Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Padang Mbulan di Jakarta

Paduan suara The Indonesia Choir menghadirkan lagu-lagu daerah dalam format megah sekaligus riang. Sebuah perayaan keragaman.

23 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Papajange tembang asmaradana,
Panjange den arani asmara dahana,
Werdine sifat janmo jroning asmara...

TEMBANG macapat asmaradana membuka malam; lembut membelah panggung yang didominasi cokelat kayu. Di tengah tembang, Nungki Kusumastuti melangkah anggun. Kain panjangnya berkelebat, menyatu dengan gemulai tubuh sang penari.

Belum usai terpesona tarian Nungki, muncul serombongan penyanyi dari arah tempat duduk penonton. Radio kuno menyemprotkan musik sember, tret tet prang kresek kresek zzz. Pong, sigule-gule pong.... Kontan, rusaklah suasana khidmat. Hadirin yang memadati auditorium Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu, bersitatap keheranan. Terdengar celetukan penonton, ”Lha, kenapa pakai radio sember?”

Rupanya radio itu bukan sembarang radio. ”Saya sengaja cari yang paling sember, nyewa dari pengamen. Supaya suasana panggung cair,” kata Jay Wijayanto, 43 tahun. Malam itu seniman multitalenta inilah yang menjadi dirigen paduan suara The Indonesia Choir (TIC) dalam konser perdana bertajuk ”Bunga Rampai Tanah Airku”.

Di tangan Jay, yang telah 20 tahun menyelami jagat paduan suara, panggung menjadi rileks, interaktif, dan menghibur. Tak ada penyanyi yang berdiri kaku sambil membaca teks lagu. Tak ada dirigen berjas hitam dan berdasi kupu-kupu. Malahan, tak satu pun dari ke-26 penyanyi The Indonesia Choir itu yang mengenakan sepatu. Semuanya nyeker, bertelanjang kaki.

Suasana pun jadi mirip perayaan padang mbulan di alun-alun desa. Lagu Keraban Sapi, misalnya, tampil dengan aransemen meriah, komplet dengan bunyi gelang binggel di kaki para penyanyi perempuan. Diru Diru Dina, lagu perang dari Papua, disuguhkan lengkap dengan entakan tombak dan kaki yang penuh semangat. Sio Mama dari Maluku dibawakan selusin lelaki yang memetik ukulele dengan gaya jadul ala Masnait, grup vokal yang ngetop pada 1980-an. ”Memang ini yang kami cari, suasana perayaan khas pentas tradisional,” kata Jay.

The Indonesia Choir bukan sekadar paduan suara. Kelompok ini berangkat dari keprihatinan tentang paduan suara yang cenderung elitis. Jay mengakui, tak sedikit grup paduan suara Indonesia yang mencatat prestasi di berbagai kompetisi kelas dunia. ”Tapi, ya itu, cenderung elitis dan hanya dinikmati kalangan sendiri,” katanya. Di kutub lain, banyak pula kelompok paduan suara yang mengambil format pop menghibur. ”Kami ingin berada di tengah, meramu yang serius dan yang menghibur,” kata Jay.

Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada ini yakin, musik amat penting bagi kehidupan berbangsa. ”Terutama untuk pembentukan identitas bangsa,” katanya. ”Jadi, merangkul sebanyak mungkin orang dengan musik itu penting.”

Pertengahan tahun lalu, Jay bersama enam temannya—kebanyakan mantan muridnya di berbagai kelompok paduan suara—bergabung mendirikan The Indonesia Choir. Lagu daerah dipilih menjadi fokus. ”Jarang paduan suara yang mengeksplorasi bidang ini. Padahal kita punya kekayaan folklore melimpah,” kata Samuel Pangaribuan, 33 tahun, karyawan perusahaan real estate, yang bergabung dengan The Indonesia Choir sejak awal pendirian.

Tak butuh waktu lama, kelompok ini berkembang. ”Kami mengajak teman-teman yang hobi nyanyi. Member get member, gitu deh,” kata Linda Samosir, pekerja lepas di bidang desainer grafis, yang juga termasuk rombongan pertama TIC. Kini kelompok ini diperkuat 30-an personel. ”Semuanya orang kantoran. Enggak ada penyanyi profesional,” kata Linda menyambung. ”Siapa pun, semuanya, boleh bergabung.”

Tentu saja ada kriteria untuk bergabung dengan TIC. ”Yakni harus bisa nyanyi, bisa baca not balok, dan pendengaran bagus. Attitude juga mesti bagus. Percuma suara bagus tapi enggak bisa bekerja dalam tim,” kata Jay. Teknis vokal tak perlu canggih amat. ”Justru kami menghindari penyanyi yang sudah jadi. Belajar bersama-sama lebih asyik,” katanya.

Kecintaan bernyanyi meruntuhkan segala keterbatasan. Tempat berlatih cukup di sebuah ruang yang dipinjami SMP Tarakanita Blok M. Dengan personel yang semuanya punya kesibukan kerja, juga kuliah, latihan tentu tak bisa leluasa. ”Susah mengatur waktu,” kata Samuel, yang berperan sebagai manajer TIC. Latihan digelar minimal sekali sepekan, tiap Rabu pukul 7 sampai 10 malam. ”Tak jarang latihan bisa sampai pukul 1 pagi, terutama mendekati pentas,” kata Linda.

Setiap sesi latihan, rata-rata empat jam, berlangsung dalam suasana riang. Capek seharian kerja, jalanan macet, tak membekas di tengah latihan. ”Enggak ada yang bete. Namanya juga hobi, semuanya gembira,” kata Wilma Wangke, 23 tahun, salah satu solis dalam TIC. ”Soalnya, Mas Jay ngelatihnya asyik. Latihan berjam-jam jadi enggak terasa.”

Persiapan konser Bunga Rampai relatif berlangsung kilat. Cuma tiga bulan. Walhasil, tampak kekurangan di beberapa titik. Komposisi penyanyi sopran dan alto yang sedikit timpang, misalnya, membuat suara kadang terasa kurang padu. Para penyanyi pun masih ragu bermain-main menampilkan suara bercita rasa lokal—misalnya memasukkan tembang gaya Banyuwangi atau Banyumasan di tengah lagu.

Secara keseluruhan pentas ini layak dipuji. Enam belas lagu daerah dan nasional tampil megah sekaligus riang. Jurus melibatkan penonton bernyanyi bersama dalam nomor Indonesia Pusaka juga cukup jitu. ”Ini lagu favorit saya,” kata Bambang Darmono, Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, yang ada di barisan penonton.

Soliditas The Indonesia Choir memang tak lepas dari profil Jay Wijayanto. Sebagai seniman, bekalnya terbilang cukup komplet. Sejak 1983, dia aktif di paduan suara Vocalista Sonora sebagai solis tenor arahan Paul Widyawan. Tembang-tembang Jawa dia pelajari dari Nyi Bei Mardusari. Dia juga melukis, membatik, dan kerap terlibat dalam pertunjukan teater.

Pada 1999, setelah konflik horizontal di Ambon, Jay bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat yang menerapkan konsep trauma healing melalui musik. Dia menelusuri kampung-kampung di Ambon, mengajak anak-anak dan orang dewasa bernyanyi, menyembuhkan luka-luka psikis akibat konflik. ”Yang mengalami trauma begitu banyak, trauma healing secara klinis pasti susah sekali. Harus ada terobosan, yakni dengan bernyanyi,” katanya.

Terobosan Jay mendapat sambutan. Ketegangan antarkelompok runtuh ketika mereka menyanyikan lagu-lagu tradisional bersama-sama. Sekat-sekat luntur. Lenso Putih Maluku, kelompok paduan suara yang dipimpin Jay, pun diundang ke berbagai negara di Eropa. ”Termasuk di hadapan faksi-faksi orang Maluku di Belanda. Mereka yang tadinya tidak mau saling menyapa, langsung luluh berangkulan begitu mendengar kami bernyanyi,” kata Jay. ”Bayangkan, om-om berambut gondrong dan berbadan kekar pada meneteskan air mata.”

Latar belakang seni dan aktivis LSM itulah yang muncul dengan kental di atas panggung. Tak hanya piawai mengemas lagu daerah yang diatonik teknis vokal paduan suara, Jay juga lihai meramu nilai-nilai humanis dalam pentas. Dengan jenaka, dia menghantarkan setiap lagu dengan gambaran aktual kehidupan masyarakat.

Nah, resep jenaka plus empati sosial itulah yang tampil memikat. Proses terwujudnya pentas—secara tak sengaja—menjadi semacam paguyuban, arisan sosial. Begitu banyak individu dan lembaga yang membantu. Penata visual, dokumentasi foto dan video, perancang grafis, semuanya dikerjakan para relawan. Konsumsi pun dibawakan oleh ibu-ibu anggota TIC.

Nama besar turut mewarnai pentas. Riri Riza, sutradara terkenal, turun tangan sebagai penata seni. Nungki Kusumastuti tampil menari dan menjadi penasihat koreografi. Sederet musisi garda depan—antara lain trumpetis Eric Awuy dan Alexius Jody Yulianto, pianis Adelaide Simbolon, dan gitaris Jubing Kristanto—ikut ambil peran.

Bagi Jay, sukses pertunjukan ini adalah bukti sebuah optimisme. ”Masih banyak orang Indonesia yang berhati luas dan tak segan memberikan yang terbaik,” katanya.

Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus