MENURUT Haji Sanusi, dalam kota yang saleh tidak boleh ada
sarana setan. Steambath, tempat pelacuran, tempat penjudian,
iklan porno semua mesti diberantas. Di sana semua orang
berpakaian sopan. Semua aurat tertutup. Tidak ada rok mini atau
penonjolan seks secara apapun.
Apa ada kota semacam itu? Ya ada. Peking, kata Bud Sasono. Di
sana segala macam kemaksiatan itu tidak ada. Semua orang, laki
perempuan berbaju kedodoran menutup aurat sampai kelewatan.
Tidak ada pacaran atau ciuman di luar perkawinan, yang menurut
Kyai Yunan Nasution dilarang agama itu.
Tentu maksud anak muda dari Bandung yang serius ini, ia kurang
sreg dengan kriteria di atas.
***
Begini, kata Cak Ruslan Abdulgani. Saya sak keluarga dulu waktu
di New York juga sregep sholat. Tapi di sana kami dak dengar
orang nabuh bedug atawa azan. Jadi rasanya suasana keagamaan itu
ada, bila di waktu magrib atawa subuh kita bisa dengar azan
mengalun merdu. Idul Fitri, Idul Adha dan tiap Jum'at terlihat
nyata orang berbondong memenuhi masjid. Pengajian, dakwah dan
tablikh ramai dikunjungi orang.
Wah, kalau begitu, Jakarta nomor wahid dong salehnya ujar Pak
Dirman yang Jenderal purnawirawan itu. Sebab ke mana-mana sudah
beliau lihat -- termasuk di negara-negara Islam -- katanya kegiatan
ibadah dan ramainya pengajian di kampung-kampung di Jakarta tak
ada bandingnya. Pengajian kelas VIP dan Super VIP hanya ada di
Jakarta.
***
Nanti dulu pak, bisik seorang tokoh spion melayu. Bapak tentu
masih ingat primbon intel. Bila di masyarakat ada terlihat orang
berbondong-bondong ke rumah ibadah, lalu sementara yang lain
tekun di perdukunan, memistikkan gerak badan dan memuliakan
uro-uro (senandung), kita mesti jeli. Kita lihat kaitannya
dengan corong speaker yang disetel kencang-kencang di pagi
subuh. Lalu orang rajin mendengar dakwah atau kuliah subuh.
Mereka barangkali mencari keredaan batin dari kesyahduan ayat
suci atau azan, atau dari sepatah dua patah petuah kyai.
Tetapi di lain pihak rumah judi juga penuh. Orang dagang milih
cara yang berbau hwa hwe. Night-club ramai dikunjungi, pelacur
juga laris. Biar laku keras.
Nah, bukankah gabungan dari gejala-gejala di atas bisa berarti
pertanda keresahan dan kegundahan? Aku tak tahu.
***
Bagi saya, kata ir. Nu'man, itu si perancang masjid Salman ITB
yang kenamaan, kesan salehnya suatu kota bisa pula disimbulkan
dengan bangunan keagamaan. Jika orang datang di kota itu, kesan
pertama dibentuk oleh pandangannya pada arsitektur dan tata
bangunannya. Bila warna keagamaan nyata terlihat, itu pertanda
kota yang saleh. Seperti Mekah, Vatikan atau Denpasar.
Lho bagaimana dengan Bagdad, Bangkok atau mungkin juga Moskow?
Di sana bangunan agama atau sisa-sisa tempat ibadah masih banyak
ditemui dengan kubah dan menara yang meraih langit. Juga di
kota-kota Eropa banyak bangunan gereja yang monumental ditemui.
Tetapi untuk menarik pengunjung, kini tempat suci itu mesti
pasang iklan.
Malah beberapa telah dijual oleh jamaahnya. Dipugar tetapi
dipakai untuk hal lain. Obyek turis.
Agama bukan cuma soal ritus dan macam-macam simbul kata Romo
Brower. Bila itu ukurannya, orang bisa berkesimpulan keliru.
Merosotnya kegiatan rituil di Eropa dan Amerika misalnya,
membikin sementara orang memekik God is dead (Tuhan telah mati).
Padahal kita yakin tidak ada mati bagi Tuhan.
Itu sih di dunia barat. Di sini kan ndak begitu, bantah Uda
Rosihan Anwar. Memang agama bisa pudar pamornya bila ia tidak
peka lagi terhadap masalah aktuil yang dihadapi pemeluknya,
katanya. Orang bisa bertanya soal kepekaan agama antara
pemeluknya itu dari kenyataan aktuil sehari-hari.
Jemaah bermobil-mobil melimpah tiap Jum'at di Masjid Al Azhar
atau tiap Minggu di gereja-gereja utama Jakarta. Tetapi apa
mereka tergerak hatinya memecahkan sekelumit kemiskinan yang
dibeberkan di pintu masuk rumah ibadah itu? Pengemis yang sama,
sudah bertahun-tahun mencegat dan mengetuk nurani mereka.
Mungkin dibawanya amanat Tuhan, supaya umatnya yang saleh
tergerak ibadahnya, memerangi kepapaan sesamanya. Tetapi apa
nyatanya? Mereka ke sana toh untuk menghadap Tuhan. Peduli apa
dengan pengemis? Astagfirulah!
***
Wah kok dramatis banget gambaran itu. Sambut Gus Durahman
(Abdulrahman Wahid), Kyai Tebu Ireng. Ini urusan
bermiskin-miskin dan muamalat pemeluk agama hanya ikut mode,
keseret New Left ala "pastor merah" di Amerika Latin, atau
memang panggilan hakiki bagi semua pemeluk agama?
Kalau benar panggilan semua pemeluk agama, kita perlu sorokan
(mengkaji lebih lanjut) kembali soal ini. Atau sekurang-kurangnya
nderes (memperdalam ajaran) secara rajin. Tidak untuk mencari
kembali ayat yang membenarkan atau membatilkan suatu niatan atau
langkah. Tetapi menemukan kembali dan meresapkan ajaran agama
dalam hubungan kepekaan itu. Sampai benar-benar menyentuh daya
keyakinan atau iman kita.
***
Sang kyai juga membuat intermezo. Katanya ajaran agama itu mbok
jangan didegenerasikan menjadi industri ayat suci. Ada kyai,
katanya yang jago menemukan ayat, baik dari Qur'an, hadist
maupun kitab-kitab karya ulama kenamaan. Tinggal pesan, butuh
yang pro atau yang kontra suatu sikap, pendirian, kebijaksanaan
atau tindakan. Mesti adanya. Tidak peduli kutipan itu dicopot
lepas dari konteks aslinya.
Juga ia tidak setuju dengan penyamaan penghayatan keagamaan
dengan industri rumah ibadah, rame-rame berpesta pora, berbasa
basi atas nama keagungan ayat suci atau bikin peralatan-peralatan
atas nama hari besar agama yang auzubillah borosnya di luar
proporsi. Itu bisa lepas dari persoalan dasar yang sedang
dihadapi beragama.
Apa arti tempelan musholla di tiap sekolah, bila 40% anak umur
sekolah tidak berkesempatan bersekolah sama sekali. Apa arti
bermilyard untuk Musabaqoh, bila literatur ajaran agama tidak
bisa dikembangkan di pesantren dan madrasah.
***
Saya hanya merekam, dengan segala kekurangan dan tambahan yang
saya sisipkan dari catatan-catatan lepas, dari jalannya diskusi
pembinaan suasana keagamaan di kota besar tanggal 28, 29 dan 30
Juni 1977 yang lalu di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini