Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Sepotong Kisah Bung Karno di Batu Brak

Bukan cuma punya hamparan kebun kopi yang luas, Lampung juga menyimpan kisah dari masa prasejarah. Di provinsi ini tersebar sejumlah situs batu megalitik. Salah satu lokasi yang menarik dikunjungi adalah Batu Brak di Lampung Barat. Di sini juga terselip kisah tentang Sukarno.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menhir di situs Batu Brak, Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat, Lampung. FOTO-FOTO: Arman AZ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arman AZ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penulis dan penikmat perjalanan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masa prasejarah di Indonesia selalu me­­narik ditelisik. Salah satu penanda era tersebut yang mudah diketahui awam adalah sebaran batu megalitik di sejumlah tempat di negeri ini. Tentu masih hangat dalam ingat­an publik ihwal situs prasejarah fenomenal Gunung Padang yang mengejutkan dunia. Hasil uji karbon menyatakan usia situs di Cianjur itu jauh lebih tua dari peradaban Mesir.

Masih banyak situs me­­galitik yang belum diketahui publik. Setiap situs pun memiliki keunikan dan karakteristik masingmasing. Situs itu menarik minat para peneliti luar negeri untuk mencatat dan mempublikasikan­nya. Misalnya, pada 1918, William James Perry me­­nerbitkan buku The Mega­lithic Culture of Indonesia. Buku yang berisi 23 bab itu membahas tradisi megalitik di Sumba, Nias, dan Toraja.

Di wilayah Provinsi Lam­pung, yang jarak tempuh­nya kurang dari satu jam via Bandara SoekarnoHatta, ada beberapa situs megalitik yang sebarannya ham­pir merata di se­luruh wilayah kabupaten. Si­­tussi­tus yang sudah cu­­kup dikenal masyarakat Lam­pung adalah Batu Brak (Lampung Barat), Pugung Raharjo (Lampung Timur), Palas Pasemah (Lam­pung Selatan), Batu Be­­dil (Tanggamus), dan be­­be­­rapa situs lain yang lebih kecil.

Situs megalitik Batu Brak juga acap disebut si­­tus Kebon Tebu oleh penduduk setempat. Situs ini berada di Pekon Purawi­witan, Kecamatan Kebon Tebu, Kabupaten Lampung Barat. "Brak" dalam bahasa Lampung artinya "be­­sar" atau luas. Situs ini ke­­rap dikunjungi wisatawan lokal, peminat sejarahbudaya, dan kalangan pelajarmahasiswa.

Untuk mengunjungi situs ini, jika berangkat dari Bandar Lampung, Anda perlu menempuh jarak se­­jauh 120 kilometer. Waktu tempuhnya bisa mencapai 7 jam perjalanan darat, me­­lewati Kota Bandar Jaya (Lampung Tengah) dan Bukit Kemuning (Lampung Utara). Jadi, jika hendak melancong ke situs ini, entah dengan kendaraan pribadi atau transportasi umum (bus dan travel), ada baiknya berangkat pagi atau siang hari dari Bandar Lampung agar tidak kemalaman saat tiba di Sumber Jaya.

● ● ●

Satu penanda bahwa kita telah tiba di Sumber Jaya adalah Tugu Soekarno berukuran raksasa tepat di simpang tiga setelah Bukit Kemuning. Dari simpang itu, ada jalan ke kiri dan menanjak. Itulah arah ke situs Batu Brak. Waktu tempuh dari simpang Tugu Soekarno menuju lokasi situs hanya sekitar sete­ngah jam. Jalan aspal sudah lumayan bagus. Sebelum sampai di situs, pengunjung juga bisa mampir ke sebuah tempat bernilai sejarah dan ada kaitannya dengan Sukarno.

Mengapa dinamai Tugu Soekarno?

Selepas kemerdekaan In­­do­nesia, atas perminta­­an Bung Karno, ribuan pe­­juang Siliwangi hijrah dari Jawa Barat ke Lampung. "Revolusi politik (kemerdekaan) telah selesai, kini saatnya memba­ngun Indonesia," kirakira demikianlah amanat Bung Karno. Ribuan mantan pe­­juang itu pun menyeberang ke Sumatera. Salah satu daerah tujuan mereka adalah Sumber Jaya. Tak sedikit dari mereka yang hijrah sampai ke Sumatera Selatan dan Bengkulu. Mereka merintis pemba­ngunan di tempat baru. Mem­buka hutan, bertani, dan berladang.

Pada 1950an, Presiden Sukarno mengunjungi be­­be­rapa kota di Lampung dan Sumatera Selatan. Sang Presiden menyempat­kan berkunjung ke Sumber Jaya untuk menjenguk para transmigran mantan pejuang Siliwangi. Saat berkumpul bersama war­ga, Bung Karno berdiri di depan rumah, kemudian melempar sesuatu. Warga menduga benda yang ia lemparkan itu adalah sebuah batu kecil. Disaksikan warga, Bung Karno meminta agar suatu saat dibangun tugu di tempat benda itu jatuh. Kini rumah tempat Sukarno melempar benda itu telah menjadi kantor Koramil Sumber Jaya.

Masih ada sedikit saksi sejarah yang mengetahui dan bisa dikonfirmasi me­­ngenai masamasa pembangunan pascaproklamasi kemerdekaan itu. Dari veteran pejuang Siliwangi itu, kita bisa mendapat kisah tentang masa perjuangan sekaligus petuah untuk mengisi kemerdekaan.

Topografi Sumber Jaya adalah daerah perbukitan. Mayoritas dihuni warga beretnis Sunda, Semendo, dan asli Lampung. Peng­hasilan mereka umumnya dari bertani dan berkebun, terutama kopi. Bagi pengunjung yang hendak bermalam di sekitar situs Batu Brak, ada beberapa penginapan (homestay) di Sumber Jaya. Jika beruntung, mungkin kita bisa men­dengar mitos sekaligus kisah mistis tentang situs dari warga sekitar. Namun, jika Anda memilih menginap di hotel, Anda dapat bermalam di Liwa, ibu kota Lampung Barat, yang memakan waktu sekitar satu jam perjalanan dari Sumber Jaya.

● ● ●

Situs Batu Brak meng­hampar di lahan seluas le­­bihkurang 3 hektare. Deretan batu besar tersusun memanjang. Jika di­­amati, deretan batu itu menghadap Bukit Abung dan Bukit Rigis yang terletak tidak jauh dari lokasi situs. Dalam kompleks situs, ada pohon beringin raksasa yang usianya diper­kirakan sudah ratusan tahun.

Situs warisan prasejarah ini ditemukan pada 1951 oleh para transmigran. Saat itu lokasinya berupa semak belukar. Penelitian Universitas Indonesia pada 1981, yang dipimpin arkeo­log Aris Soekandar, menyatakan situs tersebut merupakan peninggalan era Dinasti Tsung, kerajaan di Cina yang berkuasa sekitar 2500 Sebelum Masehi.

Simpulan itu dibuktikan dengan temuan manikma­­nik batu dan kaca, pecah­an keramik, serta lesung batu di sekitar situs. Situs ini, selain dipakai sebagai permukiman, merupakan tempat pemujaan pada zaman animisme dan permakaman.

Dalam buku Hasil Survei Kepurbakalaan di Daerah Lampung terbitan Dep. P & K pada 1975, tim peneliti dari Jakarta sempat me­­ngunjungi sejumlah lokasi situs megalitik dan purbakala di Lampung Barat. Sayangnya, mereka "melewatkan" situs Batu Brak. Sejak 1989, situs ini dibuka untuk umum dan penelitian serta telah beberapa kali dipugar. Kini pengelolaan situs Batu Brak ada di bawah kendali Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten.

Situs Batu Brak mirip lazimnya bentuk pening­galan megalitik di Indonesia yang berupa menhir (batu tegak), dolmen (batu datar yang ditopang batubatu kecil, serupa meja), teras berundak, arca, sarkofagus, batu berlubang, dan lainnya. Di Batu Brak ada sekitar 50 menhir, 27 dolmen, dan 3 batu datar. Ada taman kecil di sekitar situs, juga museum sederhana di dekat gerbang situs.

Tidak hanya sebagai situs bersejarah, kompleks peninggalan masa megalitik ini juga bisa berfungsi sebagai sumber kreativi­tas berlatar alam. Dari aspek seni budaya, pernah di­­adakan kegiatan kebuda­yaan skala internasional di Batu Brak. Hal ini dilakukan (almarhum) Suprapto Suryodarmo (Mbah Prap­to), maestro meditasi dan eksplorasi gerak tubuh Joget Amerta atau Amerta movement, yang muridnya tersebar di mancanegara.

Ketika pertama kali mengunjungi situs Batu Brak pada awal Juli 2019, mungkin Mbah Prapto menemukan energi berbeda. Jadi, ia langsung meng­inisiasi kegiatan bertajuk "Celebrating Megalithic Art @sistersites". Acara ini melibatkan peserta dari Spanyol dan Hungaria. Pe­­lajar, seniman, dan masya­rakat sekitar Lampung Barat pun antusias meng­ikuti kegiatan ini.

Menariknya, pada saat yang sama, kegiatan oleh gerak tubuh di situs megalitik ini dilakukan serentak di beberapa negara, misalnya di situs megalitik Avebury (Inggris) dan Lindeskov (Denmark), juga beberapa situs di Indonesia, seperti Watu Kandang Matesi (Jawa) dan Batu Pake Gojeng (Sulawesi).

Selain situs Batu Brak, masih ada beberapa situs di Lampung Barat yang luasnya lebih kecil, se­­per­ti situs Kenali, situs Jepara di dekat Danau Ranau, situs Sukarame, dan situs Harakuning. Se­­lain itu, di sejumlah situs web Belanda (KITLV atau Tropenmuseum), ada sejumlah foto tempo doeloe yang memuat situssitus di sekitar Lampung Barat. Dalam foto itu, ada pose beberapa orang Belanda dan penduduk sekitar di situs batu besar.

● ● ●

Bila sudah bertandang ke situs Batu Brak, sayang jika tidak menyambangi beberapa tempat lain, misalnya Liwa (ibu kota Lampung Barat). Jarak tempuhnya kurang dari satu jam. Ko­­non, dari Lampung Barat inilah muasal orang Lam­pung, dari takit (pinggang) Pesagi, gunung tertinggi di Lampung.

Di Liwa, kita bisa menikmati kopi Liwa atau kopi luwak, suasana kota yang dinginsejuk, pemandangan hamparan ladang kopi dan kebun sayur, deretan rumah panggung, dan ja­­lanan yang meliuk turunnaik perbukitan. Pada era kolonial, Lampung me­mang terkenal sebagai penghasil lada dan kopi.

Batubatu megalitik di Batu Brak merupakan buk­ti jejakjejak peradaban masa lampau di Lampung. Meski demikian, tampaknya masih perlu penelitian lebih mendalam dan berkelanjutan tentang situs Batu Brak, juga kaitannya dengan situs dan sebaran megalitik di beberapa tempat lain di Lampung Barat. Tidak tertutup ke­­mungkinan masih ada batubatu megalitik lain di sekitar situs Batu Brak, yang mungkin karena faktor bencana alam ratusan tahun silam jadi tertimbun tanah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus