Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sidang Tahunan Mengganjal Presiden

Bisakah sidang tahunan MPR memberhentikan presiden? Kalau tidak bisa, apa bedanya dengan sistem Orde Baru?

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI belum setahun memerintah, tampaknya, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid didera berbagai masalah berat. Presiden tidak hanya harus menghadapi interpelasi DPR, dan mungkin angket DPR dalam kasus dana yayasan Bulog dan Sultan Brunei, tapi juga berbagai kerusuhan dan kondisi ekonomi yang tak membaik. Belum lagi kasus mantan presiden Soeharto dan kasus Bank Bali serta kejahatan hak asasi manusia di Timor Timur, Aceh, dan Tanjungpriok. Banyak, memang, catatan serius bagi Presiden Abdurrahman. Tak aneh bila serentet catatan itu membuat sebagian kalangan merasa tidak puas dengan kinerja pemerintahan Gus Dur. Bahkan, sidang tahunan MPR pada Agustus 2000 disebut-sebut akan memberikan nilai merah pada rapor Presiden. Dengan kalimat lain, ada kemungkinan pemberhentian Presiden sebelum masa akhir jabatannya pada tahun 2004. Namun, apa dasar hukum untuk memberhentikan presiden? Merujuk pada UUD 1945, jelas sulit. Sebab, konstitusi itu amat singkat, kuno, dan menyakralkan kedudukan presiden. Pasal 8 UUD 1945 hanya menyebutkan tiga dasar pergantian presiden di tengah jalan—lantas digantikan oleh wakil presiden—yakni bila presiden mangkat, berhenti, dan tak dapat melakukan kewajiban. Kalau demikian, mungkin Ketetapan (Tap) MPR Nomor I Tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) bisa digunakan. Sebagaimana semangat reformasi ketika aturan tentang sidang tahunan itu dibuat, rambu-rambu itu dimaksudkan agar MPR bisa mengevaluasi presiden setiap tahun. Jadi, kinerja presiden bisa dinilai setelah setahun, dua tahun, tiga tahun, dan empat tahun. Ketentuan baru itu pun sekaligus memperbaiki sistem tata negara selama Orde Baru. Sebab, selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto, mutu presiden hanya dinilai pada akhir masa tugasnya. Tentu saja penilaian terhadap pidato pertanggungjawaban presiden itu tak punya makna dan akibat hukum, kecuali sanksi moral. Akibatnya, sepanjang masa tugas lima tahun, biarpun presiden otoriter atau tak mampu, tetaplah ia tak bisa dikoreksi. Ternyata, tak sedikit tokoh politik dan pakar hukum yang menganggap ketetapan MPR tentang sidang tahunan tak bisa dijadikan landasan hukum untuk memberhentikan presiden. "Sidang tahunan sama sekali tak dimaksudkan untuk memberhentikan presiden. Juga tak akan diubah menjadi sidang istimewa yang bisa memberhentikan presiden," kata Slamet Effendy Yusuf, anggota MPR. Menurut Slamet, sidang tahunan yang merupakan sidang rutin MPR hanya untuk mendengarkan laporan pelaksanaan GBHN oleh presiden selama setahun. Melalui sidang tahunan, "MPR berniat mengkritik Presiden agar bisa memperbaiki diri sehingga bisa menyelesaikan tugasnya sampai tahun 2004. Kalau Presiden tak jua memperbaiki diri, ya, apa boleh buat," ujar Slamet. Itu sebabnya beberapa politisi dan ahli hukum tata negara, di antaranya Sri Sumantri, berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk memberhentikan presiden, ya, melalui sidang istimewa. Berdasarkan Tap MPR Nomor III Tahun 1978, DPR bisa mengusulkan sidang istimewa kepada MPR bila presiden dianggap melanggar haluan negara. Tapi prosesnya tak gampang. Sebab, DPR harus lebih dulu menyampaikan memorandum (peringatan) kepada presiden sebanyak dua kali selama empat bulan. Pada prakteknya, mungkin usul sidang istimewa bisa dikembangkan DPR dari proses interpelasi dan angket bila terjadi, juga evaluasi pada sidang tahunan. Apakah sidang istimewa itu akan memberikan nilai merah pada presiden, ini tentu bergantung pada kekuatan politik yang dominan di MPR. Sebenarnya, menurut Sri Sumantri, Pasal 4 Tap MPR Nomor II Tahun 1999 tentang Tata Tertib MPR juga mencantumkan klausul yang memungkinkan MPR memberhentikan presiden sebelum masa akhir tugasnya. Namun, "Prosedurnya tetap harus melalui sidang istimewa yang didahului dengan memorandum dari DPR," ujar Sri Sumantri. Terlepas dari diskursus itu, tak bisa dimungkiri bahwa rumusan ketetapan MPR tentang sidang tahunan agak sederhana. Tap itu tak menjelaskan lebih lanjut bagaimana sikap MPR terhadap laporan presiden. Demikian pula akibat hukumnya terhadap presiden. Karena itu, Rambe Kamarulzaman, juga anggota MPR, menyatakan bahwa MPR akan menyempurnakan ketetapan tersebut. Dengan begitu, hasil evaluasi MPR terhadap laporan presiden bisa dilanjutkan dengan sidang istimewa setelah sidang tahunan. Toh, Slamet Effendy Yusuf mengaku tak setuju dengan rencana itu. Menurut Slamet, yang lebih penting dimasukkan dalam amendemen UUD 1945 adalah masalah impeachment presiden bila presiden divonis karena melakukan tindak pidana, pengkhianatan, atau perbuatan tercela lainnya. Happy Sulistyadi, Hendriko L. Wiremmer, L.N. Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus