Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Persembahan Seorang Harvey

Dia tidak hanya mempersembahkan kualitas vokal, tapi juga membuktikan konsistensinya dalam musik.

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TATANAN panggungnya bergaya Romawi, dengan selendang-selendang satin putih bergayutan di antara pilar-pilar kokoh. Tata lampunya berpelangi, yang terkadang nampak temaram dan terang. Sedangkan hadirinnya penuh dengan bintang, dari Titiek Puspa, Bob Tutupoli, Chrisye, hingga Jay Subiyakto. Suasana ballroom Hotel Mulia, Jakarta, itu benar-benar meriah, dipenuhi sekitar 800 penonton. Dan malam itu adalah milik Harvey Benjamin Malaihollo.

Harvey pun membayarnya dengan setimpal. Selama sekitar 120 menit, penyanyi 38 tahun yang berdarah Ambon itu mengeluarkan seluruh talentanya dalam olah vokal. Melalui lagu-lagu seperti Ayun Langkahmu, Ketika Kau Ada, Jerat—lagu yang dulu dinyanyikannya bersama Rafika Duri—Harvey terbukti berhasil memikat sekaligus berkomunikasi dengan penonton.

Dulu dikenal dengan rambutnya yang keriting dan kumis melintang, Harvey muncul malam itu dengan penampilan lebih funky: rambut ala Julius Caesar dan jenggot ala George Michael. Tapi kualitas suaranya tak berubah, tetap prima.

Kemampuan Harvey dalam mengekspresikan sebuah lagu tampak begitu mengena di hati saat menyanyikan lagu Dia dan Permata Hatiku—berduet dengan Joshua, anaknya. Tak lupa juga dia mempersembahkan Keroncong Pasar Gambir—persembahan khusus untuk kakeknya, Bram Titaley, yang dikenal dengan julukan "Buaya Keroncong" itu.

Itulah Harvey dalam konser "Sebuah Pengabdian", untuk memperingati 25 tahun perjalanannya di dunia olah vokal. "Konser Harvey menunjukkan siapa dia sebenarnya," kata Bob Tutupoli. Menurut pengamatan TEMPO, para penonton sangat puas dengan penampilan Harvey. Mereka, yang membayar ratusan ribu rupiah untuk mendengarkan suara empuknya, bahkan berkali-kali meminta Harvey kembali ke pentas untuk menyanyi.

Harvey menyiapkan Konser Perak itu secara matang dan total. Selama berminggu-minggu dia berlatih kebugaran dan olah vokal serta menjaga makanan. Harvey juga terlibat dalam urusan penataan panggung dan hal-hal teknis lainnya. Maklum, promotor konser ini adalah istrinya sendiri, Lolita Leimena. Tapi, yang terpenting bagi Harvey, konser kali ini dimaksudkannya sebagai bukti bahwa artis Indonesia itu bisa bekerja profesional dan layak diberi kesempatan berkonser. "Penyanyi Indonesia bisa berkonser, asal diberi kesempatan," tuturnya.

Harvey memang memiliki jam terbang yang panjang dalam menyanyi. Dia memperoleh pengakuan publik pertama ketika memenangi kejuaraan Bintang Radio se-Jakarta (1975) pada usia 14 tahun. Sejak itu, dia mengaku yakin bahwa menyanyi adalah panggilan hidupnya. Nama Harvey kian melambung setelah beberapa kali menang dalam Festival Lagu Populer Indonesia.

Harvey pun maju terus. Pada 1982, dengan mengumandangkan lagu Lady ciptaan Anton Issoedibyo, Harvey memperoleh Piala Kawakan dalam World Popular Song Festival di Tokyo. Setelah itu, dia mulai merambah ke pentas-pentas festival internasional dan berkali-kali menyabet penghargaan.

Lebih jauh, penyanyi yang mahir berimprovisasi ini setia pada profesinya. Tidak sekalipun Harvey tertarik berselingkuh ke profesi lain, seperti main sinetron. Padahal, karirnya di bidang tarik suara tidak selalu mulus. Peredaran album-albumnya tidak mengalami sukses besar. Bahkan ketika mengeluarkan album Katakan Saja, tiga tahun silam, nama Harvey malah tenggelam. Banyak orang menilai, dia terlalu ingin tampil seperti ABG (anak baru gede) dengan, misalnya, memilih melantunkan lagu-lagu ciptaan Yovie Widianto, pengarang lagu-lagu manis yang digemari anak-anak remaja.

Kurang suksesnya Harvey di dunia rekaman itu juga membuktikan bahwa pasar musik di Indonesia tidak selalu bertolok ukur pada kualitas vokal ataupun musikal. Konser band-band remaja seperti Sheila On 7, Dewa, /Rif, Dr. PM, dan Netral jauh lebih riuh ketimbang konser penyanyi sekaliber Harvey dan Utha Likumahua.

Bagaimanapun, harus ada orang-orang seperti Harvey, Utha, Trie Utami, atau Ruth Sahanaya, yang selama ini diberi label publik sebagai "penyanyi festival". Sebab, hanya konsistensi mereka yang membuat musik Indonesia menjadi bernas dan punya arah.

Bina Bektiati, Hani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus