Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Perubahan Kampung Jodipan Angkat Ekonomi Warga

Dulu, Kampung Jodipan di Malang terkenal sebagai permukiman kumuh.

11 September 2018 | 07.12 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana yang ramai di Kampung Jodipan, Malang, Jawa Timur, Minggu 2 September 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Malang - Langkah para mahasiswa Jurusan Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menyulap Kampung Jodipan di Malang, Jawa Timur, menjadi destinasi wisata digital diakui membawa perubahan besar bagi masyarakat setempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dulu, kampung Jodipan ini hanya permukiman kumuh. Sekarang, siapa sangka jadi tujuan turis,” kata Musafa, warga Jodipan, saat ditemui di kampung tersebut pada Minggu, 2 September 2018. 

Perubahan drastis terhadap citra permukiman Kampung Jodipan ini memberi dampak positif bagi kehidupan warga sekitar. Musafa berkisah, sebelum Jodipan tersentuh tangan-tangan dingin para mahasiswa yang bergerak mencari corporate social responsibilities perusahaan cat, kampung itu jarang dilirik. Bahkan, disambangi pun hampir tidak pernah. 
 
Para warga yang berdiam di permukiman tersebut rata-rata bermata-pencaharian tak tetap. Para laki-laki menjadi buruh di luar dan perempuan-perempuan menjadi tukang burci atau pemasang manik-manik alias payet. Pendapatan yang diperoleh saban hari tak tentu. “Sekali mayet baju, kami dibayar Rp 35 ribu,” kata Musafa. 
 
Mereka bekerja untuk penjahit-penjahit besar di Malang. Gaji yang didapat tidak tentu, tergantung lama-tidaknya para pekerja ini menuntaskan payetan. Juga banyak-tidaknya kain-kain yang dipayet berhasil dirampungkan. Untuk mengejar pemasukan, para perempuan itu kudu melek sampai dinihari menyelesaikan orderan. Ini dilakukan supaya esok dapurnya tetap mengepul. 
 
Kondisi itu berubah setelah Kampung Jodipan menjadi tujuan wisata. Para ibu-ibu memiliki lapak jualan. Ada yang membuka warung oleh-oleh, kafe kecil tempat nongkrong, atau sekadar menjual gorengan. Musafa masuk di golongan ketiga: menjajakan gorengan. Meski kesannya remeh, penghasilannya berkali lipat dibanding gajinya ketika menjadi burci. Jembatan kaca yang menghubungkan Kampung Jodipan dan Kesatrian di Malang, Jawa Timur, Minggu 2 September 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana
 
Bermodal tak sampai Rp 100 ribu untuk membeli tempe, tahu, dan bahan-bahan jualan lainnya, sehari ia bisa mengantongi minimal Rp 150 ribu. Angka fantastis, menurut Mustafa, bila dibangingkan pendapatannya yang dulu. Saat itu dalam sepekan ia mendapat unang tak sampai Rp 35 ribu. “Apalagi kami enggak sewa tempat untuk jualan. Gratis, dikasih lapak pula. Syaratnya cuma harus menunjukkan bukti kalau kami benar-benar warga sini,” ujarnya.
 
Musafa mengobrol dengan tamunya sembari menggoreng tempe. Sepanjang berkisah, mimiknya enteng, penuh senyum. Pipinya tak dikendurkan seperti orang loyo. “Ya memang terasa lebih menyenangkan sekarang. Pagi buka dagangan, sore sudah bisa pulang,” katanya.
 
Hal yang lebih penting adalah duit untuk makan setiap hari tersedia. Untuk sekadar belanja sayur pun bukan masalah.  Meski demikian, ia tak menampik pernah mengalami masa seret pembeli. Misalnya saat bukan musim libur atau sewaktu musim basah alias hujan. “Tapi kalau dihitung-hitung masih tetap bisa buat belanja daripada zaman dulu,” ujarnya. 
 
Kisah yang sama dirasakan oleh Ana. Ia berdagang minuman kemasan. Dulu, pekerjaannya juga memayet. Pendapatannya diakui, saat ini, jauh melampaui pekerjaan lamanya. Sementara itu, kata Ana, para bapak sekarang bukan lagi buruh tak tentu.
 
Suaminya, misalnya, sekarangmemiliki gawean sebagai tukang parkir. Dua haari sekali sang suami memiliki job menertibkan kendaraan-kendaraan yang masuk ke kampung sarat rona Instagramable itu.
 
 
Kampung Jodipan yang disolek menjadi kampung warna-warni itu menampung 3 RT. Pada 4 September lalu, keberadaannya sebagai kampung wisata genap berusia 3 tahun. Ia tak cuma mengakomodasi kepuasaan orang untuk berwisata sambil berfoto, tapi juga telah menyelamatkan dapur para ibu hingga tak seret mengepul saban pagi.  
 
FRANCISCA CHRISTY ROSANA (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, Francisca mulai bergabung di Tempo pada 2015. Kini ia meliput untuk kanal ekonomi dan bisnis di Tempo.co.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus