Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Kepiting Mangrove Cagar Alam Tanjung Panjang Mulai Berkurang

Peneliti mangrove dari Gorontalo Nurain Lapolo mengatakan jumlah dan keanekaragaman jenis kepiting mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang berkurang.

31 Juli 2018 | 11.49 WIB

Sejumlah pengunjung menikmati wisata hutan bakau atau mangrove di atas jembatan bambu yang mengelilingi hutan Mangrove di Pantai Maron, Semarang, Jawa Tengah, 13 Juni 2016. Wisata hutan Mangrove seluas 95 hektar ini menjadi destinasi wisata baru ngabuburit di Kota Semarang. TEMPO/Budi Purwanto
material-symbols:fullscreenPerbesar
Sejumlah pengunjung menikmati wisata hutan bakau atau mangrove di atas jembatan bambu yang mengelilingi hutan Mangrove di Pantai Maron, Semarang, Jawa Tengah, 13 Juni 2016. Wisata hutan Mangrove seluas 95 hektar ini menjadi destinasi wisata baru ngabuburit di Kota Semarang. TEMPO/Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Gorontalo - Peneliti mangrove dari Gorontalo Nurain Lapolo mengatakan jumlah dan keanekaragaman jenis kepiting mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang (CATP) Kabupaten Pohuwato mulai berkurang. Penyebabnya adalah terjadinya konversi lahan di kawasan tersebut.

Dari penelitian yang dilakukan sejak tahun 2017, keragaman jenis kepiting di CATP hanya 22 spesies. Ini tergolong dalam tingkat sedang. Selain itu di sana tidak ditemukan lagi kepiting yang bernilai ekonomi tinggi.

Ke-22 spesies yang ditemukan tersebut meliputi tujuh family, yakni Gecarcinidae, Grapsidae, Ocypodidae, Oziidae, Portunidae, Sesarmidae dan Varunidae. "Kepiting yang dominan ditemukan di lokasi survei adalah jenis Perisesarma eumolpe,” kata Nurian, di Gorontalo, Senin, 30/7.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia jenis kepiting di area ini tidak dapat dikonsumsi. Kepiting jenis Scylla sp yang dapat dikonsumsi jarang ditemukan di cagar alam ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Nurain meneliti kepiting dengan mengambil sampel di desa Siduwonge dan Esa Patuhu. Menurut dia jenis  kepiting mangrove memiliki daya adaptasi tinggi terhadap perubahan lingkungan. “Mereka akan menghindari bila habitatnya terganggu aktivitas manusi.”

Maka degradasi lahan akibat konversi mangrove menjadi tambak di kawasan itu, telah menyebabkan rendahnya keanekaragaman dan kemelimpahan kepiting di sana. Dia menyrankan kawasan itu dipulihkan. "Tambak itu telah menghilangkan habitat alaminya," tukas Nurain.

Ketua Kelompok Kerja Mangrove Daerah Provinsi Gorontalo Rahman Dako mengatakan status Cagar Alam Tanjung Panjang harus dipertahankan meskipun telah banyak dikonversi menjadi tambak. Menurut dia sekitar 80 persen dari tiga ribu hektare luas CAPT kini telah berubah menjadi lahan bisnis tambak.

"Sejarah degradasi CATP sudah lama yang puncaknya pada tahun 2000an, sehingga butuh waktu lama untuk memulihkan kondisinya," kata Rahman.

Menurut Rahman banyak pihak yang berperan dalam alih fungsi CATP itu. Saat ini kepemilikan tambak didominasi warga dari luar Gorontalo. "Pemerintah pusat sebagai pemegang otoritas kawasan, cenderung membiarkan kawasan ini dialihfungsikan. Pemda juga inkonsistensi dalam memperlakukan petani tambak. Misalnya mereka malah memungut pajak pada tanah objek perselisihan."

ANTARA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus