Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arman AZ
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penulis dan penikmat perjalanan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masa prasejarah di Indonesia selalu menarik ditelisik. Salah satu penanda era tersebut yang mudah diketahui awam adalah sebaran batu megalitik di sejumlah tempat di negeri ini. Tentu masih hangat dalam ingatan publik ihwal situs prasejarah fenomenal Gunung Padang yang mengejutkan dunia. Hasil uji karbon menyatakan usia situs di Cianjur itu jauh lebih tua dari peradaban Mesir.
Masih banyak situs megalitik yang belum diketahui publik. Setiap situs pun memiliki keunikan dan karakteristik masingmasing. Situs itu menarik minat para peneliti luar negeri untuk mencatat dan mempublikasikannya. Misalnya, pada 1918, William James Perry menerbitkan buku The Megalithic Culture of Indonesia. Buku yang berisi 23 bab itu membahas tradisi megalitik di Sumba, Nias, dan Toraja.
Di wilayah Provinsi Lampung, yang jarak tempuhnya kurang dari satu jam via Bandara SoekarnoHatta, ada beberapa situs megalitik yang sebarannya hampir merata di seluruh wilayah kabupaten. Situssitus yang sudah cukup dikenal masyarakat Lampung adalah Batu Brak (Lampung Barat), Pugung Raharjo (Lampung Timur), Palas Pasemah (Lampung Selatan), Batu Bedil (Tanggamus), dan beberapa situs lain yang lebih kecil.
Situs megalitik Batu Brak juga acap disebut situs Kebon Tebu oleh penduduk setempat. Situs ini berada di Pekon Purawiwitan, Kecamatan Kebon Tebu, Kabupaten Lampung Barat. "Brak" dalam bahasa Lampung artinya "besar" atau luas. Situs ini kerap dikunjungi wisatawan lokal, peminat sejarahbudaya, dan kalangan pelajarmahasiswa.
Untuk mengunjungi situs ini, jika berangkat dari Bandar Lampung, Anda perlu menempuh jarak sejauh 120 kilometer. Waktu tempuhnya bisa mencapai 7 jam perjalanan darat, melewati Kota Bandar Jaya (Lampung Tengah) dan Bukit Kemuning (Lampung Utara). Jadi, jika hendak melancong ke situs ini, entah dengan kendaraan pribadi atau transportasi umum (bus dan travel), ada baiknya berangkat pagi atau siang hari dari Bandar Lampung agar tidak kemalaman saat tiba di Sumber Jaya.
Satu penanda bahwa kita telah tiba di Sumber Jaya adalah Tugu Soekarno berukuran raksasa tepat di simpang tiga setelah Bukit Kemuning. Dari simpang itu, ada jalan ke kiri dan menanjak. Itulah arah ke situs Batu Brak. Waktu tempuh dari simpang Tugu Soekarno menuju lokasi situs hanya sekitar setengah jam. Jalan aspal sudah lumayan bagus. Sebelum sampai di situs, pengunjung juga bisa mampir ke sebuah tempat bernilai sejarah dan ada kaitannya dengan Sukarno.
Mengapa dinamai Tugu Soekarno?
Selepas kemerdekaan Indonesia, atas permintaan Bung Karno, ribuan pejuang Siliwangi hijrah dari Jawa Barat ke Lampung. "Revolusi politik (kemerdekaan) telah selesai, kini saatnya membangun Indonesia," kirakira demikianlah amanat Bung Karno. Ribuan mantan pejuang itu pun menyeberang ke Sumatera. Salah satu daerah tujuan mereka adalah Sumber Jaya. Tak sedikit dari mereka yang hijrah sampai ke Sumatera Selatan dan Bengkulu. Mereka merintis pembangunan di tempat baru. Membuka hutan, bertani, dan berladang.
Pada 1950an, Presiden Sukarno mengunjungi beberapa kota di Lampung dan Sumatera Selatan. Sang Presiden menyempatkan berkunjung ke Sumber Jaya untuk menjenguk para transmigran mantan pejuang Siliwangi. Saat berkumpul bersama warga, Bung Karno berdiri di depan rumah, kemudian melempar sesuatu. Warga menduga benda yang ia lemparkan itu adalah sebuah batu kecil. Disaksikan warga, Bung Karno meminta agar suatu saat dibangun tugu di tempat benda itu jatuh. Kini rumah tempat Sukarno melempar benda itu telah menjadi kantor Koramil Sumber Jaya.
Masih ada sedikit saksi sejarah yang mengetahui dan bisa dikonfirmasi mengenai masamasa pembangunan pascaproklamasi kemerdekaan itu. Dari veteran pejuang Siliwangi itu, kita bisa mendapat kisah tentang masa perjuangan sekaligus petuah untuk mengisi kemerdekaan.
Topografi Sumber Jaya adalah daerah perbukitan. Mayoritas dihuni warga beretnis Sunda, Semendo, dan asli Lampung. Penghasilan mereka umumnya dari bertani dan berkebun, terutama kopi. Bagi pengunjung yang hendak bermalam di sekitar situs Batu Brak, ada beberapa penginapan (homestay) di Sumber Jaya. Jika beruntung, mungkin kita bisa mendengar mitos sekaligus kisah mistis tentang situs dari warga sekitar. Namun, jika Anda memilih menginap di hotel, Anda dapat bermalam di Liwa, ibu kota Lampung Barat, yang memakan waktu sekitar satu jam perjalanan dari Sumber Jaya.
Situs Batu Brak menghampar di lahan seluas lebihkurang 3 hektare. Deretan batu besar tersusun memanjang. Jika diamati, deretan batu itu menghadap Bukit Abung dan Bukit Rigis yang terletak tidak jauh dari lokasi situs. Dalam kompleks situs, ada pohon beringin raksasa yang usianya diperkirakan sudah ratusan tahun.
Situs warisan prasejarah ini ditemukan pada 1951 oleh para transmigran. Saat itu lokasinya berupa semak belukar. Penelitian Universitas Indonesia pada 1981, yang dipimpin arkeolog Aris Soekandar, menyatakan situs tersebut merupakan peninggalan era Dinasti Tsung, kerajaan di Cina yang berkuasa sekitar 2500 Sebelum Masehi.
Simpulan itu dibuktikan dengan temuan manikmanik batu dan kaca, pecahan keramik, serta lesung batu di sekitar situs. Situs ini, selain dipakai sebagai permukiman, merupakan tempat pemujaan pada zaman animisme dan permakaman.
Dalam buku Hasil Survei Kepurbakalaan di Daerah Lampung terbitan Dep. P & K pada 1975, tim peneliti dari Jakarta sempat mengunjungi sejumlah lokasi situs megalitik dan purbakala di Lampung Barat. Sayangnya, mereka "melewatkan" situs Batu Brak. Sejak 1989, situs ini dibuka untuk umum dan penelitian serta telah beberapa kali dipugar. Kini pengelolaan situs Batu Brak ada di bawah kendali Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten.
Situs Batu Brak mirip lazimnya bentuk peninggalan megalitik di Indonesia yang berupa menhir (batu tegak), dolmen (batu datar yang ditopang batubatu kecil, serupa meja), teras berundak, arca, sarkofagus, batu berlubang, dan lainnya. Di Batu Brak ada sekitar 50 menhir, 27 dolmen, dan 3 batu datar. Ada taman kecil di sekitar situs, juga museum sederhana di dekat gerbang situs.
Tidak hanya sebagai situs bersejarah, kompleks peninggalan masa megalitik ini juga bisa berfungsi sebagai sumber kreativitas berlatar alam. Dari aspek seni budaya, pernah diadakan kegiatan kebudayaan skala internasional di Batu Brak. Hal ini dilakukan (almarhum) Suprapto Suryodarmo (Mbah Prapto), maestro meditasi dan eksplorasi gerak tubuh Joget Amerta atau Amerta movement, yang muridnya tersebar di mancanegara.
Ketika pertama kali mengunjungi situs Batu Brak pada awal Juli 2019, mungkin Mbah Prapto menemukan energi berbeda. Jadi, ia langsung menginisiasi kegiatan bertajuk "Celebrating Megalithic Art @sistersites". Acara ini melibatkan peserta dari Spanyol dan Hungaria. Pelajar, seniman, dan masyarakat sekitar Lampung Barat pun antusias mengikuti kegiatan ini.
Menariknya, pada saat yang sama, kegiatan oleh gerak tubuh di situs megalitik ini dilakukan serentak di beberapa negara, misalnya di situs megalitik Avebury (Inggris) dan Lindeskov (Denmark), juga beberapa situs di Indonesia, seperti Watu Kandang Matesi (Jawa) dan Batu Pake Gojeng (Sulawesi).
Selain situs Batu Brak, masih ada beberapa situs di Lampung Barat yang luasnya lebih kecil, seperti situs Kenali, situs Jepara di dekat Danau Ranau, situs Sukarame, dan situs Harakuning. Selain itu, di sejumlah situs web Belanda (KITLV atau Tropenmuseum), ada sejumlah foto tempo doeloe yang memuat situssitus di sekitar Lampung Barat. Dalam foto itu, ada pose beberapa orang Belanda dan penduduk sekitar di situs batu besar.
Bila sudah bertandang ke situs Batu Brak, sayang jika tidak menyambangi beberapa tempat lain, misalnya Liwa (ibu kota Lampung Barat). Jarak tempuhnya kurang dari satu jam. Konon, dari Lampung Barat inilah muasal orang Lampung, dari takit (pinggang) Pesagi, gunung tertinggi di Lampung.
Di Liwa, kita bisa menikmati kopi Liwa atau kopi luwak, suasana kota yang dinginsejuk, pemandangan hamparan ladang kopi dan kebun sayur, deretan rumah panggung, dan jalanan yang meliuk turunnaik perbukitan. Pada era kolonial, Lampung memang terkenal sebagai penghasil lada dan kopi.
Batubatu megalitik di Batu Brak merupakan bukti jejakjejak peradaban masa lampau di Lampung. Meski demikian, tampaknya masih perlu penelitian lebih mendalam dan berkelanjutan tentang situs Batu Brak, juga kaitannya dengan situs dan sebaran megalitik di beberapa tempat lain di Lampung Barat. Tidak tertutup kemungkinan masih ada batubatu megalitik lain di sekitar situs Batu Brak, yang mungkin karena faktor bencana alam ratusan tahun silam jadi tertimbun tanah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo