Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tarik-Ulur Senjata Darurat

DPR mendesak presiden untuk memberlakukan undang-undang bahaya. Pemerintah bersikap ragu-ragu. Nyaris skandal politik yang menelikung undang-undang terulang.

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUPREMASI hukum agaknya bukan cuma masih jauh dari harapan, tapi juga semakin salah arah. Tak berbeda dengan masa Orde Baru, kini pun hukum cuma dianggap sebatas undang-undang. Dengan adanya undang-undang, seakan-akan ketertiban dan keadilan bisa terwujud. Bagaimana kebobrokan aparat dan penegakan hukumnya, itu tak dianggap penting.

Keadaan itu terjadi pula ketika DPR meminta Presiden Abdurrahman Wahid segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUUPKB). Sejak masa Presiden B.J. Habibie, RUU yang sudah disetujui DPR dan pemerintah pada 23 September 1999 itu memang tak kunjung diteken presiden.

Kontan, hasrat DPR sepanjang pekan-pekan lalu menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Hal itu bisa dimaklumi lantaran orang sulit melupakan bagaimana RUUPKB tersebut sewaktu dibahas DPR dulu tak henti-hentinya ditentang masyarakat, lewat gelombang demonstrasi di banyak tempat.

Meski calon undang-undang bahaya itu dinilai lebih lunak ketimbang aturan lama, yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 1959, toh masyarakat menganggap perangkat hukum itu melegitimasi dominasi militer.

Tapi mata dan telinga DPR sepertinya tertutup. Rancangan undang-undang itu pun digolkan menjadi undang-undang. Setelah enam warga sipil tewas terhantam peluru, puluhan orang luka parah, dan banyak pengunjuk rasa ditangkapi petugas, barulah pemerintah menunda pengesahan RUU itu.

Ternyata, DPR sekarang melupakan sejarah. Mereka mendesak pemerintah agar mengundangkan RUUPKB. Dengan demikian, pemerintah mempunyai pegangan hukum untuk menanggulangi berbagai kerusuhan yang terjadi, di antaranya di Aceh, Maluku, dan Papua.

Permintaan DPR, menurut Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa, Abdul Kholik Ahmad, sesuai dengan perintah amendemen kedua terhadap Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan amendemen kedua itu, bila presiden dalam tempo 30 hari tak mengesahkan sebuah RUU yang sudah disetujui DPR dan pemerintah, RUU itu wajib diundangkan oleh pemerintah. Berarti, secara hukum RUUPKB otomatis menjadi undang-undang. "Karena sudah perintah konstitusi, RUUPKB harus diundangkan," kata Abdul Kholik Ahmad.

Sepintas, kaidah konstitusi itu memang bagus. Dengan demikian, presiden tak bisa menyepelekan RUU yang sudah disepakati bersama DPR. Semasa Presiden Soeharto, jenderal besar itu mendiamkan saja RUU Penyiaran, yang sudah disetujui DPR.

Persoalan baru muncul begitu ketentuan amendemen tadi diberlakukan pada RUUPKB. Awalnya, pemerintah tak bersedia memenuhi desakan DPR. Alasannya, menurut Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, ketentuan itu tak bisa berlaku surut bagi RUUPKB, yang ada sebelum amendemen kedua lahir. Artinya, amendemen konstitusi hanya berlaku terhadap RUU yang ada setelah amendemen itu lahir.

Sikap pemerintah dibenarkan oleh ahli hukum perundang-undangan, Bagir Manan, yang kini menjadi hakim agung. "Prinsip tak berlaku surut hanya bisa dikecualikan bila terjadi hal-hal yang bersifat sangat mendasar dan menimbulkan ketidakadilan yang luar biasa," kata Bagir. Contohnya, mahkamah internasional yang dibentuk setelah Perang Dunia II untuk mengadili para penjahat perang.

Toh, DPR pantang surut. Pada rapat konsultasi antara DPR dan presiden, Selasa dua pekan lalu, DPR mengultimatum pemerintah untuk mengundangkan RUUPKB dalam waktu dua minggu. Rupanya ancaman itu membuat pemerintah agak jeri. Sampai-sampai Menteri Yusril menyatakan akan mengundangkan RUUPKB pada Selasa pekan ini. Pemerintah juga mau menyiapkan RUU perbaikannya, atau bahkan dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Namun, pada sidang kabinet terbatas yang dipimpin Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri, Kamis pekan lalu, pemerintah meralat sikapnya. Pemerintah menyatakan akan mengundangkan RUUPKB pada Januari 2001. Hal itu, menurut Yusril, karena pemerintah mau menampung usulan masyarakat untuk perbaikan RUU tersebut. Selain itu, menjelang Natal, Lebaran, dan Imlek, pemerintah juga akan sibuk mengurusi pangan. "Nanti kalau sampai tak ada beras atau telur, rakyat marah lagi, ngamuk," ucap Yusril.

Sementara itu, beberapa tokoh organisasi masyarakat, di antaranya Munir, Hendardi, dan Ifdhal Kasim, tetap menganggap Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya tidak mendesak dan kurang relevan untuk keadaan sekarang. "Yang dibutuhkan justru undang-undang yang melindungi hak-hak masyarakat, bukan yang memberikan wewenang besar kepada negara," kata Hendardi. Lagi pula, Munir menimpali, penyebab kerusuhan masih serupa dengan semasa Orde Baru, yakni lantaran pemerintah dan aparatnya kurang memberikan keadilan kepada masyarakat. Jadi, masalahnya bukan pada undang-undang.

Happy Sulistyadi, Purwani Diyah Prabandari, dan Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus