Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila Anda penggemar dangdut, jangan kaget bila berjumpa dengan Jupriadi di perempatan Grogol, Jakarta Barat. Pria yang pernah membetot perhatian penonton Dangdut Mania, sebuah reality show di stasiun TPI, itu kembali ke pekerjaan lamanya: pedagang asongan di jalan.
Semula Jupri menyangka mimpinya menjadi bintang bakal menjadi kenyataan. Pria lulusan sekolah menengah pertama ini menyabet juara II Dangdut Mania di TPI tahun lalu. Duit Rp 28 juta masuk kantong.
Rumah idaman—meski bukan di Pondok Indah—tipe 21 di Tangerang pun bisa terbeli. Panggilan menyanyi juga berdatangan setelah itu. ”Minimal saya dibayar satu juta,” katanya. Bahkan pernah untuk satu lagu, ia dibayar Rp 500 ribu. Jupri Asong—demikian nama panggungnya—pernah mendapat job delapan kali sebulan. Permintaan manggung datang seperti nelayan panen di musim ikan.
Sayang, hujan rezeki cuma bertahan beberapa bulan. Roda nasib Jupri kembali ke bawah. Sudah tiga bulan ia mengalami paceklik order. Suaranya mendadak tak laku untuk mengiringi joget. Memang ia tak pernah beriklan seperti para bintang besar, cukup berpromosi dari mulut ke mulut. Uang yang tak seberapa pun habis buat menyambung hidup istri dan tiga anaknya. Kini rumahnya yang mungil terpaksa dilego. Sebagian buat hidup, sisanya buat modal mengasong. ”Saya diledek, ’Artis kok ngasong,’” kata pria 39 tahun yang tinggal di rumah kontrakan sederhana itu.
Kisah Jupri ternyata terjadi di mana-mana. Sejak saluran televisi swasta menggeber berbagai reality show pencarian penyanyi instan sekitar lima tahun silam, kisah artis gagal pun ikut bertebaran. Muhamad Safari, misalnya, menumpang di sana-sini setelah berstatus gelandangan. ”Pernah saya tak makan selama dua hari karena kehabisan duit,” ujarnya.
Bujangan ini menumpang di rumah Ucok Koki—juru masak hotel berbintang yang juga peserta Dangdut Mania I—di Perumahan Sukatani, Cibubur, Jakarta Timur. Di rumah itu, lelaki asal Solo ini membantu usaha katering rumahan milik istri Ucok. Setiap hari, selain membantu memasak, Safari berkeliling mengantarkan rantang makanan untuk sarapan pelanggan. ”Yang penting saya punya tempat berteduh dan bisa makan,” ujar Safari kepada Tempo.
Jupri dan Safari—keduanya biduan dari daerah pinggiran—sempat bermimpi menukar nasib setelah melihat iklan audisi Dangdut Mania di stasiun televisi dan koran. Keduanya berhasil menyisihkan sekitar 6.000 pesaing dalam audisi di Jakarta. Melihat fajar merekah, Safari mendadak sontak memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai kurir di sebuah bank swasta di Solo, yang menggajinya sekitar Rp 1 juta per bulan. Ia berpamitan kepada ibunya yang tinggal di sebuah rumah petak di Solo untuk berjuang meraih mimpi menjadi biduan kondang.
”Kalian adalah calon penyanyi top,” begitu sanjungan dari pegawai TPI yang kerap didengarnya selama masa karantina di Jakarta. Produser Dangdut Mania I mengubah nama Ari Kasela—nama panggilan Safari di Solo—menjadi Ian Kasolo karena wajahnya sungguh mirip Ian Kasela, vokalis band Radja. Penampilannya pun dipermak. Rambutnya yang dicat kuning dibuat acak. Tak lupa Ian Kasolo memakai kacamata hitam, ciri Ian Kasela. ”Kami juga diperlakukan seperti raja. Tinggal di vila, mau ke restoran mana saja tinggal bilang,” ia mengenang masa bahagia.
Safari makin bersemangat ketika mendengar kabar pemenang Dangdut Mania I akan dikontrak menjadi artis TPI. ”Tiap minggu saya ngebom SMS biar menang,” katanya. Nasib kontestan memang diukur dengan banyaknya pesan pendek dukungan penonton. Safari a.k.a. Ian Kasolo pun menghubungi keluarga dan teman-temannya agar mendukungnya dengan pesan pendek—cara yang juga dilakukan peserta lain. ”Setiap minggu habis Rp 5 juta untuk beli voucher pulsa,” ucapnya. Selama acara itu, jika dijumlah, duit Rp 30 juta ludes; padahal itu hasil berutang kepada keluarga dan rentenir di kampung.
Setelah tersuruk dan utang menumpuk, stasiun televisi juga tak bisa menolong, karena Dangdut Mania cuma panggung penggila dangdut. ”Prinsipnya, kami memberikan kesempatan, bukan pekerjaan,” kata Wijaya Kusuma Subroto, Sekretaris Korporat TPI.
Hampir semua stasiun televisi memang membuat kontes menyanyi untuk mencari artis-artis baru. ”Caranya dengan ajang pencarian bakat,” kata Gufroni Sakaril, bagian hubungan masyarakat Indosiar. Apalagi kesempatan itu diberikan stasiun televisi skala nasional. ”Jadi ini kesempatan emas, mereka bela-belain ikut audisi. Karena ini diyakini sebagai tahapan go nasional,” Gufroni menjelaskan. Terbukti, audisi di berbagai kota besar selalu banjir peserta yang bermimpi menjadi artis.
Stasiun televisi pun mengaku memberikan bekal kepada para bintang wannabe ini. Mereka yang tersaring dikarantina untuk dididik dan dilatih di Jakarta. ”Mulai soal broadcasting, host, pembawa acara, main sinetron, sampai menjaga perilaku supaya tidak ’jatuh’,” kata Wijaya.
Reality show ini terbukti awet meski terus ditayangkan lebih dari empat tahun. Indosiar, misalnya, pernah punya Akademi Fantasi Indosiar (AFI) sampai lima angkatan. Khusus dangdut, stasiun ini punya Kontes Dangdut Indosiar (Kondang-In). RCTI punya Indonesian Idol dan TPI punya Kontes Dangdut TPI serta Dangdut Mania.
Program-program tersebut sempat sebentar menghilang dari layar kaca, setelah rating—yang menjadi acuan para pemegang keputusan di televisi—mulai turun. Tapi acara semacam ini menggeliat kembali sejak setahun lalu Indosiar melahirkan acara Mama Mia. Paket dan penampilan diubah. Para calon penyanyi kini ditemani sang ibu yang sekaligus berperan sebagai manajer. Acara ini kemudian berhasil meraih ranking 10 besar versi AC Nielsen; menggusur beberapa judul sinetron yang saat itu merajai rating. Varian acara ini pun berkembang, seperti Super Mama dan Super Soul Mate.
Kini jumlah lulusan ajang kontes pencarian penyanyi semakin banyak. Indosiar, misalnya, dari lima kali AFI dan Kondang-In sudah ”meluluskan” 120 orang. Ini tidak termasuk belasan orang dari Mama Mia. Tak semuanya bisa ditangani stasiun televisi dan tak semua sukses.
Di RCTI, misalnya, hanya pemenang Indonesia Idol 2007 yang dikontrak. ”Kemampuan kami terbatas,” kata Harsiwi Achmad, Direktur Program RCTI. Belum lagi ditambah selera penonton. Sebab, bagaimanapun itu semua reality show.
Sudah jelas acara-acara baru ini adalah salah satu cara mendongkrak rating; sesuatu yang dikejar berbagai stasiun televisi. Dan sedihnya, para calon penyanyi itu hanyalah alat pendongkrak. Artinya, setelah program selesai, artis baru yang masih populer itu diikat kontrak sampai beberapa tahun. Namun, ketika popularitas mereka sudah menurun, mereka ”dibuang”. Tentu saja Jupri dan Safari tidak berpikir sematang itu ketika mulai ikut audisi hingga habis-habisan berutang untuk membiayai anggaran pulsa sanak dan teman.
Arif A. Kuswardono, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo