Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Petaka Bila Mendaki Semeru Hanya Modal Nekat dan Semangat

Gunung Semeru selain indah juga menantang. Gunung itu kini jadi destinasi wisata alam, tapi jangan modal nekat mendakinya.

31 Juli 2019 | 14.32 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Gunung Semeru selalu menantang para pendaki untuk berpetualang. Gunung setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu, kian terkenal usai film laris 5 Cm yang dirilis pada Desember 2012. Wisatawan yang melebur dengan para pecinta alam ingin menggapai Mahameru, puncak Gunung Semeru.

Tren kenaikan jumlah pendaki bisa dilihat dari data pengunjung milik Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Pada 2016, jumlah total pengunjung 155.477 orang yang terdiri dari pengunjung domestik 153.702 orang dan turis asing 1.775 orang. 

Pada 2017, jumlah pengunjung bertambah jadi 183.272 orang atau naik 15,16 persen, dengan 179.528 pengunjung lokal (naik 14,38 persen) dan 3.744 wisatawan mancanegara (52,17 persen). Jumlahnya naik lagi pada 2018 jadi 286.096 orang atau naik 35,94 persen dari 2017, dengan rincian pengunjung lokal 280.978 orang atau naik 36,10 persen dan pengunjung luar negeri 5.118 orang naik 27 persen. 

Musim terbaik mendaki Semeru adalah sepanjang Juni-Agustus. Dalam pengalaman TEMPO, kepadatan jumlah pendaki paling terasa saat menapaki rute Ranu Pani hingga Ranu Kumbolo. Saking ramainya, suasana perkemahan di Ranu Kumbolo jadi mirip pasar malam. 

Namun, menurut Kepala Balai Besar TNBTS John Kenedie, sudah banyak pengunjung Gunung Semeru yang mengalami musibah baik dalam kondisi hidup maupun meninggal akibat kelalaian dan kesengajaan korban sendiri. Musibah terbanyak dialami pengunjung saat menuruni Gunung Semeru, saat kondisi fisik dan mental pendaki sedang melemah.

Berdasarkan pengalaman dan catatan kami, mayoritas musibah yang dialami pengunjung karena mereka mengabaikan peringatan yang sudah kami buat. Banyak rambu keselamatan dan larangan kami buat, tapi tetap saja dilanggar,” kata John, Rabu, 31 Juli 2019. 

Para pendaki berkumpul Resor Ratu Pani di kaki Gunung Semeru pada Minggu, 1 April 2019. Jumlah pendaki kian meningkat yang mengunjungi Semeru. TEMPO/Abdi Purnomo

Petugas TNBTS di lapangan masih sangat sering menemukan pendaki pemula memasuki wilayah TNBTS hanya bermodal nekat dan semangat tanpa bekal informasi dan pengetahuan cukup tentang peta pendakian dan karakter alam taman nasional, serta terlalu memaksakan diri tanpa kondisi fisik dan mental yang prima. 

Kelalaian dan kesengajaan berbuah musibah yang dialami dua pendaki dalam dua bulan terakhir. Pada 19 Mei lalu seorang pendaki berusia 62 tahun berkebangsaan Amerika Serikat bernama Prasetio Tjondro meninggal karena sakit diare saat berkemah di Ranu Kumbolo. 

Tjondro mulai mendaki bersama 20 orang lainnya pada Jumat, 17 Mei 2019. Mereka dibagi dalam tiga tim. Tiap tim didampingi pemandu dan portir. Mereka sudah mendapat arahan mengenai prosedur pendakian dari petugas TNBTS di Pos Ranupani. 

Terkait usia Tjondro, pada Juli 2013, Balai Besar TNBTS sebenarnya sudah membatasi usia pendaki Gunung Semeru minimal sepuluh tahun dan maksimal 60 tahun. Tapi, ketentuan ini banyak dilanggar pengunjung dengan cara memalsukan keterangan usia. 

Pembatasan usia terkait kondisi fisik yang bakal banyak tergerus saat menjalani pendakian. Titik-titik tersusah dan terberat bisa dijumpai di sepanjang rute pendakian, antara lain rute Watu Rejeng-Ranu Kumbolo, saat mendaki “Tanjakan Cinta” dari Ranu Kumbolo ke Oro-Oro Ombo, rute Cemoro Kandang hingga Jambangan, serta dari Kalimati ke puncak Gunung Semeru yang bernama Mahameru. 

Dalam pengalaman TEMPO, rute Kalimati-Mahameru lewat Pos Arcopodo merupakan rute tersusah dan terberat. Banyak pendaki yang urung naik ke puncak gara-gara sudah kehabisan tenaga saat melintasi Arcopodo sampai batas vegetasi—disebut Kelik (nama seorang pendaki yang tewas)—hingga Cemoro Tunggal. Nama Cemoro Tunggal diambil dari sebatang pohon cemara yang sudah tumbang yang dulunya sering dijadikan pendaki untuk rehat sejenak untuk kemudian kembali menapaki punggung Semeru yang berpasir dan berbatu-batu. 

Sebenarnya, Balai Besar TNBTS sudah membuat pengumuman bahwa pendakian Gunung Semeru dibatasi hingga Kalimati saja. Pembatasan dibuat berdasarkan imbauan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung bahwa jarak dua kilometer dari Kalimati puncak Semeru sangat berisiko tinggi alias membahayakan pendakian. Pembatasan dilakukan karena kondisi Gunung Semeru masih labil. Kawah Semeru masih rutin meletup-letup. 

Namun, sudah banyak sekali pendaki yang mengabaikan imbuan tersebut dan akibatnya sejumlah pendaki mengalami kecelakaan. Kecelakaan beberapa kali terjadi di area Blank 75, nama jurang sedalam 75 meter yang terkenal sebagai “zona tengkorak” karena banyak pendaki terluka dan meninggal, bahkan hilang di sana. 

Kejadian terkini terkait pelanggaran imbauan tersebut dialami Galuh Cahyani saat menuruni Gunung Semeru, Minggu, (28/7). Galuh terjatuh ke dalam sebuah jurang kecil di sekitaran Cemoro Tunggal. Galuh berhasil dievakuasi oleh tim pencari dan penolong ke Ranupani, pos pertama pendakian Semeru. Ia mengalami sejumlah luka berat sehingga harus ditandu.  

Sebelum kejadian, ia nekat melanjutkan pendakian sendirian ketika empat temannya memilih berkemah di Pos Kalimati pada Sabtu, (27/7). 

Kepala Kepolisian Resor Lumajang Ajun Komisaris Besar Muhammad Arsal Sahban memastikan insiden yang dialami Galuh murni akibat kesalahan sendiri. Galuh telah melanggar imbauan PVMBG tentang batas aman pendakian. Keluarga Galuh bersedia menanggung semua biaya pengobatan. 

Selain pelanggaran semacam itu, banyak lagi pelanggaran yang berkaitan dengan etika pendakian seperti tidak membuang sampah sembarangan dan mengambil tanaman dari dalam kawasan TNBTS. 

Kejadian yang dialami Galuh dan insiden sejenis membuat John Kenedie amat prihatin. John meminta seluruh pengunjung untuk sepenuhnya menaati semua peraturan yang berlaku. Mereka diingatkan untuk membawa turun sampah logistik yang mereka bawa untuk dikumpulkan di Ranupani. 

Warga Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sedang memancing di Danau Ranupani, Kamis, 15 November 2018. TEMPO/

“Jangan juga menyalakan api dengan kayu hutan yang diambil di dalam kawasan. Tolonglah kelestarian Gunung Semeru dijaga dan taati peraturan demi keselamatan bersama. Jangan hanya bermodal nekat dan semangat saja kalau mendaki,” ujar John. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus