Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Magelang - Deretan mobil volkswagen terlihat berbaris menyusuri jalan menuju Candi Borobudur. Para wisatawan yang menaikinya terlihat begitu gembira sambil sesekali mengambil gambar dan berswafoto di tepian jalannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa saat kemudian, mereka menghentikan kendaraannya di depan sentra gerabah Arum Art di Dusun Banjaran 1, Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Sentra itu milik Supoyo (52).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wisatawan yang mengunjungi Arum Art disambut hangat oleh Supoyo, istri dan anak-anaknya. Mereka pun diajak untuk belajar membuat gerabah.
Arum Art besutan Supoyo awalnya adalah usaha pengrajin grabah turun temurun yang diwariskan oleh keluarganya. Bahkan, menurut Supoyo, di Dusun Karanganyar tempat dia tinggal diperkirakan sudah menjadi sentra pengrajin gerabah sejak 300 tahun lalu.
Hal itu terbukti dari ditemukannya relief di Candi Borobudur yang menggambarkan orang-orang yang tengah membuat gerabah. "Sudah lebih dari 50 tahun, ayah saya dulu memproduksi gerabah untuk dijual, kemudian saya lanjutkan, 2004, dikembangkan menjadi wisata edukasi," kata pemilik Arum Art, Supoyo kepada Tempo, Selasa, 27 Juni 2023.
Ide Supoyo untuk mengembangkan Arum Art menjadi wisata edukasi berangkat dari banyaknya pengunjung yang ingin mencoba untuk membuat gerabah secara langsung saat berkunjung ke rumahnya. Kala itu, ada wisatawan asing yang meminta diajari membuat gerabah dari tanah liat.
"Tetapi karena kami belum memiliki persiapan untuk kegiatan wisata maka pembuatan gerabah ke para turis yang datang hanya dilakukan seadanya, padahal para turis asing itu terlihat sangat antusias," kata Supoyo.
Hingga lambat laun, dengan dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya Supoyo mengemas produksi gerabah menjadi wisata edukasi. "Harga Tiket Masuk-nya Rp 30.000, pengunjung bisa melihat dan membuat langsung gerabahnya di sini, nanti hasilnya juga bisa di bawa pulang," kata Supoyo.
Pengunjung yang datang akan diajarkan beberapa bentuk sederhana, seperti asbak atau pot kecil. Pembuatannya tidak memerlukan waktu yang lama.
"Karena butuh pengeringan, kalau wisatawan berkunjung hanya sehari, hasilnya bisa dipaketkan ke rumah tempat tinggal asalnya," kata Supoyo.
Sebelum pandemi Covid-19, menurut Supoyo, lebih banyak turis asing yang datang ke Dusun Klipoh untuk belajar membuat gerabah. "Tetapi saat ini imbang ya, lokal, mancanegara ada semua, terutama saat akhir pekan dan long holiday seperti saat ini, jumlah pengunjung naik hampir dua kali lipat," ujarnya.
Bahkan, saat ramai, dalam sehari, Supoyo bisa melayani lebih dari 500 pengunjung dalam satu hari dibantu istri dan anak-anaknya.
Masih memproduksi untuk dijual
Selain membuka wisata edukasi, Supoyo masih memproduksi gerabah untuk dijual dan dijadikan buah tangan pengunjung. "Ada 200 jenis karya gerabah, mulai dari asbak, vas bunga hingga hiasan-hiasan yang kami produksi di Arum Art untuk dijual," kata dia.
Supoyo mengatakan harga gerabah yang dijual cukup variatif, mulai dari Rp 20.000 hingga puluhan juta, tergantung ukuran dan tingkat kerumitannya. "Langganannya kalau dalam negeri Bali, Surabaya, Kalimantan juga banyak, seluruh Indonesia ada, untuk pembeli luar negeri ada dari Prancis dan Amerika," kata dia
Dalam proses produksi gerabah di Arum Art, Supoyo masih menggunakan cara tradisional dan mengandalkan cuaca. "Bahan baku juga diambil dari sekitar Borobudur, jadi kendalanya hanya saat hujan, pengeringan tidak bisa dilakukan dengan cepat," kata dia.