Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kuansing berasal dari nama dua sungai utama, yakni Sungai Kuantan dan Singingi.
Spirit Pacu Jalur mewarnai kerja keras dan kerja sama masyarakat Kuansing mencapai tujuan.
Di Kuansing, ada Masjid Jamik Pangean yang dibangun pada abad ke-17 Masehi.
PERJALANAN ke tenggara Provinsi Riau menghidupkan banyak tempat bernuansa sejarah, kultur, dan religi di dalam kepala saya. Ada Teratak Buluh, Gunung Sahilan, Lipat Kain, Gema, Kuntu, Logas, Muara Lembu, Teluk Kuantan, hingga Lubuk Jambi. Semua itu niscaya tersua di lembar-lembar berdebu sejarah kita. Baik dalam konteks kolonial Belanda, fasisme Jepang, masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), maupun yang terhubung dengan Pagaruyung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebut saja peristiwa penyerangan keluarga Raja Pagaruyung oleh kaum Padri pimpinan Tuanku Lintau pada 1815. Saat itu Yang Dipertuan Muningsyah bersama cucunya, Puti Reno Sori, menyelamatkan diri ke Lubuk Jambi di Kuantan. Nama lain dalam tambo adalah Teratak Air Hitam di Sentajo sebagai batas “alam Minangkabau”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daerah-daerah itulah yang sebagian besar saya lewati pada Februari lalu dalam perjalanan dari Pekanbaru ke Teluk Kuantan. Jam di telepon seluler menunjukkan pukul 10.00 saat mobil travel yang saya tumpangi keluar dari Pekanbaru melalui Simpang Tiga (nama lama Bandar Udara Syarif Kasim II) menuju wilayah Kabupaten Kampar.
Teluk Kuantan merupakan ibu kota Kabupaten Kuantan Singingi yang berbatasan dengan Kampar. Akronimnya terdengar sedikit asing: Kuansing. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999, Kuansing dimekarkan dari kabupaten induk, Indragiri Hulu, yang beribu kota di Rengat.
Kuansing sebenarnya berasal dari nama dua sungai utama (lazim disebut batang), yakni Batang Kuantan dan Batang Singingi. Batang Kuantan berhulu di Danau Singkarak dan bermuara di Tembilahan (di Indragiri Hulu, namanya berubah menjadi Sungai Indragiri). Sedangkan Singingi adalah hulu sungai Kampar Kiri, mengalir dari Gunung Peninjauan, Sijunjung, dan bergabung dengan Sungai Kampar Kanan di Langgam, Pelalawan.
Sopir mobil travel berkali-kali mengurangi kecepatan. Kami kerap berpapasan atau beriringan dengan truk pengangkut CPO sawit dan truk kayu milik perusahaan kertas. Lubang jalan juga menganga di banyak titik. Membuat penumpang seolah-olah berdisko. Jalur ini bahkan baru terbebas dari banjir besar yang memutus akses ke jalan Lintas Sumatera.
Hujan terus-menerus membuat air sungai-sungai meluap. Terlebih hutan telah beralih fungsi menjadi kebun sawit. Tapi para pemancing mencoba meraup berkah. Mereka kulihat ramai mengayunkan joran dari tepi jalan. Ada pula “banjir” spanduk dan banner para caleg lantaran perjalanan saya berlangsung pada hari di sekitar pemilihan umum.
***
DI warung Soto Kanti, Gunung Sahilan, kami istirahat sejenak. Banyak juga mobil travel lain ikut mengaso. Di dinding warung, ada foto promo: Wulan Guritno mampir menyantap soto. Saya hanya pesan teh hangat dan mengudap bakwan karena masih kenyang setelah sarapan lontong gulai paku di Pekanbaru.
Perjalanan lalu melewati kampung-kampung dalam kebun sawit. Mula-mula jalannya lurus, melewati puluhan jembatan. Maklum ini daerah gambut dengan jejeran anak-anak sungai. Jalan mulai banyak berkelok di perbukitan ketika mendekati Teluk Kuantan.
Pukul 15.00 atau setelah lima jam berkendara, kami memasuki kota tujuan. Selain disambut gerbang selamat datang, di bundaran saya lihat ada bangunan terbengkalai. Desainnya masif, tak jelas benar menyimbolkan apa, alih-alih serupa UFO tengah mendarat.
Tapi, sebagai ibu kota kabupaten otonom sejak 25 tahun lalu, Teluk Kuantan terbilang bersih dan hidup. Bahkan jika dibanding Rengat, ibu kota induk. Mungkin julukan “Kota Jalur”—nanti saya jelaskan—ikut memacu semangat warganya untuk maju.
Sopir mengantar saya ke Wisma Jalur yang ia rekomendasikan.
“Abang cocok di sini, dekat ke mana-mana,” kata sang sopir bernama Hakim.
Arena dan Taman Pacu Jalur di Kuantan Singingi, Riau. Raudal Tanjung Banua
Wisma Jalur terletak di kawasan Taman Pacu Jalur, persis di Tepian Narosa, Batang Kuantan. Inilah ruang publik dan pusat kuliner. Pepohonan berbaris rindang di tepi sungai, sedangkan di halaman wisma aneka bunga bermekaran. Segar, menghalau penat perjalanan.
Petugas wisma yang ramah ikut menyegarkan jiwa. Mereka ibu-ibu berseragam putih-putih, mungkin dari kantor pemerintah daerah setempat. Wisma Jalur memang milik pemda yang dibangun pada 1990/1991, saat masih bernama Indragiri Hulu. Ruangannya sejuk, dihiasi foto-foto atraksi budaya serta destinasi wisata Kuansing.
Hari itu tamu sepi. Mungkin lain hal jika sedang ada event Pacu Jalur, wisma pasti penuh. Apalagi arena Pacu Jalur yang disebut Tepian Narosa itu persis berada di depan wisma. Start dari kelokan sungai yang membentuk sebuah teluk (saya duga dari sinilah berasal nama Teluk Kuantan) dan finis di jembatan Seberang Teluk. Jaraknya sekitar 1,5 kilometer. Ribuan penonton akan berjubel di kedua sisi sungai yang berundak menyerupai bangku stadion. Total tiga hari perlombaan, dari babak penyisihan hingga final.
Pacu Jalur—saatnya kujelaskan—adalah istilah untuk pacu sampan yang didayung manual dan berkelompok. Sejenis lomba perahu naga di Tanjungpinang atau Malaysia. Setiap kelompok terdiri atas 40-60 orang. Jalur adalah sebutan untuk jenis perahu ramping yang mencapai panjang 20-27 meter dan lebar 1,5 meter. Uniknya, jalur dibuat dari sebatang pohon tanpa sambungan.
Pacu Jalur biasa digelar di kampung pinggir sungai pada hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad atau Idul Fitri. Namun kompetisi “resmi” ada sejak 1900, sebagaimana dilaporkan Fakhrunnas MA Jabbar di majalah Panji Masyarakat (1 Maret 1985: 36-37).
Menurut Fakhrunnas, pemerintah Hindia-Belanda sengaja mengadakan Pacu Jalur besar-besaran setiap 31 Agustus demi ulang tahun ratu mereka. Jumlah peserta mencapai 60-75 jalur. Setelah Indonesia merdeka, puncak acara digeser menjadi 17 Agustus, HUT NKRI. Ironisnya, jumlah peserta justru menurun, menjadi 30-50 jalur saja.
Spirit Pacu Jalur mewarnai kerja keras dan kerja sama masyarakat Kuansing mencapai tujuan. Tradisi ini meliputi seni, olahraga, dan budaya. Fakhrunnas mencatat Pacu Jalur menghidupkan seni ukir, tari, dan musik. Betapa tidak, upacara maelo (menghela jalur ke sungai) diiringi tarian dan tetabuhan, talempong, serta gong. Tetua juga mendendangkan pantun yang dikenal sebagai nandang.
Saat perlombaan, seorang anak berpakaian adat menari di buritan. Kelincahannya menyulut semangat para pengayuh tetap kompak. Aksi bocah penari ini pernah viral di media sosial. Adapun total hadiah lomba untuk tiga pemenang mencapai Rp 150-200 juta. Dulu hadiahnya kerbau yang kemudian dijual untuk membangun surau.
***
MALAM hari, suasana taman Pacu Jalur cukup semarak. Ada pasar malam seperti pasar senggol di Bali dengan aneka kuliner rakyat. Setelah menyantap seporsi sate kacang, saya melipir ke tepi sungai di mana bangku-bangku plastik disusun berjejer.
Suasana Tepian Narosa hening dan syahdu. Hanya ada lapak jagung bakar, kacang rebus, serta jenis kudapan lain. Cocok buat ngopi. Kebetulan ada pedagang kopi kaki lima dengan minibar di atas gerobak yang ditarik sepeda motor.
Saya pesan secangkir kopi Gayo seharga Rp 15 ribu. Penjualnya seorang anak muda asal Lubuk Jambi. Ia mengaku pernah berbisnis warung kopi di Pekanbaru, join dengan kawan. Sayang, mereka pecah kongsi. Kemudian ia pulang dan mulai merintis usaha sendiri. Ia tertarik pada fenomena kafe ala kaki lima di Bandung dan Yogyakarta.
Sambil berbincang, saya melepas pandang ke seberang sungai, di mana lampu-lampu memanjang ke air. Tenang seperti kanal. Di kejauhan tampak jembatan Seberang Teluk dihiasi lampu-lampu, sekilas menyerupai kapal pesiar sedang berlabuh.
Dan sesungguhnya, tak ada satu pun perahu lewat. Apalagi kapal. Berbeda dengan sungai di Kalimantan. Selalu ada kapal laju atau perahu menyeberang. Padahal kayu, sawit, atau batu bara bagus langsir di air sehingga truk-truk tak sampai merusak jalan.
Sayang, tambang pasir dan emas liar serta pembukaan hutan buat kebun sawit membuat Sungai Kuantan jadi dangkal. Selain itu, desain jembatan rata-rata dibuat rendah sehingga kolongnya mustahil dilewati kapal penuh muatan.
***
MEMANG masyarakat Kuansing mengartikan jalur sama dengan perahu panjang. Tapi saya coba maknai jalur dari sisi lain, yakni rute yang dapat mempertemukanku dengan banyak titik historis, kultural, dan religi. Kebetulan, berkat Mancayo, kawan saya di Batam, saya terhubung dengan seorang kenalan di Pangean—daerah tua di tepi Batang Kuantan. Duri Kalangi namanya, anggota staf kantor kepala desa setempat. Kami berjanji bertemu esok pagi untuk menyusuri rute Teluk Kuantan-Pangean.
Pagi hari, Duri menjemput saya ke penginapan. Saya jelaskan bahwa saya ingin menyusuri sejumlah tempat yang diabadikan dalam saluang klasik Minang. Judulnya Teluk Rengat, ciptaan Ajis Sutan Sati yang mengisahkan nasib pemikat burung balam. Menariknya, sampiran pantunnya diamsal dari pedagang keliling di pasar-pasar kampung sepanjang Batang Kuantan. Dari Teluk, Benai, Pangean, Inuman, Baserah, hingga Batu Rijal.
Duri setuju. Tapi, di batas kota, lebih dulu ia belokkan sepeda motornya ke kawasan rumah adat Sentajo. Di sini terdapat belasan rumah adat dari kayu bertiang tinggi. Atapnya dari seng model selembayung sebagaimana umumnya rumah adat Riau. Hanya, jika diperhatikan lebih jeli, ada sebagian yang menyerupai rumah lontiak (rumah adat Kampar) dan ada rangkiang (lumbung padi ala Minangkabau).
Kawasan rumah adat Sentajo di Kuantan Singingi, Riau. Raudal Tanjung Banua
Gang dan rumah-rumah diberi nama marga. Misalnya, Gang Tanjung atau rumah suku Piliang Soni dan Piliang Lowe. Sayang, banyak rumah tak berpenghuni. Kawasan ini merupakan cagar budaya Kuansing seperti Kampung Betawi Srengseng Sawah dan Situ Babakan. Atau Seribu Rumah Gadang di Muaralabuh, Solok Selatan.
Sentojo juga punya hutan lindung yang dipenuhi pepohonan langka. Duri mengajak saya menyusurinya. Suara burung-burung segera menyambut. Tak kalah unik, Sentojo merupakan titik tengah Pulau Sumatera alias titik 0 Km Andalas. Ini berdasarkan metode kartografi.
Perjalanan kami lanjutkan ke Desa Simandolak, markas Pasukan Gajah Putih pada masa perang kemerdekaan. Sebuah monumen dibangun di simpang jalan berupa patung gajah berwarna putih dengan belalai teracung seolah-olah tangan mengepal merdeka. Di prasasti tertulis daftar nama-nama pasukan. Dan di Simandolak, untuk pertama kali saya melihat sawah di Riau. Hanya panennya nyaris gagal karena dilanda banjir.
***
DI Kecamatan Pangean, jalur kultural dan religi terasa makin kental. Pertama-tama saya rasakan setelah melihat banyaknya balai panjang beratap seng di tepi sungai. Itulah tempat penyimpanan jalur (perahu) yang pernah digunakan dalam lomba pacu. Perahu tersebut dapat digunakan bertahun-tahun asal disimpan dengan baik. Sementara di daerah lain kita gampang bersua dengan lapangan bola voli, di jalur (rute) Kuantan-Pangean kita selalu bertemu dengan balai-balai penyimpanan perahu, didukung keberadaan kelompok pengayuhnya tentu.
Selain jalur lama, ada perahu yang dibuat baru sebagaimana saya temukan di Dusun Lai, Pulau Tengah. Tinggal finishing. Di sebuah warung duduk, sejumlah orang ternyata membicarakan penyelesaian perahu tersebut.
Seorang bapak, H. Jubardi, yang ikut mensponsori pembuatan perahu, keluar dari warung. Beliau mendekati saya. Ia menjelaskan sedang bertemu dengan orang dari Jambi yang akan mengecat dan mendekorasi perahu sepanjang 22 meter itu. Kayu terbaik untuk membuat jalur, menurut dia, adalah kayu palau sebagaimana yang mereka gunakan.
“Kayu palau keras dibanding kruwing dan banio. Juga bulat dan lurus, cocok untuk badan jalur,” kata Pak Jubardi bersahabat. Bulatan pohon dipertahankan. Hanya bagian atas yang ditetak, dilubangi. Supaya bagian tengah melebar, diterapkan teknik pengasapan.
Perahu jalur yang baru dibuat di Dusun Lai, Pulau Tengah, Riau. Raudal Tanjung Banua
Pembuatan jalur dilakukan oleh seorang tenaga ahli dan tiga tukang. Waktunya mencapai 1,5 bulan. Biaya pembuatan sebuah jalur sebesar Rp 100-150 juta. Untuk ongkos tukang menghabiskan Rp 35-45 juta. Pembelian dan pengangkutan kayu sekitar Rp 80 juta. Apalagi kayu sekarang didatangkan dari luar daerah, seperti Sumatera Barat atau Jambi.
“Bagaimanapun sulitnya dapat kayu dan ongkos tinggi, kami tetap membuat jalur. Bukan hanya berpacu di sungai, tapi juga memicu kebersamaan di kampung,” kata Kepala Desa Pulau Tengah, yang ternyata ikut hadir di samping saya.
Tak jauh dari tempat pembuatan jalur baru itu, terdapat bagian Sungai Kuantan yang meliuk seperti huruf S. Dari rekaman drone yang pernah dibuat Duri, tampak belokan itu membentuk sebuah delta. Meski alur nyaris dempet, alirannya tetap tak bertemu. Padahal, dengan terusan 10 meter saja, sungai akan lurus. Tapi alam punya cara sendiri menata diri.
Di delta itulah terletak Desa Teluk Pauh yang terhubung dengan jembatan ke daratan Pangean. Duri membawa saya mengelilingi desa unik itu.
“Anak-anak sini sering mandi naik ban bekas, berhanyut dari kanan, lalu naik kembali di kiri sungai…” Duri bercerita seraya menunjuk arus yang keruh.
***
KINI kami tempuh jalur (rute) kultural-religi menuju Masjid Jamik Pangean. Masjid ini dianggap tertua di Kuansing. Tak besar, malah lebih tampak serupa surau. Terletak di atas bukit yang rimbun pohon buah-buahan kampung: kweni, ampelam, dan ambacang. Selain bisa dicapai melalui jalan aspal, disediakan anak tangga sebagai jalan pintas.
Masjid Jamik dibangun pada abad ke-17 Masehi. Pak Jamiun, garin berumur 86 tahun, menyebutkan nama pendirinya: Datuk Keramat Syekh Lai. Makamnya di Lai, barusan saya lalui.
“Dekat balai-balai jalur yang kita lihat tadi, tapi saya lupa beri tahu,” kata Duri kalem.
Istri Pak Jamiun membantu menceritakan sejarah masjid karena pendengaran sang suami sudah terganggu. Masjid pertama, kata dia, beratap ijuk dan berdinding papan.
Namun, pada 1883, hampir bersamaan dengan meletusnya Gunung Krakatau, masjid terbakar. Tapi tahun itu dibangun kembali. Sempat direnovasi beberapa kali. Renovasi keempat tercatat pada 1932, sebagaimana tertulis di menara atapnya. Malang, pada 1965, berdekatan dengan gonjang-ganjing politik 65, masjid terbakar lagi.
“Ada jemaah berwudu sambil memegang sulih (suluh kelapa), dan atapnya yang rendah terpercik api,” kata istri Pak Jamiun bernada sedih. Masjid pun dibangun kembali dengan menggesernya ke kanan lahan. Beruntung, tiang-tiang kayu utama bisa diselamatkan.
Ketika masuk ke masjid, saya lihat delapan tiang kayu berdiri kokoh di sayap kanan dan kiri. Satu tiang utama berada di tengah. Masing-masing berukuran sepanggul orang dewasa, kecuali tiang utama. Saat saya pagut, ujung kedua tangan saya tak bertemu saking besarnya. Saat diketuk terasa padu, sekeras besi atau beton. Tonggak tengah ini juga mengingatkan saya pada ciri surau-surau tarekat Satariyah di Minangkabau.
Mimbar masjid pun masih asli. Penuh ukiran dan hiasan.
Masjid Jamik Koto Pangean Kuansing di Kuantan Singingi, Riau. Raudal Tanjung Banua
Selain memuat nilai religi untuk ibadah dan berperan dalam sejarah penyebaran Islam, Masjid Jamik merupakan pusat pelestarian budaya, yakni silat Pangean yang terkenal itu. Salah satu variannya berkembang di kalangan suku Talang Mamak, Rakit Kulim.
Halaman masjid dijadikan sasaran atau tempat berlatih silat di bawah bimbingan seorang guru. Guru silat sekarang bernama H Saidina, anak saudara Pak Jamiun.
“Saidina itu anak saya,” kata Pak Jamiun. “Dua kali seminggu ia pimpin latihan. Pada bulan puasa, mereka latihan tiap hari sehabis tarawih. Sebab, silat akan dipertunjukkan saat Idul Fitri.”
Demi tahu silat Pangean lebih lanjut, saya ajak Duri mencari H. Saidina ke rumahnya di Pasar Pangean. Sayang, saya hanya berjumpa dengan putranya. Sang ayah sedang pergi. Kami lalu singgah ke rumah H Basri, budayawan Pangean, mantan kepala sekolah dan pernah dekat dengan sastrawan Soeman Hs. Selain paham silat Pangean, ia banyak tahu sejarah Kuansing.
“Filosofi silat Pangean itu lambat datang lambat jatuh dan tak mau menonjolkan diri,” katanya. Ia jelaskan pula tata cara pergelaran saat Lebaran. Mula-mula dipertunjukkan pencak sebagai hiburan, ada alat bantu, baru kemudian digelar silat inti Pangean.
Berbagai suku bangsa, Pak Basri melanjutkan, hidup rukun di Kuansing. Bahkan, kata dia, Kuantan berasal dari bahasa Cina. Ia pun mengaku keturunan Hadramaut campur Aceh dari keluarga Malahayati. Ketika saya tanya posisi orang Minang, ia memberi perspektif lain.
“Benar, Kuantan rantau tua orang Minang. Tapi, maaf cakap, yang menyebarkan Islam di sini bukan mereka. Sesuai dengan alur sungai, bagaimana mungkin Islam dari pedalaman menyebar ke kuala? Apa tak sebaliknya? Apa ulama zaman dulu naik pesawat terbang?”
Satire memang. Tapi, yang jelas, banyak tempat di Kuansing tercatat dalam tambo dan hikayat Minangkabau. Paling tidak kawasan ini termasuk jalur perantauan utama “urang awak” pasca-pergolakan PRRI yang gagal itu.
Dan yang pasti pula, saya puas menyusuri jalur kultur-religi Kuantan Singingi. Maka saya lanjutkan perjalanan ke arah Rengat, menjumpai kota-kota kecil yang sedang tumbuh: Cerenti, Peranap, Air Molek, Lirik, dan Belilas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Rubrik Perjalanan terbit setiap dua pekan. Kirim tulisan perjalanan Anda tiga bulan terakhir ke surat-e [email protected] dan cc ke [email protected]. Tulisan memakai teknik bertutur yang mengeksplorasi pengalaman personal dilengkapi data pendukung dan foto. Artikel setidaknya terbagi dua: satu tulisan utama dengan panjang maksimal 13.000 karakter dengan spasi dan satu tulisan pendukung maksimal 2.000 karakter dengan spasi. Jika masih ada tema unik terkait perjalanan bisa juga dipisah menjadi tulisan ketiga sepanjang maksimal 5.000 karakter dengan spasi. Lampirkan foto penulis, alamat, dan kontak.