Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Pesona Buda, Pest, dan Sungai Duna

Budapest memiliki banyak kawasan wisata, termasuk gedung parlemen, Heroes’ Square, dan House of Terror-yang menjadi museum pengingat bagi korban penindasan rezim fasis (1944-1945) dan rezim komunis (1949-1989). Di kota itu mengalir Sungai Duna atau Danube, yang memisahkan wilayah Pest dan Buda.

28 Maret 2020 | 00.00 WIB

Gedung Parlemen Hungaria di Budapest, Hungaria. Foto: Anton Kurnia
Perbesar
Gedung Parlemen Hungaria di Budapest, Hungaria. Foto: Anton Kurnia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Anton Kurnia
Penulis dan pelancong

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Taksi daring Bolt yang kami tumpangi terhenti oleh kemacetan menjelang tiba di gedung parlemen Hungaria. Sopir berkepala botak yang saya lupa namanya-tapi mari kita sebut saja Jason karena mengingatkan saya pada aktor Jason Statham, sopir jagoan di film The Transporter-minta maaf. "Terlalu banyak mobil di kota ini," kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ini memang sudah sore, sekitar pukul lima lewat, jam padat saat orang-orang pulang kerja. "Tak apa," sahut saya yang duduk di kursi depan. "Di tempat kami di Jakarta, kemacetan jauh lebih parah."

"Jakarta kota besar, ya?" tanya Jason.

"Lumayan," saya bilang. "Penduduknya hampir 10 juta orang."

"Wow! Itu lebih banyak ketimbang seluruh penduduk Hungaria," kata dia seraya tertawa.

Jason menjemput saya dan tiga kawan sepelancongan sekitar 15 menit sebelumnya di Heroes’ Square (Hosok Tere) alias Medan Pahlawan di depan Museum of Fine Arts (Szepmusveszeti Muzeum). Lapangan luas yang juga berdekatan dengan Palace of Art itu merupakan salah satu ikon Kota Budapest dan termasuk situs warisan dunia UNESCO. Di tengah alun-alun itu terdapat Millenium Memorial, yang didirikan pada 1896, saat Wangsa Habsburg berkuasa di Budapest, yang kala itu termasuk wilayah imperium Austro-Hungaria.

Sebelumnya, kami menyaksikan pameran sketsa karya Rembrandt di museum megah bergaya klasik yang selesai dibangun pada 1906 itu. Di museum tersebut, banyak karya seniman klasik Eropa dipajang, antara lain lukisan Durer, Ruben, El Greco, Velazquez, Goya, dan Coreggio, yang sebelumnya hanya bisa saya lihat di buku-buku lukisan yang saya koleksi. Juga terdapat patung-patung karya Da Vinci dan Rodin-dua seniman favorit saya.

Ada pula lukisan para maestro impresionisme, seperti Manet, Monet, Pisarro, Renoir, dan Toulouse-Lautrec. Pada satu ruangan khusus di lantai bawah tanah, terdapat koleksi ratusan artefak antik dari Mesir yang berusia ribuan tahun, termasuk sesosok mumi.

Itu hari kedua kami di Budapest. Malam sebelumnya, kami tiba dari Bratislava, ibu kota Slovakia. Waktu tempuh dari Bratislava ke Budapest hanya satu jam naik bus. Kami menyewa satu apartemen cukup nyaman di Vorosmarty, tak terlalu jauh dari terminal bus Nepliget di area Pest.

Budapest berasal dari tiga kota yang disatukan pada 1873: Buda, Obuda (Old Buda alias Buda Lama), dan Pest. Kontur Buda (dan Obuda) berbukit-bukit. Di sana antara lain terdapat Kastil Buda, yang merupakan warisan monarki masa lampau.

Wilayah Pest meliputi sekitar dua pertiga Budapest. Konturnya lebih rata. Lebih banyak kawasan wisata dan budaya di sini, termasuk gedung parlemen, Heroes’ Square, dan House of Terror, yang menjadi museum pengingat bagi korban penindasan rezim fasis (1944-1945) dan rezim komunis (1949-1989). Kedua bagian kota ini-Pest serta Buda (dan Obuda)-dipisahkan oleh Sungai Duna atau Danube.

"Apa beda Buda dan Pest?" saya bertanya kepada Jason saat sedan kami beringsut di tengah kemacetan. Kami berada di wilayah Pest, di tepi Sungai Danube.

"Buda daerah berbukit. Sejak dulu digunakan untuk permukiman orang kaya dan kaum bangsawan. Rumah-rumah di bukit kan pemandangannya bagus. Harganya mahal. Hanya orang berduit yang bisa membeli. Mereka lalu membuat pabrik-pabrik di Pest. Rakyat jelata bekerja di pabrik-pabrik dan tinggal di Pest," ujar Jason, yang tampaknya punya kesadaran kelas.

Beberapa meter setelah melintasi delta Sungai Danube, saya minta diturunkan. Lebih baik meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki ketimbang tersandera kemacetan.

Di sebelah kanan saya, yang dipisahkan jalan aspal, terbentang Sungai Danube yang telah menggoda banyak pencipta untuk berkarya, sekaligus menjadi saksi sejarah dari masa ke masa. Di sebelah kiri agak ke depan tampak Gedung Parlemen Hungaria (Orszhagaz) yang megah dan indah. Gedung itu terletak di ujung Pest, menghadap ke Sungai Danube. Bangunan ini dinyatakan sebagai situs warisan dunia UNESCO pada 2002 dan disebut-sebut sebagai gedung parlemen terindah di Eropa.

Inilah gedung terbesar di Hungaria dan ikon Budapest yang kerap muncul di berbagai suvenir dan film-film yang berlatar kota ini. Mulai dibangun pada 1896 untuk memperingati seribu tahun usia Hungaria (dihitung sejak berdirinya Kerajaan Hungaria pada 896), bangunan bergaya neo-Gothic karya arsitek Imre Steindl ini baru dibuka pada 1902.

Sekitar 100 ribu buruh dilibatkan dalam pembangunan gedung megah berukuran 268 meter x 123 meter ini, yang konon menghabiskan 40 juta bata, setengah juta kilogram batu mulia, dan 40 kilogram emas. Tinggi bangunan mencapai 96 meter. Pada masa rezim komunis berkuasa, di puncak kubahnya terpancang sebuah bintang merah kemilau. Bintang merah itu dicopot pada 1990 setelah komunisme runtuh di Eropa Timur.

Setelah puas melihat-lihat sekitaran gedung itu, saya menyeberang jalan menuju trotoar di tepi Sungai Danube. Meski saat itu musim gugur di pengujung Oktober, suhu terasa hangat. Cuaca cerah. Namun di langit sebelah sana matahari mulai surut. Banyak orang berlalu-lalang. Sebagian berfoto-foto. Ada pula yang duduk-duduk santai di atas bangku kayu di tepi jalan menghadap sungai. Di sungai, beberapa perahu motor melaju. Di seberang sungai yang lebar, tampak gedung-gedung dan perbukitan di Buda.

Saya duduk di atas bangku kayu di depan gedung parlemen menghadap ke sungai, menikmati pemandangan senja di tepi Danube. Bagi saya yang datang dari sebuah negeri yang kurang memuliakan sungai, melihat sungai yang bersih seperti ini adalah kemewahan.

Sebetulnya, menurut Jason tadi, Sungai Danube kini sudah tercemar, tak seindah dan sebersih dulu karena banyak dialiri limbah kota. Namun, jika dibandingkan dengan sungai-sungai di Jakarta, tentu saja sungai ini jauh lebih bersih dan menarik.

Pada masa lalu, keindahan Danube menginspirasi komponis Johann Strauss menggubah nomor klasik Blue Danube. Sutradara Hungaria, Miklos Jancso, lalu membuat film dengan meminjam komposisi itu sebagai judulnya, The Blue Danube Waltz (1992).

Sungai terpanjang kedua di Eropa setelah Sungai Volga di Rusia ini bersumber di Donaueschingen, Pegunungan Schwarzwald (Hutan Hitam), bagian barat Jerman, dan bermuara di Laut Hitam. Melintasi 10 negara di Eropa Tengah dan Timur membuatnya punya banyak nama. Ia disebut Donau di Jerman dan Austria; Dunaj di Slovakia; Duna di Hungaria; Dunav dalam lidah orang Kroasia, Serbia, dan Bulgaria; Dunarea di Rumania; serta Dunay di Ukraina dan Moldova.

Sebelumnya, saya bersua sungai sepanjang lebih dari 2.850 kilometer ini di Wina dan Bratislava. Namun pemandangan paling menggetarkan dari sungai ini tersua di Budapest.

Setelah duduk-duduk sejenak seraya menyaksikan suasana senja di tepi sungai, saya dan dua kawan-Evelyn dan Emte-melanjutkan perjalanan menyusuri tepi Danube. Sementara itu, seorang kawan lain, Antonio, berpisah jalan karena hendak kembali ke Bratislava untuk mengikuti sebuah lokakarya seni rupa keesokan harinya.

Tak jauh dari tempat kami duduk-duduk, tampak pemandangan unik. Sejumlah sepatu besi bergeletakan di tepi sungai. Di beberapa titik di dekatnya terdapat lilin menyala dan bunga mawar yang diletakkan oleh para peziarah. Itulah monumen Shoes on the Danube Bank karya perupa Gyula Pauer yang dibuat pada 2005 untuk memperingati ratusan orang (tua, muda, pria, wanita) yang ditembak mati oleh milisi fasis, Arrow Cross, pada Desember 1944-Januari 1945 dalam Perang Dunia II. Sebelum ditembak, para korban dipaksa melepas sepatu. Setelah dieksekusi, tubuh mereka terpelanting jatuh ke dalam sungai, hanyut tak berkubur.

Kami terus berjalan. Sesekali mengambil foto. Langit mulai gelap. Lampu-lampu telah dinyalakan, memberi keindahan yang lain pada pemandangan di sekitar. Kami menyusuri tepi sungai menuju Chain Bridge (Szechenyi Lanchid).

Jembatan sepanjang 375 meter dengan lebar sekitar 15 meter yang dibuka untuk umum pada 1849 itu adalah yang tertua dan paling terkenal di antara delapan jembatan yang menghubungkan Pest dan Buda. Jembatan ini bisa dilewati kendaraan bermotor dari dua arah. Di kedua tepinya terdapat area pedestrian. Ujung gerbangnya dihiasi patung singa putih seperti di jembatan Westminster, London. Desain patung karya perupa Janos Marschalko itu serupa dengan patung singa di Trafalgar Square.

Sesampainya di Buda, kami mencari tempat makan yang menghidangkan menu khas Hungaria. Misalnya, sup goulash yang telah saya cicipi saat sarapan di sebuah kedai di kawasan Andrassy, di seberang Irok Boltja-salah satu toko buku terbesar dan terlengkap di Budapest.

Kami memilih makan di Lanchid Sorozo, kedai bernuansa rock and roll yang eksotis dan dindingnya dipenuhi poster bintang rock dan musikus, dari Pink Floyd hingga Frank Zappa. Di dekat konter kasir tergantung bermacam-macam uang kertas dari berbagai negara. Kafe itu terletak tak jauh dari Budai Valagut, gerbang terowongan sepanjang 350 meter di bawah Kastil Buda yang tersohor.

Sambil meneguk bir dingin Hungaria dan menunggu pesanan makan malam tiba, pikiran saya mengembara. Buat saya, melancong tidak hanya bepergian ke satu kota yang eksotis atau berfoto-foto, tapi bagaimana kita bisa tergetar oleh pemandangan, peristiwa, pengalaman, dan hal-hal unik yang menyentuh kita secara personal.

Saat melancong, saya mengumpulkan momen-momen personal, juga kenangan atas pertemuan, suasana, dan benda-benda yang mengesankan kita. Lalu saya menyimpannya dalam khazanah pengalaman yang satu saat saya tuliskan untuk berbagi cerita.


Pesona Buda, Pest, dan Sungai Duna

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus