Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Saya mendatangi pameran tentang sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Pameran bertajuk “Namaku Pram: Catatan dan Arsip” tidak hanya memadukan diri Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis namun juga ayah bagi ketiga anaknya. Bila biasanya kita mengenal Pram melalui buku-bukunya, dalam pameran ini, pengunjung akan diajak melihat Pram dari sisi lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada akhir Mei lalu, saya mengunjungi pameran ini untuk kedua kalinya. Kali ini berbeda karena saya pergi bersama dengan kakek saya. Beliau yang mengenalkan saya dengan karya-karya Pram sejak dini (walaupun saya baru baca ketika di SMA). Kebetulan, hari itu saya bisa mengikuti tur dipandu oleh Mbak Enggel Tanzil bersama dengan Surya Sahetapy dan sang ayah, Ray Sahetapy. Lagi-lagi berbeda dari biasanya, tur kali itu Mbak Engel ditemani oleh seorang interpreter bahasa isyarat karena ternyata sebagian besar peserta tur hari itu adalah tunarungu. Wow!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lokasi pameran ini digelar memang tidak terlalu besar, Dia.Lo.Gue Art Space, Kemang Raya, namun dapat membawa kita tenggelam dalam nama Pram yang besar. Pameran akan diawali dengan linimasa kehidupannya beserta catatan-catatan pribadinya; termasuk tulisan tangannya. Di bagian ini, pengunjung tidak diizinkan mengambil gambar. Kebijakan ini menjadikan saya benar-benar membaca setiap katanya.
Di antara ruang arsip dan linimasa, pengunjung akan disuguhi video yang berisi pendapat orang-orang sekitar Pram mengenai dirinya. Di ruang arsip, ada surat-surat, foto, serta penghargaan yang telah diterima oleh beliau. Sebagian ada yang didapat dari salah seorang penulis Korea yang juga sahabatnya–saya lupa namanya. Arsip-arsip berharga ini, belum pernah dipamerkan di manapun, bahkan di awal, pihak keluarga merasa ragu untuk memamerkannya.
Butuh waktu dua tahun untuk menyiapkan pameran ini, cerita Mbak Engel–kurator sekaligus pemilik Dia.Lo.Gue Art Space. Bukan hanya untuk mengumpulkan konten, tapi saya yakin juga untuk memikirkan kemasan pameran yang cocok untuk orang sebesar Pram. Bagaimana membawa pengunjung tahu sisi lain Pram, sang penulis hebat; bagaimana dia berkomunikasi dengan anak-anaknya lewat surat–yang hanya dikirimkan satu tahun sekali–ketika di Pulau Buru; bagaimana anak-anaknya mulai lupa akan sosok ayah karena sudah terlalu lama ditinggal; bagaimana beliau bekerja dan kebiasaannya, semua tersaji dengan apik di pameran ini.
Di depan ruang kerja Pram, tepat di akhir tur, Mbak Engel mengakhiri tur dan memberi kesempatan pengunjung untuk bertanya. Kakek saya bertanya. Tidak jelas pertanyaannya apa, yang pasti beliau mengakhirinya dengan menangis. Beliau takut, jika Pram masih dianggap sebagai komunis… Sakit, semua orang pun ikut meneteskan air mata di situ, tanpa terkecuali. Keluar dari area gedung, pengunjung disuguhi Taman Kata-kata–kutipan tulisan Pram yang dicetak di atas kain putih.
Tulisan sudah tayang di ireneswastiwi