Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Mengenal Kampung Pitu, Desa di Yogyakarta yang Hanya Boleh Dihuni Tujuh Kepala Keluarga

Tradisi menjaga jumlah kepala keluarga yang tinggal di Kampung Pitu Yogyakarta terkait suatu kepercayaan adat di situ.

3 November 2023 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana Kampung Pitu di Desa Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta (Dok. Istimewa)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Ada sebuah desa cukup unik di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama desa itu Kampung Pitu, terletak dekat destinasi Gunung Api Purba Nglanggeran, persisnya di Pedukuhan Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keunikan desa ini karena sejak berdiri, desa ini hanya ditinggali tujuh kepala keluarga, tidak boleh kurang atau lebih. Kampung Pitu tetap mempertahankan tradisi leluhur dengan pembatasan jumlah kepala keluarga sebanyak tujuh orang secara turun temurun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kampung Pitu selalu dihuni tujuh keluarga sejak awal hingga saat ini, meskipun di setiap keluarga kadang memiliki anak lebih dari satu, tetapi hanya satu keluarga yang bisa tinggal," kata tokoh Kampung Pitu, Surono dalam kisahnya kepada Tim Jinayakarta Pemda DIY Oktober 2023.

Surono merupakan keturunan atau generasi kelima perintis Kampung Pitu yang dikenal dengan nama Mbah Iro Kromo. Dia menuturkan, tradisi menjaga jumlah kepala keluarga yang tinggal di Kampung Pitu terkait suatu kepercayaan adat di situ.

Suasana Kampung Pitu di Desa Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta (Dok. Istimewa)

Asal mula Kampung Pitu

Ceritanya, sebelum dikenal dengan nama Kampung Pitu, awalnya pemukiman tersebut bernama Kampung Telaga Gunung Wayang. Konon, terdapat pusaka sakti yang menempel pada pohon Kinah Gadung Wulung di puncak Gunung Wayang tersebut dan belum ada yang bisa mengambilnya. Sampai akhirnya Keraton Yogyakarta membuat sayembara dengan imbalan tanah secukupnya bagi siapa saja yang berhasil mengambil pusaka tersebut.

Ternyata, sayembara tersebut dimenangkan seorang warga asal Banyumas Jawa Tengah bernama Mbah Iro Kromo, kakek buyut Surono 

Mbah Iro pun menerima imbalan tanah seluas tujuh hektare yang kini menjadi lokasi cikal bakal Kampung Pitu. Namun, untuk menjaga ketentraman penghuninya, Kampung Pitu itu syaratnya hanya boleh ditinggali keturunan langsung dari Mbah Iro Kromo dan hanya tujuh kepala keluarga saja. Ada kepercayaan atau mitos, apabila jumlah kepala keluarga lebih atau kurang yang tinggal di tempat itu, maka akan terkena musibah atau kemalangan. 

BerbagaI adat tradisi maupun ritual keagamaan warga Kampung Pitu pun berperan meneguhkan kepercayaan bahwa Kampung Pitu hanya boleh dihuni oleh tujuh kepala keluarga.

"Jadi Kampung Pitu ini memang belum pernah dihuni lebih dari tujuh keluarga sampai saat ini," kata Surono. "Kalau ada (kepala keluarga lebih banyak dari tujuh), selebihnya akan merantau atau memilih tinggal di desa lain,” dia menambahkan.

Maka pada 2014, nama kampung itu pun dinamai dengan Kampung Pitu. 

Kehidupan warga Kampung Pitu

Warga Kampung Pitu memiliki mata pencaharian sebagai petani dan peternak menyesuaikan dengan kondisi lahan. Jika musim kemarau, warga alih pekerjaan sebagai peternak baik ayam, kambing hingga sapi. Sedangkan pada musim hujan, warga mengolah sawah yang dimiliki untuk pertanian. Warga juga banyak yang berkebun mengingat letak kampung ini berada di area perbukitan.

Pemandangan eksotik

Selain keunikannya, Kampung Pitu ini juga memiliki keindahan alam yang sangat luar biasa dan eksotik. Ada tiga puncak gunung yang bisa dilihat dari desa ini dengan pemandangan memesona, yaitu Puncak Kampung Pitu, Puncak Watu Bantal, dan Puncak Gung Tugu. 

Tak hanya itu daya tarik pemandangan alam yang dimiliki Kampung Pitu. Dari desa yang berada di ketinggian 750 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu, pengunjung bisa melihat barisan awan, lima gunung hingga kawasan pemukiman apabila cuaca cerah. 

Dari Puncak Watu Bantal, pengunjung juga bisa melihat pemandangan Embung Batara Sriten, Embung Nglanggeran, hingga Kota Wonosari dan sebagainya. Dari sini juga pengunjung bisa menyaksikan matahari terbit maupun tenggelam.

Di lokasi Kampung Pitu juga terdapat sumber mata air yang konon merupakan bekas Telaga Guyangan. Dahulu kala, telaga ini merupakan tempat pemandian kuda sembrani (kuda gaib). Kini, telaga yang telah mengering tersebut dimanfaatkan warga sebagai area persawahan, sedangkan sumber mata airnya tetap digunakan untuk kebutuhan warga sehari-hari maupun irigasi sawah.

“Kami berharap desa terpencil ini bisa menjadi tujuan wisata untuk menambah ekonomi warga setempat dan biar lebih maju," kata Surono 

Saat ini Kampung Pitu bisa diakses kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat. Sebelumnya akses jalan masih berupa tanah yang dibuka pada 2010 lalu. Wisatawan yang menyewa Jeep Nglanggeran dapat singgah di Kampung Pitu.

PRIBADI WICAKSONO

Mila Novita

Mila Novita

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus