Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari, Dicky Zulkarnaen bersama istrinya, Mieke Wijaya, berjalan-jalan di Kota Solo. Hampir di sepanjang jalan orang menyapa istrinya dengan Bu Broto. Tak seoran pun menyapanya dengan Bu Mieke atau Nyonya Dieky. "Lalu apakah ini bisa dicegah?" kata Dicky. Tentu saja, tak perlu dicegah. Malahan nama Bu Broto yan sudah melekat pada diri Miek Wijaya itu bisa dikomersialkan. Begitu pula nama Pak Broto, Mbak Pur, Jeng Sri, Tarjo, sudah melekat kuat pada diri Drs. Poernomo, Ida Leman, Dewi Yull, dan Mathias Muchus. Jika kemudian biro-biro iklan menggaet Keluarga Losmen ini untuk mempromosikan berbagai produk, itulah rezeki. Yang paling laris sudah tentu Mieke Wijaya. Maklum, dialah tokoh Losmen yang paling sering muncul di TVRI, dan tentunya paling populer. Apalagi nama Bu Broto pernah dijadikan judul film. Kini Mieke tak hanya tampil di media cetak, tapi juga di radio, baik bersolo karier maupun bersama Mathias Muehus dan Drs. Poernomo alias Mang Udel. Mieke, misalnya, tampil di iklan obat batuk bersatna Mathias Muchus, mengiklankan minyak angin di radio bersama Mang Udel dan "menjual" kopi sendirian di media cetak. Sekali waktu muncul Mang Udel membonceng Mieke untuk iklan sepeda motor. Berapa mereka dibayar? Mieke agak tertutup. Mathias hanya menjawab singkat, "Ya, lumayan." Soalnya, pemeran Tarjo ini mengaku tak banyak mendapat order dari iklan. "Saya 'kan pemain laki-laki. Kalau saya ini cewek, ya, mungkin laris. Untuk iklan 'kan biasanya lebih disukai cewek," kata mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini. "Saya baru sekali muncul di iklan, yaitu di obat batuk bersama Bu Mieke Wijaya." Hidayati A. Leman, yang biasa dipanggil Ida Leman dan populer dengan "nama baru" Mbak Pur, juga tak hendak memaparkan penghasilannya mendompleng ketenaran Losmen ini. "Selama ini saya baru nongol dua kali. Satu untuk mempromosikan panci yang dikontrak dua tahun. Satu lagi perusahaan teh untuk kontrak setahun," kata ibu seorang anak yang di layar televisi menjadi perawan tua ini. Dibayar berapa? "Wah, tak enak menyebutkan, ada etikanya, katanya lagi. Di rumahnya, Ida Leman juga membuka salon kecantikan. Sedangkan honornya main di TVRI, "Kecil sekali, tak cukup untuk biaya hidup sebulan. Percayalah." Yang blak-blakan bicara tentang rezeki dari iklan ini hanya Mang Udel. "Untuk iklan di radio dengan waktu penyiaran satu menit, saya dibayar Rp 400 ribu," katanya dengan polos. Belum lama ini ia mendapat tawaran untuk memperkenalkan sebuah komoditi ekspor. Tetapi biro iklan itu ngotot supaya ia tampil berdua dengan Mieke Wijaya. "Bu Mieke minta Rp 10 juta, mungkin permintaan itu terlalu tinggi. Akhirnya, ya, tidak jadi," kata Mang Udel, sambil terkekeh. Keluarga losmen ini, yang bersatu teguh di layar televisi dan saling membantu dalam setiap kisah, dalam kehidupan sehari-hari tak sama rezekinya. Eeng Saptahadi pemeran Jarot itu, dan Sutopo H.S. yang kini lebih dikenal sebagai Pak Amo, hanya bisa gigit jari. Memang, peran mereka tak menolong Jarot adalah suami yang lebih sering senewen, sementara Pak Atmo hanyalah pelayan losmen. Tentu saja, tak merangsang bagi biro iklan. Dewi Yull sendiri kasusnya lain. Ia sering pula muncul dalam iklan, tetapi lebih mewakili dirinya sendiri ketimbang Jeng Sri. Misalnya, dalam iklan mobil, ia muncul bersama suaminya Ray Sahetapy. Bandingkan, misalnya, dengan Mieke Wijaya dan Ida Leman, yang selalu berkebaya, bahkan kebaya dalam iklan itu pasti pernah dipakainya dalam Losmen. Atau Mathias Muchus, yang tampil dengan kain luriknya. Yang juga gigit jari adalah Wahyu Sihombing dan Tatiek Malyati suami istri yang melahirkan Keluarga Losmen. Walau begitu, Wahyu tak mempersoalkan penampilan mereka di bidang itu. Pimpinan "Studio 17" ini sama sekali tak melarang anak buahnya mencari uang dari nampang di media cetak atau berkaok-kaok di radio, mendompleng peran mereka dalam Losmen. Kata Wahyu kalem, "Itu rezeki masing-masing. Silakan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo