Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Malam 1 Suro yang Penuh Makna dalam Penanggalan Jawa, Ini Tradisi yang Masih Dijalankan

Masyarakat Jawa sangat menghargai dan menjaga tradisi setiap perayaan, termasuk malam 1 Suro yang memiliki makna mendalam.

6 Juli 2024 | 21.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mubeng Beteng merupakan tradisi tahunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang telah ada sejak zaman Sri Sultan Hamengkubowono I untuk menyambut Tahun Baru Islam atau 1 Suro. Foto: @ibonugro_

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - 1 Suro berasal dari asyura yang berarti hari ke-1 Muharram atau bertepatan dengan Tahun Baru Islam. Bagi umat muslim, malam itu seluruh amalan yang dikerjakan akan dilipatgandakan oleh Allah. Sementara itu, berdasarkan penanggalan Jawa, malam satu Suro dipercaya sebagai malam pergantian tahun yang dianggap momen sakral dan penuh makna. Pada bulan Suro, masyarakat Jawa menyelenggarakan berbagai macam acara dengan kegiatan dan makna berbeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengacu buku Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa dalam jurnal.buddhidharma.ac.id,  sakralitas memperingati malam satu Suro berhubungan dengan budaya keraton. Pada masa lampau, keraton kerap melakukan upacara dan ritual yang diwariskan turun-temurun. Sa;ah satu yang masih dilakukan adalah tradisi tapa mbisu mubeng beteng atau puasa bicara sembari keliling benteng di Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap malam Suro, masyarakat Jawa meyakini bahwa energi alam semesta mengalami perubahan. Bahkan, beberapa orang Jawa memiliki kekuatan mistis pada malam Suro. Keyakinan ini yang membuat masyarakat Jawa melakukan beragam ritual agar terhindar dari gangguan hal buruk ketika malam satu Suro tiba. 

Awal mula perayaan malam satu Suro bertujuan untuk memperkenalkan kalender Islam bagi kalangan masyarakat Jawa. Pada 931 Hijriah, ketika pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II membuat penyesuaian sistem kalender Hijriah (Islam) dengan kalender Jawa kala itu. Sementara itu, menurut catatan sejarah lain, penetapan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).

Lalu, pada 1633 Masehi, Sultan Agung menetapkan Tahun Jawa atau Tahun Baru Saka di Mataram yang sekaligus menetapkan 1 Suro sebagai Tahun Baru Jawa, bersamaan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah.

Saat itu, Sultan Agung ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa. Akibatnya, Sultan Agung berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa. Penggabungan dua sistem kalender ini bertujuan agar rakyat dapat bersatu lantaran ada perbedaan keyakinan agama kelompok Santri dan Abangan (Kejawen). Penyatuan kalender tersebut dimulai sejak Jumat Legi, Jumadil Akhir, 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi.

Tradisi satu Suro dalam masyarakat Jawa dianggap penting dan disakralkan lantaran beberapa faktor sebagai berikut. 

Muharram Salah Satu Bulan Suci

Berdasarkan publikasi ilmiah repository.iainbengkulu.ac.id, bagi Islam tradisional, Muharram termasuk salah satu bulan suci sehingga umat muslim diperintahkan untuk berintropeksi diri, baik selama tahun lalu maupun tahun depan. Biasanya, muslim Jawa melakukan ritual mujahadah, doa, bersedekah, atau kenduri untuk memperingati satu Suro. 

Bulan Keramat

Muslim Jawa menganggap satu Suro merupakan salah satu bulan keramat karena penentu perjalanan hidup. Akibatnya, bagi muslim Jawa pada bulan tersebut disarankan untuk meninggalkan berbagai perayaan dunia untuk intropeksi diri dan fokus beribadah kepada Allah. Setiap agama dan kepercayaan pasti memiliki bulan khusus untuk berintropeksi diri, termasuk Suro. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus