juga dipercaya sebagai penasihat spiritual Sultan Agung, raja Mataram yang membawa kerajaan mencapai puncak kejayaan. Sekali dalam 35 hari pada malam Jumat Kliwon, roh Sultan Agung mengunjungi syekh yang bertapa di lereng gunung itu.

Bukit Turgo bukan satu-satunya lokasi makam Jumadil Kubra. Makam Jumadil Kubra di Gresik disebut dalam Babad Pajajaran. Sang wali juga dihubungkan dengan Semarang. Babad Tanah Jawi menceritakan bahwa Jumadil Kubra bertapa di Bukit Bergota, sebelah selatan Semarang. Banyak orang meyakini kuburan di antara tambak daerah pesisir pantai sebagai makam Jumadil Kubra.

Wasi menyebutkan petilasan Jumadil Kubra di puncak Bukit Turgo sudah ada sejak ia masih bocah. Cerita tentang Jumadil Kubra yang menjalankan syiar Islam dan menghalau roh-roh halus di sekitar Merapi berkembang sejak dulu. 

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman Ishadi Zayid menyebutkan petilasan itu menjadi magnet bagi peziarah. Pemerintah daerah membangun jalan setapak dan menyediakan tempat parkir untuk memudahkan akses peziarah. "Keunggulan Bukit Turgo adalah wisata minat khusus religi." 

SHINTA MAHARANI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus