Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Lebih baik ditakuti daripada...

Alih bahasa : c. woekirsari jakarta : gramedia, 1987 resensi oleh : soetjipto wirosardjono.

27 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANG PENGUASA Oleh: Niccolo Machiavelli Alih bahasa: C. Woekirsari Penerbit: PT Gramedia, 1987, 128 halaman BUKU Sang Penguasa (11 Pnnciple, The Prince), baru-baru ini diterbitkan edisi Indonesianya oleh Gramedia. Ditulis oleh Niccolo Machiavelli tahun 1512 dan baru selesai beberapa tahun kemudian.. Mungkin hal itu disebabkan karena kesulitan dan ke-iatan hidup duniawi yang dihadapi Machiavelli saat ia dipecat dan disingkirkan. Namun, ditulisnya buku tersebut juga membuktikan penderitaan itu tidak meredupkan minatnya di bidang politik. Diberi pengantar berupa sebuah surat yang ditujukan kpada penguasa Republik Florensia saat itu, Lorenzo di Medici, buku yang terdiri atas dua puluh enam bab itu menguraikan telaah historis permainan kekuasaan yang terjadi di negara-negara sekitar Italia pada zamannya. Buku Sang Penguasa ditulis secara jujur, terus terang, tanpa eufemisme. Ia bercerita tentang kekejaman dan kejahatan pemegang kekuasaan dengan dingin dan tanpa bayangan dosa. Serta memberi uraian pembenarannya. Kajian modern atas pikiran Niccolo Machiavelli ini menggolongkan aliran filsafat politiknya menganut pemisahan tindakan politik dari pertimbangan moral dan etika. Buku Sang Penguasa ini merupakan salah satu tonggak sejarah pemikiran politik yang terpenting sepanjang zaman. Aliran pemikiran politik yang dominan dari dahulu hingga saat ini ialah paham politik yang diilhami oleh kaidah normatif: keluhuran kekuasaan yang mendasarkan peri lakunya pada kaidah moral, etika, bahkan agama. Seperti juga di Jawa, ajaran yang dalam Wulangreh dan Wedatama sarat norma, tata krama, dan etika. Machiavelli tegas menolak keharusan etis dalam pengendalian kekuasaan. Menurut Machiavelli, dalam praktek, kalau ada tindakan yang tampak etis dan bermoral, itu karena pilihan tindakan itu sesuai dengan kepentingan tegaknya kekuasaan semata. Bukan didorong tuntutan nurani yang etis. Tesis utama pikiran Machiavelli dalam Sang Penguasa adalah pragmatisme politik. Ia menolak berkhayal tentang kekuasaan yang secara normatif disebut baik. Karena oleh banyak ilmuwan politik, karya Machiavelli ini juga disebut dalih kenegaraan (reason of state). Artinya, demi kekuasaan negara, peri laku politik mempunyai dalih-dalihnya sendiri. Dalih-dalih itu tidak boleh dijumbuhkan dengan kaidah moralitas pribadi. Dalam kendali kekuasaan, menurut Machiavelli, tiada tempat bagi pertimbangan mana yang baik, mana yang buruk. Kekuasaan itu memang pada hakikatnya tidak bermoral. Tidak mengherankan bila sementara ahlipolitik menangkap ajaran Machiavelli ini dengan ungkapan corrolar--nya: kalau ingin tahu corak pemerintahan suatu bangsa serta pilihan tatanan kenegaraannya, jangan hanya membaca ekspresi normatif yang tertuang dalam konstitusi ataupun ideologinya. Tetapi tengoklah peri laku penguasa dalam mempermainkan kendali kuasanya. Sang Penguasa selama berabad-abad memesonakan ahli kenegaraan, pemimpln mlliter, dan ilmuwan politik. Ada yang dengan gemas menyebut tesis Machiavelli sebagai ajaran tentang dalih pembenaran kekejaman demi menegakkan kekuasaan. Misalnya, uraian Machiavelli tentang negara hukum dan negara kekuasaan. Negara yang ideal, menurut Machiavelli, ialah negara yang memiliki hukum yang baik dan alat menegakkan kekuasaan (militer) yang kukuh. Tetapi jarang ada negara yang memiliki dua-duanya sekaligus. Karena itu, bila harus memilih, maka Machiavelli mengutamakan alat kekuasaan (militer) yang kukuh. Sebab, militer yang kuat merupakan jaminan tegaknya hukum Sang Penguasa secara kukuh pula. Sebaliknya, hukum yang baik tanpa alat kekuasaan yang kukuh malah bisa jadi sumber malapetaka, karena bisa mengundang ancaman tegaknya kekuasaan. Hukum yang baik hanya akan menempatkan Sang Penguasa pada posisi yang selalu defensif semata-mata. Ditakuti, menurut Machiavelli, lebih baik daripada dicintai. Karena itu, seorang penguasa untuk bisa bertahan pada kekuasaannya, harus bisa kejam, keji, kasar, berdarah dingin, dan mentoloan (sampai hatian). Ringkasnya, Sang Penguasa harus belajar agar bisa menjadi bukan orang baik. Sang Penguasa tidak wajib menepati janji. Kecuali kalau kepentingan tegaknya kekuasaan mengharuskan. Karena motivasi semua tindakannya didasarkan pada kepentingan tegaknya kekuasaan, Machiavelli mengharuskan Sang Penguasa siap bila perlu memilih jalan yang jahat. Misalnya, untuk menjaga kesetiaan para prajurit penyangga tegaknya kekuasaan, raja harus bersikap terbuka dalam membagi hasil jarahan, memeras dan membagi milik orang lain, bagi mereka. Karena itu semua demi tegak kukuh kekuasaannya. Akhirnya, Sang Penguasa harus teguh pendirian. Bila membuat keputusan, pantang berubah. Bila bersikap, jelas pilihannya. Kriterianya cuma satu: mana yang menguntungkan kelanggengan kekuasaannya. Penguasa harus selalu waspada dan pasang kuda-kuda kemungkinan adanya persekongkolan jahat menggulingkan kekuasaannya. Caranya, antara lain, dengan berbuat kejam, agar membikin musuh miris. Sang Penguasa tidak perlu nasihat. Pantang kompromi. Nasihat atau info boleh diberikan pembantunya atau siapa saja hanya bila diminta. Perkara dipakai atau tidak, sepenuhnya prerogratif Sang Penguasa. Karena itu. Sang Penguasa bila ingin langgeng kekuasaannya harus menjauhkan diri dari para penjilat. Penghargaan orang akan datang, bila Sang Penguasa selalu menunjukkan kemampuan mempermainkan kendali kekuasaannya. Teguh pendirian, kejelasan arah tindakannya, dan ketegaran langkahnya merupakan ciri penguasa yang baik. Penguasa yang baik tidak perlu bersikap hati-hati, penuh perhitungan, banyak pertimbangan, dan tepo seliro. Hidup itu, kata Machiavelli, separuh nasib, separuh pilihan kita. Nasib disebut juga dewi fortuna. Karena seorang dewi, jadi nasib harus diperlakukan sebagai wanita. Untuk menguasai wanita dengan sempurna, ia harus dipaksa. Karena wanita akan pasrah pada ketegasan dan kejelasan mau kita. Menurut Machiavelli, wanita tak suka bujuk rayu yang banyak kembangnya. Wallahualam. Tetapi merinding juga kesadaran nurani saya. Mungkin karena saya manusia biasa, bukan Sang Penguasa. Soetjipto Wirosardjono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus