Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penonton memang terhenyak saat Intan melantunkan bait demi bait syair lama itu: ''Rangkaian melati yang kusimpan di dalam hati, mengikat jiwaku, jiwamu, tak kan berpisah lagi ." Suara kanak-kanaknya yang bening berpadu dengan suara Sundari Soekotjo yang matang, jernih, dalam cengkok keroncong nan sempurna. Malam itu, Putri mendampingi Sundari Soekotjo, yang dijuluki Ratu Keroncong, tampil dalam konser tunggal untuk memperingati 25 tahun perjalanannya dalam musik keroncong.
Sejumlah repertoar ia bawakan secara memikat, diiringi Orkes Keroncong Intan Sempana. Ada Jembatan Merah, Keroncong Kemayoran, Yen ing Tawang Ono Lintang, Sangkuriang, Telomoyo, Keroncong Moritsko, Dewi Murni, sampai Warung Pojok. Dan penonton memberikan aplaus panjang, berkali-kali. Berbeda dengan pertunjukan musik pop, nuansa di panggung keroncong lebih lembut dan syahdu. Tak ada penonton yang meloncat ke panggung dan berjoget seenaknya atau berjingkrakan di kursi seperti dalam pentas musik reggae, misalnya.
Sundari mengawali konser dalam dandanan yang anggun: kebaya bordir rancangan Ramli dipadu kain batik sutra, sanggul dihiasi rangkaian melati. Ia menangkupkan kedua tangan di dada untuk menghormati penonton, sebelum melantunkan beberapa nomor pembuka seperti Keroncong Bandar Jakarta dan Langgam Terkenang-kenang. Yang dilakukan Sundari sesungguhnya lebih dari ''sekadar" konser. Ia mengenalkan musik yang telah ditinggalkan anak-anak muda itu ke sebuah generasi baru, melalui Putri Intan Permatasari, yang ternyata adalah anak semata wayangnya.
Banyak penonton mengaku terkesan oleh pentas yang ''langka" itubagaimanapun, keroncong kini menjadi musik langka di tengah deru industri musik-musik pop. Ketua MPR Amien Rais, penggemar berat Sundari Soekotjo, mengomentari, pertunjukan malam itu menunjukkan Sundari masih tetap berada di puncak tangga keroncong Indonesia. Penonton lain, Lia (28), juga mengaku puas, kendati harus menebus tiket pertunjukan seharga Rp 300 ribu. ''Apalagi, kini pertunjukan keroncong makin jarang," ujar Lia, yang mengenal musik ini melalui koleksi keroncong ayahnya.
Kelangkaan pentas keroncong membuat kita kian sulit menemukan anak-anak muda yang mengenal musik ini. ''Keroncong? Coba deh, tanya mama atau eyang," ujar Tania, 19 tahun, mahasiswi asal Jakarta, tatkala ditemui TEMPO di sebuah toko kaset di kawasan Jakarta Selatan. Ia mengaku hanya mendengarkan lagu-lagu ''semacam itu" ketika televisi memutarnya pada hari-hari besar nasional selepas upacara bendera.
Di tengah situasi ini, apa yang dilakukan Sundari menjadi layak dipujikan. Ia berani bertahan di jalur yang tidak populer selama sekitar seperempat abad. Padahal, godaan untuk pindah ke jenis musik lain yang lebih menjanjikan bukannya tak ada. Jadi, apa yang membuatnya terpikat pada keroncong? ''Orang lain barangkali akan berpikir, ah , cuma keroncong. Tapi musik ini memberikan perasaan bahagia ketika saya bisa menghibur orang," ujarnya kepada TEMPO. Ia juga mengakui, jenis musik ini memang sulit mendapat penonton, apalagi penyanyi baru. ''Maka, kita sulit sekali menembus televisi," ujarnya setengah mengeluh.
Sundari mulai belajar keroncong secara serius sejak kanak-kanak pada ayahnya, R. Soekotjo, seorang anggota Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), yang amat mahir memainkan gitar dan celo. Latihan serius sejak masa kecil ternyata mendatangkan sejumlah prestasi bagi Meniksebutan akrabnya (lihat: Perjalanan Keroncong Sundari Soekotjo). Bahkan, kini hanya dia yang dijuluki Ratu Keroncong.
Toh, sang ''Ratu" mengakui betapa sulitnya memopulerkan musik ini di Tanah Air. ''Orang luar justru lebih menghargai musik keroncong. Di Malaysia, sultan-sultan pun tahu lagu-lagu keroncong perjuangan Indonesia," tuturnya. Berkat keroncong pula, penyanyi istanaselama 22 tahunini telah mengunjungi berbagai negara. Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, Brunei, Inggris, Prancis, dan Belanda pernah ia kunjungi guna melantunkan keroncong, musik yang hingga kini asal-usulnya masih terus diperdebatkan para musikolog.
Beberapa catatan sejarah menuliskan, keroncong masuk ke Indonesia melalui para pendatang Portugis di abad ke-17, bersamaan dengan jatuhnya Malaka dari Portugis ke tangan Belanda. Sejumlah tawanan asal Portugis ini, oleh Belanda, kemudian dimukimkan di Batavia. Tepatnya di kawasan rawa-rawa seputar Cilincing, yang kemudian disebut Kampoeng Toegoe. Di kala senggang, mereka memainkan musik-musik riang dengan alat musik petik gitar kecil berdawai lima.
Dari sinilah, konon, musik keroncong lahir, berkembang, dan menemukan tempat. Semula, Keroncong Tugu hanya dimainkan oleh 3-4 orang dengan gitar Frorenga empat dawai, gitar Monica tiga dawai, dan gitar Jitera lima dawai. Dalam perkembangannya, baik alat musik maupun jumlah pemainnya terus bertambah. Dua abad kemudian, musik itu mendapat tempat yang cukup terhormat di kalangan penduduk Batavia. Keroncong dimainkan di pesta-pesta kalangan menengah, mengiringi keriaan para sinyo dan noni.
Pada 1920, terbentuk Grup Musik Kerontjong Poesaka Moresko Toegoe, yang amat populer ketika itu. Namun, di masa pendudukan Jepang, musik keroncong meredup. Bahkan sempat ada jeda panjang hingga era 1970-an, tatkala tokoh keroncong, Yakobus Quiko, memprakarsai kelahiran Grup Poesaka Moresko Toegoe. Kurangnya minat kaum muda membuat grup musik ini perlahan-lahan mati terkubur.
Menjelang akhir 1980-an, musisi Arend J. Michiels kembali mendirikan Grup Kerontjong Toegoe, yang dimainkan anak-anak muda. Sejak saat itu, proses regenerasi dalam grup keroncong ini selalu dipertahankan sampai sekarang. Tak mengherankan, pekerja seni Remy Sylado pernah mengatakan, ''Kendatipun lahir dari bekas budak Portugis, keroncong tidak berasal dari Portugis sebagaimana banyak diduga orang."
Alhasil, siapa sangka keroncong yang lemah gemulai itu ternyata mengalami perjalanan ''keras" dalam perkembangan musiknya. Bukan saja identitas yang menjadi problem, tapi juga kelangsungan hidupnya. Itu seperti diucapkan bintang keroncong Waljinah: ''Setelah generasi saya, hanya Sundari Soekotjo yang serius dengan keroncong." Perjalanan tiga abad menunjukkan bahwa musik keroncong adalah jejak budaya yang tak pernah mati. Tapi, keroncong juga terus dipertanyakan kelanjutan hidupnya, seperti dicetuskan Diva, 34 tahun, seorang pekerja kreatif iklan, di pengujung malam konser itu: ''Setelah Sundari, siapa lagi yang akan menyanyikan musik ini?"
Hermien Y. Kleden, Dwi Wiyana.
Perjalanan Keroncong Sundari Soekotjo |
1976 1979 1981 1993 2000 |
Album: 20 album dalam 25 tahun. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo