Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font color=#6600CC>Potret</font><font color=#CC0000> Cerah</font> Kaum Terpinggirkan

Fotografer Aborigin, Wayne Quilliam, memamerkan karyanya di Jakarta. Hasil bidikannya mengajak kita mengenal lebih dekat kaum pribumi Australia.

12 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seulas senyum menghiasi wajah perempuan berpipi gembil itu. Meskipun matanya sedikit berkaca-kaca, jejak kebahagiaan terpancar jelas di sana. Seorang bayi mungil tampak tertidur lelap di pelukannya. Dr Marika, demikian nama perempuan itu. Dia mantan Direktur Badan Rekonsiliasi Australia, yang bertahun-tahun gigih memperjuangkan nasib penduduk Aborigin dan Kepulauan Selat Torres yang terpinggirkan.

Waktu itu, 13 Februari 2008, parlemen Australia resmi meminta maaf kepada penduduk asli Benua Kanguru, terutama mereka yang dipisahkan paksa dari keluarga dan komunitas mereka. Hari istimewa. Marika menyambutnya gembira dengan menggendong seorang bayi Aborigin. Perempuan yang kini sudah tiada itu tampak bahagia terekam lensa kamera Wayne Quilliam, fotografer resmi pemerintah Australia untuk acara tersebut.

Foto berjudul The Apology itu menjadi satu dari 20 foto karya Wayne yang dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara pada 5-18 Juli 2010. Pameran diadakan oleh Kedutaan Besar Australia, bagian dari Perayaan Kebudayaan Penduduk Asli Australia 2010 (Celebrating Indigenous Australia 2010) yang digelar pemerintah Australia setiap tahun.

Bertema Unsung Heroes, perayaan ini merupakan pengakuan terhadap mereka yang telah berjuang untuk masyarakat Australia sekaligus peringatan momen permintaan maaf kepada suku Aborigin dan warga Kepulauan Selat Torres. Perayaan ini menjadi salah satu cara pemerintah Australia memberikan pemahaman yang lebih baik tentang penduduk Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres, juga kebuda yaan mereka. ”Sebuah upaya rekonsi liasi sekaligus meluruskan kesalahan-kesalahan di masa lalu,” kata Wakil Duta Besar Australia Paul Robilliard.

Pemerintah Australia juga ingin memperkuat interaksi antara masyarakat Indonesia dan penduduk asli Australia yang sudah terjalin sejak abad ke-16, ketika pedagang dan nelayan Makassar sampai di Australia utara untuk berdagang. Hasil interaksi terekam dalam musik dan tarian penduduk Aborigin di Australia bagian utara. Selain itu, digelar pemutaran seri film kartun The Dreaming Stories pada 5-11 Juli di Mi niapolis, Plaza Indonesia, dan permain an tradisional penduduk asli Australia yang diarahkan Robert Hyatt, Koordinator Program Olahraga Penduduk Asli Negara Bagian Victoria, pada 7-8 Juli.

Foto-foto yang dipamerkan tak melulu bercerita tentang peristiwa bersejarah itu. Wayne yang masih keturunan Aborigin mengajak kita lebih akrab mengenal masyarakat dan kebudaya an suku asli Australia. Lewat pengambilan gambar yang sebagian dilakukan dari jarak dekat, Wayne menyuguhkan foto-foto aneka macam ritual, tarian, seni, simbol, dan tata cara kehidupan. Dia menuturkan bagaimana mereka menggunakan bahan-bahan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bergantung pada ritual adat guna memperoleh kekuatan moral.

Tengok karyanya yang berjudul Kickin’ Up Dust (Menendang Debu), yang memperlihatkan dua pemuda berkulit gelap dengan tubuh berbalur pupur putih menari di tengah debu beterbangan. ”Kekuatan dan energi tari upacara diperlihatkan dengan jumlah debu atau pasir yang ditendang ke udara,” kata Wayne, yang berkelana ke berbagai komunitas Aborigin selama dua tahun.

Lihat pula Dance (Tari), yang menggambarkan upacara kesuburan dan tari selamat datang. Adat istiadat, hukum, dan kisah bercampur baur di sepanjang tarian. Wayne menjelaskan, kedua tarian itu merupakan kesatuan untuk memelihara kebudayaan paling tua yang masih hidup di bumi.

Sepanjang 20 tahun kariernya, Wayne pernah menggelar lebih dari 130 pameran, baik tunggal maupun pameran bersama, di sejumlah negara di Eropa, Asia, Amerika Serikat, dan Amerika Selatan. Lebih dari 600 buku dan majalah pernah memuat karyanya. Pada 2009, dia memperoleh penghargaan sebagai Artist of the Year dari National Aboriginal and Islanders’ Day Observance Committee.

Lelaki berkepala plontos ini juga menjadi duta seni untuk tur nasional band rock Australia, Silverchair dan Powderfinger, pada 2008 (Across the Tour Great Divide). Foto-foto hasil karyanya digunakan di panggung untuk mendorong kaum muda Australia berpartisipasi dalam rekonsiliasi bagi semua orang Australia.

Maka foto-foto yang ditampilkannya pun jauh dari kesedihan. Wajah-wajah yang terekam dalam foto-foto karyanya adalah wajah penuh kegembiraan dan optimisme. Juga harmonisasi antara penduduk asli dan pendatang, antara mereka yang berkulit gelap dan yang terang, serta mereka yang berambut lurus dan yang ikal. ”Masa lalu yang dipenuhi dengan aksi rasisme mulai meluntur. Ikatan warga Australia saat ini semakin kuat,” katanya.

Apalagi, menurut dia, seperti juga dirinya, banyak generasi muda Australia yang merupakan keturunan Aborigin, sekalipun berkulit bule. Hal itu antara lain terlihat dalam karyanya berjudul Strength. Foto ini menampilkan dua bocah berumur belasan tahun dalam sebuah aksi massa. Menurut Wayne, sekalipun bocah-bocah itu berkulit terang dan berambut pirang, mereka adalah orang Aborigin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus