Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai akhir pekan lalu, dari 81 calon hakim agung, Komisi II DPR telah memerasnya hingga tinggal 46 calon. Sebanyak 46 calon itu akan diseleksi lagi melalui mekanisme fit and proper test. Hasilnya kelak berupa urutan peringkat, yang akan digunakan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid untuk memilih 20 orang hakim agung baru.
Selama ini, jumlah hakim agung di MA ada 51 orang. Tapi 11 orang telah pensiun, sehingga tinggal 40 orang. Untuk memangkas tumpukan perkara di MA yang sampai Mei 2000 mencapai angka 11.528, pemerintah dan DPR sepakat meningkatkan jumlah hakim agung dari 51 menjadi 60 orang.
Karena itu, diperlukan 11 hakim agung baru untuk mengganti yang pensiun plus sembilan hakim agung baru. Dengan catatan, itu belum termasuk dua kursi kosong yang ditinggalkan Ketua MA Sarwata pada 1 Agustus 2000 dan seorang hakim agung karena pensiun.
Sementara itu, pada proses seleksi awal berupa kelengkapan administrasi yang telah menghasilkan 46 calon tadi, sebagian besar calon yang diajukan MA tampaknya berguguran. Para calon dari jalur hakim karir itu terkena ketentuan formal pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang MA, yang mengharuskan adanya pengalaman selama lima tahun menjadi ketua pengadilan banding atau 10 tahun sebagai hakim banding.
Menurut Sekretaris Jenderal MA, Pranowo, penerapan ketentuan terhadap calon dari lingkungan peradilan itu terlalu kaku. "Kalau ketentuan itu tetap diterapkan secara kaku, bisa-bisa di masa depan tak ada lagi stok hakim karir untuk mengisi kekosongan hakim agung," katanya. Pada proses awal itu, Pranowo termasuk calon yang gugur, sementara wakilnya, Sorta Edwin Simanjuntak, justru lolos.
Sebaliknya, banyak calon dari jalur nonkarir hakim lulus pada proses tersebut. Boleh jadi, itu lantaran persyaratannya tak berat, yakni hanya pengalaman hukum selama 15 tahun. Calon di jalur ini yang lulus di antaranya Benjamin Mangkoedilaga, pensiunan hakim pengadilan tata usaha negara yang dijagokan Presiden Abdurrahman untuk menjadi Ketua MA.
Juga ada Muladi, mantan Menteri Kehakiman dan Sekretaris Negara yang diunggulkan Golkar. Lantas Bagir Manan, guru besar hukum tata negara di Universitas Padjadjaran Bandung yang juga mantan Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan.
Tapi bukan berarti mereka akan mulus melampaui proses berikutnya yang lebih ketat. Benjamin, misalnya, setidaknya punya ganjalan akibat pernah memutuskan kasus tanah Cimacan di Cianjur, Jawa Barat, yang mengalahkan petani. Muladi juga dibidik dengan masalah pengangkatan hakim Eko Wardoyo sebagai Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, padahal Eko terkena kasus suap. Muladi pun terkena masalah Undang-Undang Antikrupsi Tahun 1999 yang tak memuat ketentuan peralihan, sehingga dianggap bisa membebaskan para tersangka korupsi semasa Orde Baru.
Proses seleksi selanjutnya berupa fit and proper test memang sangat berat. Sebab, seleksi itu akan mengutamakan faktor integritas moral ketimbang visi dan ilmu hukum sang calon. Dalam soal ini, mutu beberapa calon, umpamanya Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta I Gde Sudharta, agaknya akan disorot tajam. Sudharta, yang sering dikeluhkan oleh banyak pencari keadilan, dikenal sangat kaya. Tapi di DPR Sudharta menyatakan bahwa kekayaannya berasal dari warisan.
Demikian diutamakannya aspek moral, sampai-sampai seorang calon, O.H. Simarmata, kewalahan menghadapi pertanyaan bertubi-tubi tentang suap dari anggota DPR. "Ya, kalau tidak pernah menerima suap, katakan saja tidak. Kalau pernah menerima, katakan juga sejujurnya," ujar anggota DPR, Julius Usman. Bila sang calon terbukti berbohong, ia kelak harus mundur meski telah dipilih sebagai hakim agung.
Proses seleksi itu mungkin bisa mengakibatkan tak banyak calon lolos dari DPR. Kalau tak sampai 20 orang yang lulus, itu tentu menyulitkan proses perbaikan di MA. Dan kalaupun Benjamin, Muladi, atau Bagir Manan digolkan sebagai hakim agung, belum tentu jalan mereka menjadi Ketua MA dijamin mulus. Sebab, mereka mesti bersaing dengan orang dalam MA, yakni Soeharto, Toton Suprapto, Paulus Effendi Lotulung, serta Marianna Sutadi, yang dijagokan Sarwata.
Happy S., Tiarma Siboro, dan Ardy Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo