Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kota yang saleh

Di kota-kota besar sebagian masyarakat aktif melaksanakan kegiatan agama, sebagian lagi memenuhi rumah judi dan rumah bordil. ada beberapa jamaah yang menjual tempat ibadah untuk dijadikan obyek wisata.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT Haji Sanusi, dalam kota yang saleh tidak boleh ada sarana setan. Steambath, tempat pelacuran, tempat penjudian, iklan porno semua mesti diberantas. Di sana semua orang berpakaian sopan. Semua aurat tertutup. Tidak ada rok mini atau penonjolan seks secara apapun. Apa ada kota semacam itu? Ya ada. Peking, kata Bud Sasono. Di sana segala macam kemaksiatan itu tidak ada. Semua orang, laki perempuan berbaju kedodoran menutup aurat sampai kelewatan. Tidak ada pacaran atau ciuman di luar perkawinan, yang menurut Kyai Yunan Nasution dilarang agama itu. Tentu maksud anak muda dari Bandung yang serius ini, ia kurang sreg dengan kriteria di atas. *** Begini, kata Cak Ruslan Abdulgani. Saya sak keluarga dulu waktu di New York juga sregep sholat. Tapi di sana kami dak dengar orang nabuh bedug atawa azan. Jadi rasanya suasana keagamaan itu ada, bila di waktu magrib atawa subuh kita bisa dengar azan mengalun merdu. Idul Fitri, Idul Adha dan tiap Jum'at terlihat nyata orang berbondong memenuhi masjid. Pengajian, dakwah dan tablikh ramai dikunjungi orang. Wah, kalau begitu, Jakarta nomor wahid dong salehnya ujar Pak Dirman yang Jenderal purnawirawan itu. Sebab ke mana-mana sudah beliau lihat -- termasuk di negara-negara Islam -- katanya kegiatan ibadah dan ramainya pengajian di kampung-kampung di Jakarta tak ada bandingnya. Pengajian kelas VIP dan Super VIP hanya ada di Jakarta. *** Nanti dulu pak, bisik seorang tokoh spion melayu. Bapak tentu masih ingat primbon intel. Bila di masyarakat ada terlihat orang berbondong-bondong ke rumah ibadah, lalu sementara yang lain tekun di perdukunan, memistikkan gerak badan dan memuliakan uro-uro (senandung), kita mesti jeli. Kita lihat kaitannya dengan corong speaker yang disetel kencang-kencang di pagi subuh. Lalu orang rajin mendengar dakwah atau kuliah subuh. Mereka barangkali mencari keredaan batin dari kesyahduan ayat suci atau azan, atau dari sepatah dua patah petuah kyai. Tetapi di lain pihak rumah judi juga penuh. Orang dagang milih cara yang berbau hwa hwe. Night-club ramai dikunjungi, pelacur juga laris. Biar laku keras. Nah, bukankah gabungan dari gejala-gejala di atas bisa berarti pertanda keresahan dan kegundahan? Aku tak tahu. *** Bagi saya, kata ir. Nu'man, itu si perancang masjid Salman ITB yang kenamaan, kesan salehnya suatu kota bisa pula disimbulkan dengan bangunan keagamaan. Jika orang datang di kota itu, kesan pertama dibentuk oleh pandangannya pada arsitektur dan tata bangunannya. Bila warna keagamaan nyata terlihat, itu pertanda kota yang saleh. Seperti Mekah, Vatikan atau Denpasar. Lho bagaimana dengan Bagdad, Bangkok atau mungkin juga Moskow? Di sana bangunan agama atau sisa-sisa tempat ibadah masih banyak ditemui dengan kubah dan menara yang meraih langit. Juga di kota-kota Eropa banyak bangunan gereja yang monumental ditemui. Tetapi untuk menarik pengunjung, kini tempat suci itu mesti pasang iklan. Malah beberapa telah dijual oleh jamaahnya. Dipugar tetapi dipakai untuk hal lain. Obyek turis. Agama bukan cuma soal ritus dan macam-macam simbul kata Romo Brower. Bila itu ukurannya, orang bisa berkesimpulan keliru. Merosotnya kegiatan rituil di Eropa dan Amerika misalnya, membikin sementara orang memekik God is dead (Tuhan telah mati). Padahal kita yakin tidak ada mati bagi Tuhan. Itu sih di dunia barat. Di sini kan ndak begitu, bantah Uda Rosihan Anwar. Memang agama bisa pudar pamornya bila ia tidak peka lagi terhadap masalah aktuil yang dihadapi pemeluknya, katanya. Orang bisa bertanya soal kepekaan agama antara pemeluknya itu dari kenyataan aktuil sehari-hari. Jemaah bermobil-mobil melimpah tiap Jum'at di Masjid Al Azhar atau tiap Minggu di gereja-gereja utama Jakarta. Tetapi apa mereka tergerak hatinya memecahkan sekelumit kemiskinan yang dibeberkan di pintu masuk rumah ibadah itu? Pengemis yang sama, sudah bertahun-tahun mencegat dan mengetuk nurani mereka. Mungkin dibawanya amanat Tuhan, supaya umatnya yang saleh tergerak ibadahnya, memerangi kepapaan sesamanya. Tetapi apa nyatanya? Mereka ke sana toh untuk menghadap Tuhan. Peduli apa dengan pengemis? Astagfirulah! *** Wah kok dramatis banget gambaran itu. Sambut Gus Durahman (Abdulrahman Wahid), Kyai Tebu Ireng. Ini urusan bermiskin-miskin dan muamalat pemeluk agama hanya ikut mode, keseret New Left ala "pastor merah" di Amerika Latin, atau memang panggilan hakiki bagi semua pemeluk agama? Kalau benar panggilan semua pemeluk agama, kita perlu sorokan (mengkaji lebih lanjut) kembali soal ini. Atau sekurang-kurangnya nderes (memperdalam ajaran) secara rajin. Tidak untuk mencari kembali ayat yang membenarkan atau membatilkan suatu niatan atau langkah. Tetapi menemukan kembali dan meresapkan ajaran agama dalam hubungan kepekaan itu. Sampai benar-benar menyentuh daya keyakinan atau iman kita. *** Sang kyai juga membuat intermezo. Katanya ajaran agama itu mbok jangan didegenerasikan menjadi industri ayat suci. Ada kyai, katanya yang jago menemukan ayat, baik dari Qur'an, hadist maupun kitab-kitab karya ulama kenamaan. Tinggal pesan, butuh yang pro atau yang kontra suatu sikap, pendirian, kebijaksanaan atau tindakan. Mesti adanya. Tidak peduli kutipan itu dicopot lepas dari konteks aslinya. Juga ia tidak setuju dengan penyamaan penghayatan keagamaan dengan industri rumah ibadah, rame-rame berpesta pora, berbasa basi atas nama keagungan ayat suci atau bikin peralatan-peralatan atas nama hari besar agama yang auzubillah borosnya di luar proporsi. Itu bisa lepas dari persoalan dasar yang sedang dihadapi beragama. Apa arti tempelan musholla di tiap sekolah, bila 40% anak umur sekolah tidak berkesempatan bersekolah sama sekali. Apa arti bermilyard untuk Musabaqoh, bila literatur ajaran agama tidak bisa dikembangkan di pesantren dan madrasah. *** Saya hanya merekam, dengan segala kekurangan dan tambahan yang saya sisipkan dari catatan-catatan lepas, dari jalannya diskusi pembinaan suasana keagamaan di kota besar tanggal 28, 29 dan 30 Juni 1977 yang lalu di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus