Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Pura Kecil yang Melambangkan Keberagaman di Ujung Pulau Jawa

Keberagaman ini dapat dilihat dari adanya sebuah pura kecil di Desa Kalipait, Banyuwangi yang diapit vihara dan masjid.

2 Agustus 2018 | 18.26 WIB

Umat Hindu mengelilingi padma saat upacara ritual Melasti di Pantai Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, 15 Maret 2018. Umat Hindu di Banyuwangi menggelar ritual Melasti menjelang Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1940 guna mensucikan diri dan alam semesta. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Perbesar
Umat Hindu mengelilingi padma saat upacara ritual Melasti di Pantai Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, 15 Maret 2018. Umat Hindu di Banyuwangi menggelar ritual Melasti menjelang Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1940 guna mensucikan diri dan alam semesta. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Pura kecil di pengujung timur Pulau Jawa. Jauh dari hingar bingar kota tak menyurutkan niatan mereka. Lahan yang mereka tempati tak kunjung memiliki surat hak milik. Berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang berbeda tak membuat mereka berselisih, karena mereka memiliki tujuan yang sama; bertahan hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Meski ditumbuhi berbagai pohon besar, kesan panas dan sepi langsung hinggap di pikiran saya kala siang itu saya bersama enam teman menginjakkan kaki pertama kali di Dusun Kutorejo, Desa Kalipait, Banyuwangi. Jalanan berbatu dan hanya cukup untuk satu mobil yang dikelilingi kebun semakin menguatkan kesan pertama saya terhadap desa ini.

Saya berada di desa ini untuk melakukan observasi pada masyarakat Dusun Kutorejo dalam rangka perjalanan panjang Badan Khusus Pelantikan Mapala UI 2013 yang diadakan di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP). Tim yang singgah di TNAP sejak 27 Januari – 7 Februari 2014 dibagi menjadi tiga; tim besar di dalam hutan yang berusaha untuk menelusuri bukti peninggalan Kerajaan Majapahit yang menurut keyakinan masyarakat setempat pernah singgah di tempat itu, tim kecil yang menjaga base komunikasi di Pantai Plengkung, dan tim observasi masyarakat di Dusun Kutorejo.

Kami melakukan observasi mengenai keberagaman warga dusun tersebut. Pada rencana awal penelitian kami hanya berlangsung selama tiga hari, namun karena satu dan lain hal waktu penelitian diperpanjang menjadi satu minggu.

Berinteraksi langsung dengan warga selama satu minggu lebih perlahan meluruhkan kesan pertama saya terhadap desa ini dan menguak berbagai realita tentang mereka. Rupa-rupanya warga di desa ini tidak hanya berasal dari Banyuwangi saja.

Jika banyak orang dari berbagai daerah lebih memilih untuk merantau ke kota, tidak dengan warga disini. Terdiri dari warga asli dan pendatang yang sudah bertahuntahun tinggal di Dusun Kutorejo, mayoritas dari mereka bermata pencaharian sebagai petani dan pencari kerang. Sebagian kepala rumah tangga merantau ke Bali atau daerah lainnya sebagai pekerja tambang dan tidak sedikit perempuan yang mengadu nasib ke luar negeri dengan menjadi tenaga kerja wanita.

Nyatanya hidup bertani jugalah tidak mudah untuk dijalani. Lahan yang mereka tempati buktinya tidak dapat mereka miliki karena telah dimiliki oleh pihak Perhutani. Masyarakat hanya dapat menyewa lahan tersebut 3 sampai 4 tahun. Itu pun belum termasuk jika pohon milik Perhutani sudah mulai tumbuh, warga tentu tidak dapat menggunakan lahan tersebut dan harus menunggu bukaan lahan yang baru. Jika kesempatan untuk bertani dirasa tidak cukup menguntungkan, mereka akan beralih menjadi pencari kerang di rawa-rawa sekitar dusun. Apapun pekerjaannya, yang penting mampu mencukupi kebutuhan mereka dan halal.

Bukan hanya dari segi ekonomi yang dapat disoroti dari kehidupan masyarakat di Kalipait ini. Kehidupan masyarakatnya yang sangat beragam juga patut dijadikan sebagai pembelajaran. Masyarakatnya tidak hanya berasal dari suku Osing – suku asli Banyuwangi yang sering juga disebut Wong Blambangan – namun juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mayoritas masyarakat Desa Kalipait beragama Hindu, disusul Buddha dan Islam sebagai agama yang lainnya.

Menurut kepercayaan masyarakat, nenek moyang mereka merupakan orang-orang dari Kerajaan Majapahit yang kabur ke daerah Banyuwangi dari kejaran pasukan Kerajaan Demak. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya pura Kawitan di dalam TNAP yang katanya juga merupakan peninggalan dari Majapahit. Jika hal ini memang benar, tidak mengherankan jika mayoritas agama disini adalah Hindu, mengingat Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu.

Keberagaman ini dapat dilihat dari adanya sebuah pura kecil di Desa Kalipait, yang “ditemani” juga dengan keberadaan sebuah vihara dan masjid yang letaknya berdekatan. Pernah suatu sore saya melihat warga yang ingin beribadah di pura berpapasan dengan mereka yang ingin sholat di masjid.

Tak ada ekspresi mengejek sedikitpun di wajah mereka, yang ada justru penawaran bantuan untuk membawakan sesaji yang cukup banyak itu. Layaknya kehidupan di desa pada umumnya, setiap ada warga yang akan mengadakan acara pun, seluruh warga akan turut membantu. Umat beragama di Kalipait hidup tanpa terjadi gesekan, sangat berbeda jika dibandingkan dengan beberapa wilayah lain– terutama kota besar, yang sangat sensitif jika membicarakan tentang keyakinan seseorang.


Tinggal di atas lahan yang masih belum dapat dimiliki, menanam di lahan milik institusi pemerintah, membuat sarana transportasi secara swadaya, dan persamaan lain yang dimiliki mereka satukan untuk menyingkirkan perbedaan yang sensitif di antara 
mereka; agama agar mereka dapat mencapai satu tujuan mereka berada di Kalipait: bertahan hidup.

Tulisan sudah tayang di Ireswastiwi

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus