Umurnya belum lagi genap lima tahun. Tapi, jangan perlakukan Annisa Rania Putri sebagai gadis cilik yang masih kolokan-cengeng-manja. Lebih baik jangan pula menyapa dia dengan sebutan adik kecil. ?See, I am not a child,? kata si upik dengan nada sewot. Matanya mendelik lucu.
Hobi Annisa atau Chacha itu juga sama sekali bukan hobi khas anak-anak. Dia senang nongkrong sambil minum kopi di Starbuck. Sembari nongkrong berjam-jam sambil menyeruput secangkir caffe latte panas, Chacha sesekali meladeni sapaan dan obrolan pengunjung lain. Hanya, ada satu syaratnya: semua sapaan mesti diungkapkan dalam bahasa Inggris. ?I don?t understand if you said in bahasa,? kata upik yang sudah bercas-cis-cus dalam bahasa Inggris sejak ia mulai belajar bicara pada umur satu setengah tahun itu.
Annisa memang bocah luar biasa. Simaklah perbincangannya dengan sang ibu, Laksmi M. Handoyo, yang tidak dipanggilnya dengan sebutan ?mama? tetapi cukup hanya dengan panggilan akrab: Yenny.
?Cha, kamu ingat peristiwa yang terjadi saat kamu lahir??
?Ingat. Waktu itu Yenny pakai baju putih. Dokter dan perawat pakai baju biru,? kata Annisa santai. Fokus tangan dan matanya tak bergeser sedikit pun dari permainan yang tersuguh di layar komputer.
?Ada satu lagi,? kata Annisa, ?Waktu itu Om sedang tidak ada di rumah.?
Setelah dilakukan cek ulang, semua keterangan si gadis cilik benar adanya. Empat setengah tahun lalu, saat proses persalinan Annisa, tim dokter dan perawat di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta, mengenakan seragam biru. Adik lelaki Laksmi ketika itu juga sedang pergi untuk urusan bisnis ke Hong Kong.
Boleh jadi, segala ucapan Annisa hanya kebetulan semata. Namun, menurut Laksmi, kejadian semacam ini tidak muncul cuma sekali. Terlalu banyak ucapan Annisa yang cocok dengan peristiwa masa lalu, bahkan yang terjadi sebelum ia lahir ke dunia. Terlalu banyak untuk sebuah kebetulan.
Laksmi tak puas hanya dengan teori kebetulan. Ia dihantam rasa penasaran. Setelah tes ini-itu dan konsultasi panjang-lebar dengan seorang psikiater, tahulah Laksmi bahwa anaknya termasuk kelompok spesial. ?Chacha adalah anak indigo,? ujarnya.
Indigo, topik yang kini menjadi buah bibir para orang tua. Dua pekan lalu, sebuah sarasehan yang digelar Klub Studi Metafisika di Hotel Kebayoran, Jakarta, mendiskusikan soal indigo. Beberapa hari berikutnya sebuah stasiun televisi juga menayangkan acara perbincangan bertajuk Anak Indigo.
Aslinya, indigo diambil dari kosakata Spanyol yang bermakna nila. Istilah anak indigo dimunculkan oleh Nancy Ann Tappe, psikolog dan pengajar di Universitas San Diego, Amerika. Tappe secara khusus tertarik mempelajari kaitan antara aura dan karakter seseorang. Secara intensif, Tappe berkeliling dunia, melakukan pencitraan aura pada puluhan ribu orang dengan menggunakan kamera Kirlian. Kamera khusus yang sanggup menangkap citra aura ini diciptakan oleh Seymour Kirlian pada tahun 1939.
Sejatinya, aura adalah pancaran gelombang elektromagnetik berwarna tertentu yang melingkupi setiap tubuh. Gelombang itu muncul karena tubuh kita juga banyak mengandung zat-zat bermuatan listrik, terutama pada cairan darah dan otak, yang berlintasan ke sana kemari. ?Warna aura bersifat permanen, menetap pada diri seseorang dari ayunan bayi sampai menuju kuburan,? tulis Tappe dalam bukunya. Sesekali memang ada perubahan warna aura. Tapi, katanya, ?Hal ini sangat jarang terjadi.?
Pada 1982, setelah tiga dekade menjelajah jagat, Tappe menerbitkan buku Understanding Your Life through Color. Dalam buku ini dia menjelaskan adanya perubahan menarik pada gambaran umum aura penduduk dunia. Orang-orang dewasa, yang lahir tahun 70-an dan sebelumnya, lebih banyak memunculkan warna aura biru dan ungu. Namun, pada mereka yang lahir pada era 80-an dan sesudahnya, aura yang dominan adalah nila atau campuran biru dan ungu. Dari sinilah istilah anak indigo makin mendunia. Tappe meramalkan, ?Kemunculan anak indigo akan kian jamak pada dekade-dekade berikut.?
Apa, sih, keistimewaan anak indigo?
Dr. Tubagus Erwin Kusuma, psikiater dari Klinik Prorevital, Cempaka Putih, Jakarta Timur, menjelaskan. Bocah indigo biasanya lahir dengan tingkat kecerdasan tinggi, skor IQ mereka melampaui angka 120. Seperti spons, kecerdasan ini membuat mereka sanggup menyerap segala informasi dengan kecepatan tak terduga. Annisa, contohnya, memiliki IQ 125. Tidak hanya lihai berbahasa Inggris, nona kecil ini juga sedang merancang arsitektur rumah dengan gaya desain ala rumah-rumah Amerika. Boleh jadi, ide desain rumah ini diserap Annisa ketika dia membaca majalah atau menonton film-film.
Memang, kecerdasan ekstra tidak jarang menimbulkan masalah. Anak-anak indigo cenderung bersikap sok pintar, tengil, dan hanya meneguhi hal-hal yang mereka sukai. Vincent Liong, 19 tahun, contohnya, sangat menyukai aktivitas tulis-menulis. Dia bahkan menerbitkan buku Berlindung di Bawah Payung, yang isinya refleksi atas kejadian-kejadian sederhana saat umurnya masih 14 tahun. Saat ini Vincent baru saja merampungkan buku terbaru yang berjudul Saat Kiamat dalam Ruang Individu.
Gairah Vincent yang begitu melimpah pada dunia tulis-menulis itu tidak berlaku pada semua bidang. Jangan harap pemuda cerdas ini mau belajar matematika. Sejak kecil, matematika telah membuat murid SMU Gandhi International School, Jakarta, ini merasa sebal. Vincent bahkan pernah menolak mengikuti mata ujian matematika. ?Aku bingung pada dogma satu tambah satu sama dengan dua,? katanya, ?Aku juga bingung dengan ilmu ekonomi. Ada perbedaan antara ilmu dan realitas sosial.?
Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan ?normal?, Tubagus Erwin menjelaskan, membuat banyak anak indigo mendapat perlakuan yang keliru. Para dokter mendiagnosis mereka dengan autisme, ADHD (attention deficit hyperactive disorder), atau ADD (attention deficit disorder). Mereka kemudian dijejali obat-obatan yang bekerja pada jaringan saraf, seperti Ritalin, padahal, ?Mereka tidak butuh obat-obatan itu,? kata Erwin.
Anak yang menyandang ADHD dan ADD, Erwin menjelaskan, cenderung susah memusatkan konsentrasi. Mereka nyaris tidak pernah melakukan suatu hal sampai benar-benar tuntas. Sebaliknya, ?Anak indigo mengerjakan banyak hal secara serius dan dengan kualitas yang mengagumkan,? kata Erwin. Dan memang dibutuhkan pendekatan ekstra karena anak-anak nila hanya mau mengerjakan apa yang mereka gemari.
Selain kecerdasan, ada lagi satu ciri yang melekat pada anak indigo. ?Mereka memiliki kepekaan spiritual yang tinggi,? kata Erwin. Hal ini berkaitan dengan sifat aura indigo yang nila itu. Berbagai kitab pengobatan kuno menunjukkan, aura nila terutama dipancarkan oleh area tubuh di antara dahi dan mata. Aura ini menjadi pusat kedalaman jiwa seseorang. ?Kita menyebutnya sebagai mata ketiga,? kata Erwin. Itulah sebabnya anak-anak indigo kerap disebut memiliki jiwa tua (old soul) yang wasis.
Anak-anak indigo, bagi Erwin, adalah anugerah bagi umat manusia. Kecerdasan, kebijakan, kekritisan, dan kepekaan spiritual mereka akan memberi sumbangan besar pada proses bermasyarakat. ?Merekalah yang akan menjadi pemimpin umat manusia di masa mendatang,? katanya.
Fenomena indigo pun bukan fase akhir. Kelak akan muncul anak-anak yang disebut crystal children. ?Warna dasar aura mereka bening dan lengkap,? tuturnya. Selain cerdas, mereka lebih bijak dan lebih mampu beradaptasi hingga bisa diterima semua orang. Seperti anak indigo, kepala anak kristal juga seolah dilingkupi sorban berwarna kebiruan. Menurut ramalan Michel de Nostredame, ahli nujum dari Prancis di abad ke-15, dunia masa depan akan dipimpin oleh orang-orang bersorban biru. Tentu saja, tak seorang pun tahu akankah ramalan Nostradamus ini bakal terwujud.
Leo Lumanto, seorang spiritualis di Jakarta, membenarkan adanya kepekaan spiritual yang tinggi pada anak-anak indigo. Tiga puluh anak indigo yang sering berkonsultasi dengan Leo terbukti memiliki kepekaan spiritual sejak lahir. Ini kelebihan yang memungkinkan mereka sanggup meneropong sesuatu yang tidak kasatmata, misalnya melihat roh. Tapi, ?Jangan disamakan dengan klenik. Ini berbeda sekali,? kata Leo.
Pada klenik, contohnya orang yang disebut perewangan, kemampuan supranatural didapatkan dari bantuan ilmu-ilmu hitam. Tapi, pada anak indigo, kemampuan spiritual muncul semata-mata karena mereka memiliki kapasitas otak dan jiwa yang lebih. Seluruh indra mereka berfungsi tajam, termasuk indra yang keenam seperti yang ditampilkan dengan memukau dalam film Sixth Sense.
Anak-anak indigo juga tidak gampang diminta pamer keahlian. Annisa, misalnya, dengan kenes tak segan mendamprat orang yang memintanya beraksi khusus. Vincent paling cuma cengar-cengir kalau diminta meramal jodoh. Kelebihan anak indigo memang sering muncul dengan sendirinya, terutama saat mereka sedang rileks dan tenang. ?Kalau lagi on, Chacha bisa berjam-jam ngomongin arsitektur dengan sangat rinci,? kata Yenny.
Lain lagi Rio (bukan nama sebenarnya). Bocah tujuh tahun yang kalem ini sering berdialog dengan teman-teman spiritualnya. Selagi bermain, dia menceritakan kemunculan kawannya yang bersayap putih bak malaikat. ?Namanya Michael,? kata Rio. Michael inilah yang kerap menyampaikan pesan-pesan bijak: jangan nakal, jangan cengeng, dan tak baik berantem dengan sesama teman. Rio pun kemudian meneruskan pesan-pesan bijak ini kepada teman-teman sepermainannya di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan.
Dr. Irmansyah, dari Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), tidak mengingkari adanya fenomena indigo. Tetapi, dia menambahkan, hal ini perlu dipandang secara jernih dan tidak berlebihan, apalagi sampai menganggap jiwa anak-anak indigo ini datang dari zaman yang telah lampau, semacam reinkarnasi. ?Saya sendiri belum menemukan adanya penelitian ilmiah tentang hal ini,? kata Irmansyah.
Memang, dunia anak-anak adalah dunia yang penuh imajinasi dan fantasi. Apa yang mereka bayangkan, mereka gambarkan, ya, itulah yang mereka katakan. Kepolosan anak-anak yang membuat mereka mengungkapkan apa adanya tanpa ditambah dan dikurangi. ?Bisa jadi,? kata Irmansyah, ?cerita anak-anak ini pun berhubungan dengan halusinasi mereka.?
Dr. Dwidjo Saputro, psikiater yang mengelola Klinik Smart Kid, sependapat dengan Irmansyah. ?Indigo itu tidak ada dalam kamus medis,? katanya. Biarpun begitu, Dwidjo tidak menyangkal adanya fenomena indigo. Sebetulnya anak indigo tidak berbeda dengan anak-anak normal. Hanya, ?Dia punya kelebihan. Orang Jawa menyebutnya linuwih,? kata Dwidjo.
Segenap kelebihan dan keistimewaan itu, Dwidjo menyarankan, sebaiknya dibiarkan berkembang apa adanya, tidak disertai semangat pemanfaatan atau eksploitasi. Tidak pula diiringi pemujaan yang berlebih seakan mereka makhluk super-istimewa. Namun, kelebihan ini juga jangan sampai dibatasi, apalagi sampai ditekan dan dihilangkan. ?Apa yang dimiliki anak-anak itu bukan sesuatu yang abnormal, kok,? ujarnya.
Ellae Elinwood, ibu dari dua anak indigo di Oregon, Amerika, pernah menulis esai yang mengesankan perihal fenomena indigo. Anak-anak indigo ini bukanlah dewa atau dewa kecil. Mereka tak lebih dari manusia yang lahir dengan segunung bakat. Elinwood menulis, ?Mereka membutuhkan kebijakan kita, bukan pemujaan, yang akan membimbing mereka menuju kedewasaan yang penuh.?
Arif Firmansyah dan Indra Darmawan (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini