Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deputi Baru BI
Bank Indonesia (BI) segera menyiapkan acara serah terima jabatan. Jumat lalu, anggota Komisi IX DPR memilih Burhanuddin Abdullah menjadi Deputi Gubernur BI yang baru. Burhanudin menyisihkan pesaingnya, Maulana Ibrahim Sumadiparaja, yang kini menjabat Direktur Pengawasan Perbankan II di BI. Dari 39 anggota dewan, 22 suara memilih Burhanudin.
Burhanudin lulus setelah melewati uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) selama lebih dari tujuh jam. Burhanudin, yang sebelumnya menduduki jabatan Direktur Hubungan Luar Negeri BI, kini menggantikan posisi Subardjo Joyosumarto, yang mengundurkan diri akhir Juni lalu.
Usai pemilihan, Burhanudin berjanji akan meningkatkan kompetensi dan sistem informasi di bidang perbankan. Sedangkan dari segi eksternal, ia akan meningkatkan pengawasan terhadap perbankan nasional. "Ini harus selesai dalam dua tahun, sebelum bank-bank bisa dilepas dalam keadaan sehat dan tahan krisis," kata pria yang pernah menjadi kepala perwakilan BI di kantor IMF di Washington itu. Buktinya, kita tunggu saja.
Gas Indonesia Menembus India dan Cina
Gas alam cair (LNG) Indonesia laris manis. Kamis lalu, Indian Oil Corporation meneken nota kesepahaman dengan Pertamina. Perusahaan minyak dari India ini membeli 1,8 juta ton LNG yang akan disuplai dari ladang gas di Badak, Kalimantan Timur. Kerja sama Indonesia-India ini merupakan wujud peningkatan kerja sama Selatan-Selatan.
India tak cuma membeli gas. "Mereka akan melakukan investasi di beberapa proyek di Indonesia," kata Baihaki Hakim, Direktur Utama Pertamina. Perjanjian kerja sama di bidang migas itu antara lain meliputi bidang eksplorasi dan produksi, perdagangan minyak, gas dan LNG, kegiatan pembangunan kilang, teknologi informasi, pemasaran, perbaikan fasilitas ladang gas, serta berbagai aspek jasa konsultasi pertambangan lainnya.
Dengan potensi gas alam yang diketahui sekitar 160,8 triliun kaki kubik, Indonesia menjadi eksportir LNG terbesar di dunia. Pada 1998, total ekspor LNG Indonesia mencapai 26,35 juta ton. Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan merupakan negara tujuan ekspor terbesar. Selama ini permintaan itu dipasok dari ladang gas di Natuna dan Badak.
Dalam waktu dekat, Menteri Pertambangan dan Energi, Susilo Bambang Yudoyono, akan menjajaki pasar Cina. Rencananya, kebutuhan gas untuk Cina akan dilayani dari ladang gas Tangguh di Papua, yang akan segera berproduksi tahun ini.
Siapa Menjual Bentoel?
Bentoel tiba-tiba jadi menarik untuk dibicarakan. Pekan lalu Dow Jones memberitakan rencana pembelian 30-40 persen saham pabrik rokok dari Malang, Jawa Timur, ini senilai sekitar Rp 300 miliar. Rumor yang sempat beredar menyebutkan, PT Gudang Garam dan PT H.M. Sampoerna disebut sebagai pembeli potensial.
Kabar tersebut segera dibantah Sampoerna. Pasalnya, Sampoerna dan Bentoel sama-sama bermain di pasar rokok rendah tar dan nikotin. Goe Siauw Hong, analis pasar modal dari Nomura Sekuritas, menyatakan akan lebih murah bagi Sampoerna mengembangkan produk A Mild yang mereka miliki, ketimbang memborong saham Bentoel.
Hong juga ragu apakah Gudang Garam akan membeli saham Bentoel. Jika Gudang Garam ingin terjun ke pasar rokok mild, mendingan meluncurkan produk baru. "Toh Gudang Garam punya dana yang cukup," kata Hong. Seperti biasa, Gudang Garam tak berkomentar.
Menurut analis, saham Bentoel memang tak lagi menarik untuk diborong. Tahun ini Bentoel sudah kepayahan dengan pangsa hanya satu persen dari total pasar rokok di Indonesiaturun setengah persen dari tahun sebelumnya.
Lalu siapa yang menjual? Sorotan langsung tertuju ke PT Bhakti Investama, pemilik 37 persen saham Bentoel. Perusahaan investasi yang bergandengan dengan Soros Fund ini diduga akan melepas sahamnya di Bentoel. Namun, Direktur Utama Bhakti Investama, Hary Tanoesudibyo, menepisnya. Hary berhitung, total nilai saham Bentoel saat ini Rp 1 triliun, dengan utang perusahaan tak sampai sepertiganya. Adapun prospek penjualan tahun ini diperkirakan mencapai Rp 2 triliun."Siapa yang mau menjual saham (Bentoel) jika keadaannya sebaik itu," ujar Hary.
Kalaupun saham Bentoel ramai diperdagangkan, Hary yakin yang melepas sahamnya adalah pemilik saham gurem di Bentoel. Sebab, selain milik Bhakti Investama, masih ada 63 persen saham lainnya di kantong anggota masyarakat atau kelompok bisnis lain. "Masuknya investor baru bisa saja lewat yang 63 persen itu," kata Hary.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo