Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA kali Kejaksaan Agung ”terkapar” di pengadilan dalam ”kasus Hilton”. Meski belum final betul, Selasa pekan lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan Pontjo Sutowo dan Ali Mazi dari dakwaan korupsi karena mendapatkan sertifikat palsu untuk lahan Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) di kawasan Senayan, Jakarta. Putusan hakim itu tak pelak membuat jaksa syok.
”Delik inti perbuatan melawan hukum merugikan negara tidak terbukti,” kata Heru Pramono, salah seorang hakim majelis, kepada Tempo pekan lalu. Selain tak ada bukti duit negara bobol, tindakan para terdakwa mengakali pejabat negara juga tidak jelas. ”Apa yang mempengaruhi pejabat BPN menerbitkan hak guna bangunan mereka, itu juga tak terungkap,” kata Heru, yang juga menjabat juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Padahal kerugian negara, versi jaksa, amat besar: Rp 1,9 triliun. Ini akibat hilangnya tanah negara milik Sekretariat Negara karena ”dihapus” dua HGB milik PT Indobuildco, perusahaan pemilik Hotel Hilton. ”Banyak fakta terungkap di pengadilan, tapi hakim tidak banyak mempertimbangkan dakwaan jaksa,’’ ujar Kemas Yahya Rahman, Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, kecewa.
Sebelumnya, pada 8 Januari lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga memenangkan Indobuildco dalam gugatannya terhadap Badan Pertanahan Nasional, Sekretariat Negara, dan Kejaksaan Agung. Hakim Mahmud Rahimi, yang memimpin sidang, menyatakan sertifikat nomor 26 dan 27 milik Indobuildco sah. Justru Keputusan BPN Nomor 169 Tahun 1989 tentang Pemberian Hak Pengelolaan atas nama Sekretaris Negara selaku Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Senayan—yang terbit menyusul—cacat hukum. ”Sehingga tidak bisa dijadikan alasan mengikat HGB milik Indobuildco,” kata Mahmud saat membacakan putusan. Ini artinya, justru sertifikat Sekretariat Negara yang harus dibatalkan.
Ketika perkara korupsi lahan itu disidangkan di Jakarta Pusat pada September 2006, sekitar sembilan bulan sejak putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, jaksa nekat menuduh Pontjo dan Ali Mazi telah melakukan perbuatan curang. Keduanya dianggap merugikan negara dan turut serta dalam perpanjangan hak tanah secara ilegal oleh Badan Pertanahan. Padahal, jelas, sertifikat Indobulidco sudah dinyatakan sah.
Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), mengaku tidak meragukan kualitas keputusan hakim. ”Saya tahu kredibilitas majelis hakim baik,” katanya menilai majelis hakim yang dipimpin Adriana Nurdin tersebut. ”Kalau sampai mereka memutus begitu, ada yang salah dengan dakwaan jaksa,” katanya.
”Konstruksi dakwaan jaksa memang lemah,” kata Hasril Hartanto, Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi). Jaksa terkesan tidak tahu letak kesalahan para terdakwa. ”Mereka tidak bisa memperjelas pelanggaran yang dituduhkan,” kata staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Dalam dakwaan primer, jaksa hanya menuduh pelanggaran hukum merugikan negara. Sedangkan dalam poin sekunder, jaksa mengaitkan sebagai turut serta dalam tindakan penerbitan sertifikat ”tidak absah” oleh dua pejabat BPN, yang belum terbukti karena disidang terpisah. ”Tidak salah kalau hakim lalu menyimpulkan posisi Pontjo Sutowo seperti pemohon hak pada umumnya. Kalau dikabulkan, ya, bukan salah dia dong,” kata Hasril.
Seharusnya jaksa masuk pada soal mengapa pejabat BPN menerbitkan sertifikat perpanjangan hak Indobuildco, padahal ada ketentuan yang melarangnya. ”Pasti ada alasannya. Masak, pejabat senekat itu tanpa sebab. Saya duga ada penyuapan,” ujar Hasril. Informasi adanya ”pembagian duit” ini pernah didengarnya tapi tak dikembangkan jaksa. ”Ada apa? Padahal ini pelanggaran hukum yang lebih nyata.”
Fakta penyuapan yang jelas terlarang itu, menurut Hasril, penting. Sebab unsur material korupsi dalam Undang-Undang Korupsi Tahun 1999 sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada Juli 2006. ”Jika perkara suap dimasukkan sebagai dakwaan tambahan, tuduhan turut serta kedua terdakwa bisa dicantolkan di situ,” tutur Hasril. Sayang memang.
Arif A.K., Sandy Indra Pratama, Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo