Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Pertunjukan Besar tanpa Rasa

Sebuah pertunjukan besar dengan nama-nama besar. Tanpa cerita yang jelas dan tanpa fokus.

12 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini sudah telanjur diharapkan sebagai sebuah pertunjukan panggung musikal, karena begitulah produksi ini menamakan dirinya. Dengan promosi yang sakhohah—maklum, ini untuk merayakan harian Kompas ke-45 tahun—dan dengan nama-nama yang menjanjikan seperti Garin Nugroho dan lagu-lagu Koes Plus yang diaransemen Yockie Suryoprayogo, pentas ini menjadi sebuah pertunjukan yang ”wajib tonton”.

Panggung besar Balai Sidang itu menyajikan dua layar besar multimedia yang langsung menembakkan mozaik berbagai peristiwa dunia pada 1960-an: politik, ekonomi, dan musik. Lalu empat pemuda masuk ke panggung. Mereka adalah anggota The Band (ya, ya, ini nama sebuah band; yang memberi nama sedang kehabisan ide) yang mengenakan kostum warna-warni serta berambut kribo dan gondrong. Mereka adalah Yoko (Ariyo Wahab), vokalis dan pemimpin yang berkali-kali harus mengucapkan bahwa dia adalah pemimpin band; Yance (Rezanov Gribs); Ebon (Ade Dana); dan Jojo (Reuben Elishama). Mereka langsung melantun kan Belajar Menyanyi dengan aransemen lebih keras dan garang daripada lagu asli Koes Plus yang umumnya beraransemen ringan. Sudah jelas ini pembukaan yang berharap penonton (yang sebagian jelas generasi pendengar Koes Plus) ikut menyanyi. Tapi penonton terlalu sopan untuk ikut jingkrak mengikuti ”na-na-na” dari Ariyo Wahab yang sebetulnya lumayan asyik.

Namun persoalannya bukan pada penonton yang terlalu santun atau pada generasi yang kurang mengenal lagu Koes Plus (bukankah film Mamma Mia yang menyajikan lagu-lagu ABBA yang jadul itu ternyata disukai semua segmen penonton?). Tapi karena penonton tampaknya mengharapkan penuturan sebuah cerita. Sesuai dengan yang kita kenal sebagai pertunjukan musikal, semuanya tetap bermuara pada cerita yang disajikan dengan seni peran, musik, dan gerak tari. Bahkan, di Broadway, yang dipentingkan adalah aktor yang bisa bertutur dan berkisah dengan seni peran dan seni suara.

Di dalam Diana, di antara plot yang porak-poranda, para aktor terkadang menjadi MC yang berkisah kepada penonton, lalu buru-buru ke tengah panggung menyanyi dan menari dengan koreografi yang terkadang lumayan, tapi lebih sering berantakan. Hingga lagu kelima dan keenam, kita masih tak kunjung paham, apa sih ceritanya?

Oke, Yoko dan wartawan infotainmen Mariska (Sheila Marcia) saling jatuh cinta. Lalu mereka ke Tilore, da erah penuh konflik, untuk menyampaikan ”perdamaian” melalui musik. Si pemimpin band bertemu dengan Diana (Nindy) yang suaranya bagus sekali, tapi setiap kali mengucapkan dialog dia lebih mirip gadis yang bertingkah kekanak-kanakan. Mungkin maksudnya ingin menampilkan gadis manja, tapi jadinya menjengkelkan. Nah, Yoko dan Diana berduet sambil berguling-guling, sedangkan Mariska memandang dengan wajah duka lara dari kejauhan. Nomor lagu Mariska sembari kehujanan yang kemudian diproyeksikan dengan animasi hujan di layar itu sungguh bagus. Ini satu-satunya adegan yang melegakan, karena di sinilah pentas musikal—sesuai dengan namanya—rada memenuhi nama yang dijual tim produksi ini (seharga Rp 500 ribu sampai Rp 2 juta).

Selebihnya, mulai membingungkan. Terutama ketika ada rombongan tentara, dan kematian di mana-mana; lalu ada makhluk bersayap yang membawa lampu. Penonton (di beberapa bagian) mulai bingung, gelisah, dan sebagian pulang karena merasa ”tak paham” atau bisa juga kebelet ke toilet. Dan ini bukan karena persoalan pertunjukan yang terlalu rumit atau terlalu artistik. Penonton pulang dan merasa ngantuk karena pementasan itu sama sekali tak berkisah apa-apa, tak meninggalkan rasa atau emosi apa pun, serta tidak menggebrak seperti yang kita harapkan dengan nama-nama besar yang terdengar sakhohah tadi.

Namun, untuk mencoba adil atas kerja keras tim Diana, harus diakui ada beberapa nomor ”individual” yang tetap mengesankan. Lagu-lagu yang dinyanyikan Elfonda Mekel (Once) dan lagu Da Silva oleh Andi /rif, juga duet gitar Eet Syahranie dan Tohpati Ario Hutomo, sebetulnya pertunjukan ter sendiri yang menggedor hati. Keren! Tapi bagian mereka sama sekali tidak ada urus annya dengan cerita mu sikal ini.

Bahkan seandainya tim Diana me nyajikan lagu-lagu Koes Plus aransemen Yockie Suryoprayogo ini dan menama kan diri sebagai konser musik saja, itu malah lebih bisa diterima. Jadi hapus saja sekalian dialog dan semua cerita yang berpretensi melatarbelakangi nya, maka para penonton tak perlu bertanya-tanya.

Prop yang sangat penuh warna dan bentuk ada koper raksasa, telepon warna-warni raksasa, dan bus angkut an tiruan—memang memenuhi panggung yang sangat luas itu. Kita seperti melihat begitu banyak aksesori, tanpa tahu fungsinya dalam cerita. Begitu besar ongkos, begitu banyak penyanyi bagus, begitu besar nama-namanya, alang kah sayangnya.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus