MUSIM panas, 4 Juli 2004. Terik matahari dan udara kering-kerontang membekap Aleppo. Aku turun dari bus antarkota setelah tiga jam menderu-deru dari Damaskus, ibu kota Suriah. Lalu lintas padat merayap, kerumunan pemuda antre di halte bus, gadis cantik belia bercelana ketat melenggang di pusat kota. Suriah memang melegenda sebagai "produsen" gadis cantik -- nomor dua setelah Libanon, tentu. Kota yang mulai dikenal sejak 3.000 tahun sebelum Masehi ini seperti selalu tersenyum lebar menyambut kaum pelancong.
Terletak sekitar 350 kilometer sebelah utara Damaskus, kota tua itu menyimpan sejuta romantisme peradaban. Benteng Aleppo menjadi tujuan pertama. Boleh jadi karena kota berpenduduk 3,5 juta orang ini identik dengan legenda benteng itu sendiri. Sebab, di lokasi artefak tersebut kita bisa menyambangi berbagai tokoh dalam sejarah masa silam.
Sebut saja Salahudin al-Ayubi, komandan pasukan Islam pada abad ke-12 Masehi yang menjadi pahlawan dalam Perang Salib. Benteng inilah markas besar tentara Salahudin. Tadinya, konstelasi bangunan sudah kurang memadai. Kemudian sang panglima perang memerintahkan balatentaranya merenovasi sampai dirasa cukup kuat menahan gempuran para kesatria Eropa.
Bangunan gagah itu berdiri sekitar 40 meter di atas bukit. Parit selebar 30 meter dengan kedalaman 20 meter melingkari bangunan dan berfungsi sebagai sistem penahan gempuran. Dari atas benteng, seluruh Kota Aleppo bisa tersapu pandangan. Bisa terbayangkan, jika ada pasukan musuh berada lebih dari lima kilometer jauhnya, mereka bakal terdeteksi.
Satu-satunya jalan masuk hanyalah sebuah pintu baja besar, yang terhubung ke tangga batu dengan sudut kemiringan mencapai 80 derajat. Aku mencoba mendorong pintu gerbang baja yang beratnya benar-benar minta ampun. Pada zaman itu, bisa jadi diperlukan 4-5 orang untuk mengoperasikan sebelah daun pintunya.
Di ruangan utama yang terletak di lantai satu masih teronggok gelindingan batu-batu cadas sebesar bola basket yang ditemukan saat renovasi tahun lalu. Inilah amunisi perang, yang ketika itu dijadikan peluru ketapel meriam besar. Sayang, hingga kini panitia renovasi peninggalan bersejarah Suriah 2003-2006 belum juga menemukan di mana meriamnya sendiri terkubur.
Aku meneruskan langkah mendaki tangga batu menuju lantai dua. Sekitar 10 meter dari ruangan utama, terdapat sebuah peti yang ditutupi kain hijau. "Di sinilah dulu Nabi Khidir diyakini pernah singgah," kata Hasyim, pelajar sebuah madrasah. Nabi yang satu ini memang istimewa. Dia diyakini berada di mana-mana, dan pernah berdialog dengan semua nabi yang pernah ada. Naik ke lantai teratas, terdapat sebuah masjid berukuran lapangan bulu tangkis. Masjid ini dipercaya sebagai tempat beribadah Nabi Ibrahim. Bapak para nabi itu pernah singgah ke bukit ini selepas berkelana menyusuri Sungai Eufrat.
Suatu kali, penduduknya yang sengsara minta bantuan Ibrahim. Mukjizat datang, sapi putih yang dibawanya memproduksi susu secara besar-besaran dan menyelamatkan warga. Berikutnya, Ibrahim meninggalkan hewan berharga itu sebagai hadiah bagi penduduk. Sejak itu, kota ini dikenal dengan nama Halab -- dalam bahasa Arab berarti putih -- dan Alep dalam bahasa Prancis. Dari sini agaknya kata Aleppo berasal.
Adalah Saluqos Nikator, pendiri Kerajaan Seleucid di Suriah. Pada tahun 312 sebelum Masehi, ia untuk pertama kalinya mendirikan sebuah markas militer untuk pertahanan kota di bukit tertinggi tadi. Posisinya yang sangat strategis ternyata juga menjadikannya jalur perlintasan dagang terpenting antara kerajaan-kerajaan Mesopotamia dan Mesir. Kemudian bangsa Amor -- pada abad ke-18 sebelum Masehi -- mengikuti jejak Saluqos. Berikutnya, penduduk Aleppo jadi bulan-bulanan pendudukan kerajaan besar macam Mesir, Asyria, Persia, Yunani, dan Romawi. Aleksander Agung menempatkan kota ini dalam salah satu daftar singgah favoritnya.
Setelah cukup puas menikmati pemandangan dari atas benteng, aku turun dan menyeberangi jalan. Menyusuri terowongan bawah tanah sepanjang 10 kilometer, kita bisa berbelanja di pasar rakyat lama Souk. Tapi seorang kawan yang tiggal di Damaskus sempat berpesan kepadaku agar tidak mengaku sebagai orang Indonesia kalau jalan-jalan ke pasar ini. "Kalau mau merasakan sebagai tamu agung, mengakulah sebagai orang Malaysia," katanya. Lho, kok?
Pesan itu benar-benar terbukti. Ketika bercengkerama dengan para pedagang pasar, aku justru memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia. Benar saja, mereka acuh tak acuh bahkan enggan menyebut berapa harga barangnya. Bahkan mereka memasang muka masam, seolah menganggap tamunya orang papa.
Di lokasi berikutnya, aku mengaku sebagai orang Malaysia. Tak cuma mereka tersenyum lebar, malah sudah jalan satu kilometer pun aku masih dikuntit dan ditawari barang dagangannya. Mereka mengeroyok dan berebut. Selidik punya selidik, di benak mereka, orang Malaysia adalah simbol penduduk negara kaya penghasil minyak bumi. Kalau orang Indonesia? Yah, kabarnya, sekitar 12 ribu tenaga kerja asal Indonesia mengayuh hidup di negeri ini.
Sekitar 3 kilometer dari benteng, terdapat persimpangan jalan ke luar menuju Masjid Umayah, yang dibangun pada 715 Masehi. Pada zaman Khalifah Suleiman bin Abdul Malik, diperintahkanlah pembangunan sebuah masjid agung. Yang menarik bukan karena bangunannya yang megah dan melambangkan kemajuan arsitektur Islam. Di salah satu makam, di sudut masjid, masyarakat percaya terbujur mayat Nabi Zakaria. Sayang, aku tak sempat menyelonong ke sana-kemari, karena sejumlah bangunan masjid sedang direnovasi.
Mengunjungi Aleppo bak menjalani wisata rohani. Sejuta legenda kenabian dan kisah kepahlawanan terkubur ke dalam masa lalu. Bertandang ke kota ini pun bukan tek sulit dan mahal. Dari Damaskus, kita bisa naik bus antarkota. Khusus bus patas (cepat terbatas), ongkosnya hanya 160 lira (sekitar Rp 30 ribu). Kalau mau lebih irit, bisa naik bus ekonomi dengan tarif Rp 15 ribu. Bahkan dengan Rp 10 ribu kita sudah bisa menyewa taksi keliling kota.
Dari Masjid Agung Umayah, aku meluncur ke kawasan Mashad. Lokasi ini tak ubahnya segi tiga legenda Karbala-Aleppo-Damaskus. Tak lama setelah kepala Imam Husein bin Ali -- cucu Nabi Muhammad -- dipenggal di Karbala, balatentara Yazid bin Muawiyah menggelandangnya menuju Aleppo. Untuk memperolok-olok Husein, penggalan kepalanya digeletakkan begitu saja di atas batu, di sebuah gedung yang diyakini sebagai gereja kuno, sebelum akhirnya diserahkan ke Muawiyah di Damaskus.
TEMPO sempat terheran-heran melihat warna merah darah yang masih membekas di batu itu. Bagi penganut Syiah, darah Husein itu tak bakal sirna walau umurnya sudah lebih dari seribu tahun. Sayangnya, hingga kini memang belum ada penelitian DNA dan semacamnya ihwal darah suci ini.
Seiring dengan beranjaknya matahari ke peraduan, aku merapat ke terminal Kota Aleppo. Bus yang separuh penuh itu mulai beringsut meninggalkan rajutan peradaban, legenda, cerita kepahlawanan, dan tragedi anak manusia.
Rommy Fibri (Suriah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini