Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CONG Roib, 39 tahun, tampak gagah. Penampilannya necis, bersetelan kemeja lengan panjang warna hijau muda dipadu celana hitam. Sepatu hitamnya yang mengilap membungkus langkah entengnya menuju kursi terdakwa. Ia bahkan masih sempat tersenyum kepada para pengunjung yang memadati ruang sidang di Pengadilan Negeri Probolinggo, Jawa Timur, Kamis pekan lalu.
Namun, kepercayaan diri pegawai negeri sipil berpangkat II/D di Kantor Pemerintah Daerah Kota Probolinggo yang dikenal pendiam itu hanya bertahan sebentar. Wajahnya sontak berubah pucat begitu majelis hakim yang diketuai Frans Loppy membacakan hukumannya.
Ternyata, Cong divonis mati. Ia dianggap terbukti mengedarkan 14 kilogram daun ganja. Hukuman maksimal itu jauh melampaui tuntutan 16 tahun penjara dari jaksa Agus Budi Santoso. Mendengar putusan itu, istri Cong langsung jatuh pingsan.
Toh, majelis hakim berpendapat bahwa putusan seram itu sudah tepat. Majelis juga menganggap hukuman terberat itu berguna untuk mencegah semakin merajalelanya peredaran narkotik. "Kami ingin memotong mata rantai jaringan jual-beli narkotik, paling tidak di Probolinggo," kata hakim Frans Loppy, yang merasa yakin bahwa Cong bukanlah pemain baru di dunia hitam itu.
Menurut majelis hakim, hukuman mati itu diketuk lantaran tak ada hal yang meringankan pada diri Cong. Malah, menurut majelis, Cong sebagai aparat pemerintah bukannya memberikan teladan baik kepada masyarakat, melainkan justru mencemarkan nama baik korps pegawai negeri.
Yang jelas, vonis Cong tergolong luar biasa, terutama untuk kota sekecil Probolinggo. Di daerah itu, termasuk di Jawa Timur, setidaknya selama lima tahun ini belum pernah ada terdakwa pengedar ganja dihukum seberat itu. Mereka yang diganjar hukuman mati kebanyakan terdakwa kasus narkotik jenis heroin ataupun kokain. Itu pun terjadinya di Pengadilan Negeri Tangerang, Jawa Barat.
Adakah itu berarti genderang perang melawan narkotik juga ditabuh keras oleh pengadilan? Bagi majelis hakim Frans Loppy di Probolinggo, ganja seberat 14 kilogram bukanlah jumlah yang sedikit. Bayangkan, bila minimal satu gram barang setan itu sampai dikonsumsi satu orang generasi muda, berarti sedikitnya 14 ribu anak muda bisa terkena dampak buruknya.
Cong sendiri tertangkap setelah polisi merangket Koko, salah seorang pelanggannya. Koko digerebek di rumahnya di Gang Melati, Jalan Cokroaminoto, Probolinggo, pada 19 April 2000. Koko lantas mengaku bahwa ia membeli barang haram itu seberat 8 ons dari Cong seharga Rp 1,8 juta.
Berdasarkan "nyanyian" itu, polisi pun menyusun strategi. Mereka menyamar sebagai pembeli dan mendatangi rumah Cong. Benar saja, Cong masuk perangkap. Dari tangannya, aparat Kepolisian Resor Probolinggo menemukan 11 bungkus ganja yang belum sempat dijual.
Pada pemeriksaan awal, Cong mengaku memperoleh ganja itu dari seseorang bernama Ridho Fadil, asal Aceh, yang dikenalnya lewat Usmanjuga dari Acehpada Februari 2000. Mereka akrab karena dulu Fadil sering berkunjung ke rumah Cong di Jalan Patimura, Probolinggo, untuk meminta bantuan memperoleh kartu tanda penduduk Probolinggo.
Pada kunjungan kelima ke rumah Cong, Fadil membawa 14 kilogram daun ganja, yang kemudian ditawarkannya kepada Cong untuk dijual lagi. Cong bersedia. Barang terlarang itu sepakat dihargai Rp 1,2 juta per kilogram, atau Rp 19 juta untuk keseluruhan. Cong bahkan sempat memberikan uang panjar sebesar Rp 3 juta. Sisanya bakal dibayar setelah seluruh barang terjual.
Namun, setelah Cong sempat menjual 3 kilogram ganja ke seseorang bernama Dodik dengan harga Rp 6 juta, polisi keburu mencokok pria asli Probolinggo itu. Setelah itu, giliran Fadil yang diringkus polisi. Kini perkara Fadil akan menyusul diadili.
Sewaktu memproses perkara Cong, polisi meyakini bahwa Cong mengetahui betul seluk-beluk peredaran ganja. Salah satu buktinya, Dodik, yang termasuk orang buruan polisi Probolinggo, adalah tersangka pengedar narkotik di kawasan wisata Bali. Tentu bukan suatu kebetulan bila Cong dan Dodik lantas melakukan transaksi.
Dengan tergulungnya komplotan Cong, mestinya polisi juga bisa semakin memberantas jaringan narkotik, setidaknya di wilayah Probolinggo, sebagaimana harapan majelis hakim.
Sekalipun demikian, pembela Cong, Mulyono, menganggap vonis mati terhadap kliennya amat berlebihan. Sebab, kata Mulyono, Cong cuma dijadikan tumbal pada kasus ganja tersebut. "Terdakwa hanya menerima titipan barang itu dari Fadil," ucap Mulyono. Jadi, menurut dia, seharusnya Fadil yang diganjar hukuman terberat, bukan Cong.
Wicaksono, Jalil Hakim (Probolinggo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo