Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebaya bukan lagi sekadar baju kondangan. Busana tradisional ini mulai banyak dikenakan sebagai pakaian kantoran, juga untuk kegiatan harian. Setahun terakhir, misalnya, kita bisa dengan mudah mendapati perempuan berkebaya mencangklong tas kantor sedang menunggu ojek online atau berjejalan di kereta Commuter Line.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk lebih menyebarluaskan pemakaian kebaya sebagai pakaian sehari-hari, Perempuan Berkebaya Indonesia terus menggelar sosialisasi. Pada Kamis pekan lalu, tepat saat peringatan Hari Ibu, mereka mengadakan sosialisasi kebaya di Gedung Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat. Sebelumnya, misalnya, komunitas tersebut mensosialisasi kebaya di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Depok. Mereka ingin lebih banyak perempuan merasa nyaman berkebaya dan menghapus kesan ribet dari busana tradisional itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi perempuan muda, para aktivis kebaya tersebut punya tip. Dari pengamatan Arsita Resmisari, pendiri Arsita Craft yang menggeluti dunia kebaya sejak dua dekade lalu, perempuan milenial cenderung memilih kebaya dengan warna-warna pastel. "Bukan warna-warna terang kayak merah dan kuning," kata dia.
Pemilihan warna itu berbeda, misalnya, pada perempuan berusia 40-an tahun yang lebih menyenangi warna-warna terang. "Untuk ibu-ibu, selama ini saya bikin yang gonjreng gitu, mereka suka," katanya.
Soal motif, dia melanjutkan, perempuan muda juga lebih cenderung menyukai kebaya polos. "Yang tidak terlalu ramai," ujar Arsita. Motif paling ramai untuk dipakai harian tak lebih dari lurik. "Brokat biasanya dipakai di acara resmi, seperti wisuda."
Dia mengajak para perempuan mengenakan kebaya kain dan tidak salah pilih. Sebab, sekarang muncul kebaya dengan bahan kaus.
Contoh kebaya dari Arsita Resmisari yang sedang diminati milenial. Tempo/Magang/Sekar Rahma
Dengan potongan yang pas badan, kebaya kerap dianggap hanya cocok digunakan perempuan langsing. Arsita membantah anggapan tersebut. Menurut dia, kebaya juga ramah untuk perempuan bertubuh ekstra. Caranya, dengan memilih warna dan motif yang tepat.
Warna kebaya yang pas bagi perempuan bertubuh subur adalah warna hitam atau gelap. Motif lurik membujur juga bisa memberi kesan langsing. Dari sisi desain, kebaya dengan potongan panjang bisa menambah kesan ramping karena menutupi panggul. Namun, lebih dari itu, Arsita menekankan pentingnya rasa percaya diri.
Perempuan dan kebaya seperti saling menguatkan secara emosional. Perempuan menganggap kebaya sebagai pakaian yang indah. Sebaliknya, kebaya membuat pemakainya merasa lebih cantik. "Respons emosi yang dirasakan perempuan saat memakai kebaya berbeda dengan saat memakai jins atau pakaian lain. Perasaan yang muncul adalah merasa cantik," kata Ade Iva, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam acara yang sama.
Menurut dia, perasaan itu muncul terlepas dari harga kebaya yang kebanyakan bisa ditebus sekitar Rp 50 ribu per potong. "Padahal ini bukan pakaian desainer, hanya kain sederhana," ujar Ade Iva.
Reaksi emosional lain yang muncul saat perempuan berkebaya adalah perilaku yang terkendali. Menurut Ade Iva, hal ini didorong oleh persepsi kebaya sebagai simbol identitas nasional. "Sehingga terbawa oleh pemakainya. Misalnya, saat duduk, enggak bisa sembarangan," kata dia.
Warga desa dari 4 kecamatan mengenakan kebaya di acara Kebaya Lembang Goes to Unesco di Alun-Alun Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 3 Agustus 2022. TEMPO/Prima mulia
Kebaya Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia
Ketua Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia, Rahmi Hidayati, mengatakan penggunaan kebaya sebagai busana sehari-hari mendukung kampanye kebaya sebagai warisan budaya dunia. Pemerintah menyepakati untuk mengusulkan kebaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO melalui mekanisme single nomination alias tak melibatkan negara lain.
Di lain pihak, kebaya juga diusulkan sebagai warisan budaya pada kategori yang sama oleh Dewan Warisan Nasional Singapura. Mereka menggandeng Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand yang sama-sama mengklaim sebagai tuan rumah kebaya.
Indonesia memilih mengajukan kebaya secara mandiri dengan pertimbangan masih memiliki satu berkas aktif dalam pembahasan UNESCO yang akan dibahas pada 2023, yaitu Budaya Jamu Sehat. Ada juga tiga berkas nonaktif—dokumen pengusulan telah diterima tapi belum dibahas—yaitu reog Ponorogo, tenun, dan tempe. Masing-masing pengajuan membutuhkan waktu dua tahun lebih sebelum diakui oleh UNESCO.
SEKAR RAHMA (MAGANG) | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo