Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Keluarga bu broto di luar losmen

Para pemain sandiwara TVRI "losmen" masing-masing: Mieke Wijaya, Ida Leman, Mathias Muchus dan Mang Udel bermain bersama dengan grup srimulat surabaya di Malang dan Surabaya. Wahyu Sihombing kecewa.

27 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAYAR dibuka. Penonton bertepuk tangan. Ada ruang tamu lengkap dengan seperangkat kursi. Di situ duduk Pak dan Bu Broto, sedang asyik mengenang masa lalu, saat-saat Perang Kemerdekaan. Ada Tessy, tamu di rumah itu, yang ikut mendengarkan. "Rasanya ingin perang lagi, Bu. Supaya bisa ketemu lagi sama Ibu, seperti waktu muda dulu," kata Pak Broto, bercanda. "Oh, begitu, ya. Jadi, Bapak sekarang ndak senang sama Ibu, karena Ibu udah ndak muda lagi," jawab Bu Broto. Tessy nyeletuk, Orang Belanda itu 'kan tinggi-tinggi dan besar-besar, sedangkan Bapak ini, eh, ndak jadi ...." Melihat Tessy cengengesan, Pak Broto menimpali, "Ndak apa-apa. Maksudnya Jeng Tessy mau bilang Bapak ini kecil, begitu? Ya, memang kecil, tapi senjata bapak panjang." Ucapan ini langsung disambar Tessy, "Ih, bapak. Ih, panjangnya, eh, Bapak panjang. Aduh, nih mulut. Sing panjang iku opo to, Pak?" Penonton gerr.... "Jeng Tessy kok jadi ngawur. Yang panjang itu senjata yang Bapak pakai untuk bertempur," kata Pak Broto. Ini bukan panggung Srimulat. Memang, di sana ada Tessy, pelawak Srimulat yang bergaya kebanci-bancian itu. Tapi di sana kan ada Pak Broto, Bu Broto, kemudian menyusul Tarjo dan Mbak Pur. Nama-nama itu tentu sudah Anda ketahui, mereka keluarga besar Losmen Srikandi, yang muncul sebulan sekali di TVRI. Selasa pekan lalu di gedung Go Skate, Surabaya, orang-orang Losmen itu bermain dengan orang-orang Srimulat. Sehari sebelumnya, gabungan ini bermain di Malang. Cerita yang dimainkan Sama-Sama Perawan Tua. Simaklah ceritanya, sedikit saja. Setelah Tarjo keluar, minta izin untuk kuliah, dan Mbak Pur ikut ngobrol, rumah itu lalu digerebek polisi. Semuanya kaget. Mereka dituduh melindungi buronan. Pak Broto karena merasa tak berbuat, menyangkal. Namun, Letnan Dua Polisi Bambang Gentolet menggertak. "Jangan bergerak. Angkat tangan semua," teriaknya. Pak Broto diam. "Ayo angkat tangan," kata polisi itu lagi. "Lho, tadi bilangnya jangan bergerak. Kalau angkat tangan, namanya bergerak juga. Mbok beri perintah satu per satu, jawab Pak Broto kalem. Setelah bertengkar sana sini, akhirnya Letda. Bambang Gentolet memborgol Pak Broto. Cukup. Anda pikir, cerita ini ditulis Tatiek Malyati dan pementasannya disutradarai Wahyu Sihombing? Tentu saja tidak. Cerita ini ditulis Dicky Zulkarnaen. Para pemain tak sepenuhnya taat pada skenario yang ditulis Dicky sepanjang 14 halaman. Gaya Srimulat mewarnai pertunjukan yang memakan waktu kurang dari satu jam itu Tessy, Bambang Gentolet, dan satu lagi pemain Srimulat, Isye, seperti menenggelamkan orang Losmen. Lalu yang penting adalah ini: Mieke Wijaya, Drs. Poernomo alias Mang Udel, Ida Leman, dan Mathias Muchus pergi ke Jawa Timur tidak mengatasnamakan Losmen. Dipimpin Dicky Zulkarnaen, suami Mieke Wijaya, mereka menyebut dirinya "Keluarga Bu Broto". Entah kapan grup ini dibentuk. Padahal, sebagai grup, Keluarga Losmen sudah tiga kali pentas di atas panggung. Pertama di Balai Sidan Senayan, Jakarta, memeriahkan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional dan Hari Ibu. Lalu di Taman Mini Indonesia Indah, memeriahkan ulang tahun perkawinan Pak Harto dan Ibu Tien ke-40. Kemudian di Surabaya, menyambut Tahun Baru 1988. Di tiga pentas itu naskah Losmen ditulis penulis tetapnya, Tatiek Malyati, dan disutradarai Wahyu Sihombing -- siapa lagi. Mereka tak cuma menyuguhkan ha-ha he-he, tetapi ada pesan yang mau disampaikan. Sewaktu di Balai Sidang itu, misalnya, ceritanya Sekuntum Melati, mengangkat problem seorang ibu yang juga wanita karier. Humor pun ditampilkan dengan segar, tanpa vulgar. Itu yang menyebabkan -- ketika Wahyu Sihombing mendengar ada 4 orang "anak asuhnya" terbang ke Surabaya dengan menamakan dirinya "Keluarga Bu Broto" -- ia langsung menyesalkan kejadian itu. Hombing merasa tak dimintai izin. Dan Hombing, yang bersikukuh ingin mempertahankan Keluarga Losmen "sebagai penyaji drama yang bukan tontonan kodian", merasa terpukul. Tapi dengarlah Dicky Zulkarnaen. Ia tak menyebut atau memakai nama Losmen. Jika ia menyebut "Keluarga Bu Broto" dengan tokoh tokoh yang sama dengan Losmen, itu pun diakuinya karena pertimbangan bisnis belaka. "Tapi pementasan ini tak ada kaitannya dengan TVRI maupun Wahyu Sihombing," katanya. Karena itu, Dicky merasa tak perlu minta izin dari mana pun. Dan ia pun tak merasa main comot seenaknya. Yang tak mau ikut, ya, tak diajak. "Kalau ada jadwal pengambilan gambar Losmen, ya, saya juga tak mengganggu. Tahu diri, dong," kata aktor yang dikenal dengan julukan Si Pitung ini. Masalahnya, seperti dikatakan Ida Leman, pemain Losmen terikat kontrak dengan TVRI per episode dan secara perorangan, bukan atas nama "Studio 17". "Kalau lagi malas atau shoq ke daerah, bisa saja absen untuk satu episode," kata Ida Leman. "Sebagai orang Timur, kalau kami datang dari luar kota, kami juga membawa oleh-oleh. Itu 'kan sudah cukup. Apa, ya, harus minta izin segala. Atau apa memang itu aturannya?" Namun, Hombing mengatakan, para pemain seyogyanya minta izin dulu kalau manggung di luar kegiatan rutin "Studio17", jika membawa nama Losmen. Terhadap pementasan di Jawa Timur itu, Hombing kini sedang memikirkan tindakan yang lebih tegas. Soalnya, ia sudah pernah melayangkan peringatan tertulis. Pertama, ketika muncul kaset Gara-Gara Janda Kembang, yang mencantumkan nama Losmen di sampul kaset itu. Kedua, ketika Mieke dan Ida Leman bermain di Srimulat Semarang, dengan memakai nama Bu Broto dan Mbak Pur -- artinya membawa nama Losmen. Bahkan Hombing berniat meniru kasus Sar Sepuh yang oleh PT Kalbe Farma kini didaftarkan di Direktorat Patcn dan Hak Cipta, Departemen Kehakiman. Jika itu dilakukannya, setiap pencatutan nama Losmen, termasuk nama peran yang memasyarakat itu, bisa digugat. Tapi pementasan "Keluarga Bu Broto" di Malang dan Surabaya sebenarnya juga sepi peminat. GOR Pulosari, Malang, yang berkapasitas 6.000 orang hanya terisi kurang dari seperempat. Di Go Skate, Surabaya, hanya diminati kurang dari 1.500 orang. Ada yang mengatakan, sepinya penonton ini karena masuknya tiga pemain Srimulat dan melihat judul pementasan yang tak lebih dari perpanjangan tangan Srimulat. Harga karcis Rp 3.500 00 dan Rp 5.000,00. Rombongan Jakarta ini dibayar Rp 7 juta, dan 3 pelawak Srimulat dibayar Rp 1,2 juta. "Kalau tidak salah, saya akan diberi Rp 1 juta," kata Mang Udel. Dibandingkan honor Losmen di TVRI? "Wah, ya, kalau main di televisi enam kali atau enam bulan, di panggung hanya dua hari, ha ... ha ...." Tapi dari situlah mereka terkenal dan malah bisa jadi model iklan (lihat Orang Losmen berjualan). Yuroni Henridewanto (Jakarta) dan Herry Mohammad (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus