Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBAKARAN gedung pengadilan dan kejaksaan itu sudah tiga bulan berselang, tapi panas apinya seolah masih terasa di Larantuka, Flores Timur, sampai sekarang. Ketegangan menyelimuti bumi "Reinha Rosari" (daerah pujian Bunda Maria) ini gara-gara adanya operasi pemeriksaan kartu tanda penduduk oleh polisi pada siang dan malam hari. "Saya merasa berada di daerah darurat militer," ujar seorang ibu pekerja sosial dari Jakarta yang baru saja berkunjung ke sana.
Yang dicari polisi tak lain sekitar 60 tersangka tambahan kasus pembakaran gedung pengadilan dan kejaksaan negeri Larantuka. Sejauh ini, sebanyak 12 orang sudah dinyatakan sebagai tersangka utama. Sebelas di antaranya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Penfui, Kupang. Seorang lagi tersangka, Antonius Domi Labina, 60 tahun, menjadi tahanan kota.
Bukan cuma pemeriksaan kartu tanda penduduk yang meresahkan. Penangkapan para tersangka pun mengundang protes keras dari Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka, Romo Frans Amanue. Ia menilai penetapan mereka sebagai tersangka amat terburu-buru dan tidak wajar. Sejak awal, menurut pendeta kelahiran Pulau Adonara 60 tahun yang lalu itu, polisi yang menangani kasus kerusuhan ini menyalahi prosedur. "Mereka sewenang-wenang. Tak ada surat penangkapan, surat perintah penahanan. Dan proses penyidikan di kantor polisi tanpa didampingi pengacara," ujar Romo Frans.
Pembakaran gedung aparat penegak hukum yang terjadi pada pertengahan November tahun lalu itu merupakan buntut dari vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Larantuka terhadap Pastor Frans Amanue Pr. Didakwa mencemarkan nama baik Bupati Flores Timur, Felix Fernandez, ia dihukum dua bulan penjara dengan masa percobaan lima bulan.
Bupati Felix menyeret Pastor Frans ke pengadilan karena pernyataan yang dimuat di harian Kupang Pos edisi 10 April 2003. Dalam koran tersebut, Romo Frans mengkritik cara Bupati Felix minta bantuan dana Rp 199 miliar kepada pemerintah pusat untuk menangani korban bencana alam. "Minta bantuan sampai Rp 199 miliar secara tidak etis, memalukan," kata Romo Frans dalam Kupang Pos. Ia juga menuding sang Bupati mengeruk keuntungan dari permohonan dana tersebut. Soalnya, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur saja cuma meminta bantuan Rp 123 miliar untuk penanganan bencana alam.
Tentu saja Bupati Felix berang dan merasa harga dirinya dijatuhkan. "Itu fitnah yang luar biasa," katanya. Menurut Bupati, suara Romo Frans terhadap dirinya selalu miring. "Semua yang saya lakukan selalu dituduh sebagai kolusi, korupsi, dan nepotisme. Padahal semua orang tahu bahwa saya juga sudah berbuat banyak bagi rakyat Flores Timur," kata Felix.
Massa yang kebanyakan pengikut Pastor Frans tak mau menerima vonis hakim, lalu mengamuk membakari gedung aparat penegak hukum. Kejadian itulah yang kini berbuntut penangkapan para tersangka.
Pekan ini, menurut Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kupang, Sukwanto, satu berkas dengan dua tersangka, Yohanis Sabon dan Agustinus Diaz, mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Kupang, sementara dua berkas lainnya menyusul. Mereka dijerat dengan dakwaan melanggar Pasal 200 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu merusak gedung dan bangunan, dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. Selain itu, jaksa menjerat dengan Pasal 170 KUHP, pengeroyokan, dengan ancaman hukuman 5-6 tahun penjara.
Protes Romo ihwal penangkapan dan penahanan dibenarkan oleh Thobis Muda Odjan, salah seorang tersangka. Lelaki yang kini meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Penfui ini mengungkapkan bahwa perlakuan aparat terhadap dirinya juga tidak manusiawi. "Polisi dan Brimob di Flores Timur sangat tidak manusiawi. Kami diangkut paksa dengan todongan senjata, digiring satu per satu menuju kantor polisi seperti hewan, sedangkan anak dan istri menangis histeris," kata Thobis.
Bahkan satu orang yang sedang terbaring sakit tiba-tiba ditangkap polisi. Anton Domi Labina, saat kerusuhan meletus, sedang terbaring sakit di rumahnya. Namun, sehari setelah kerusuhan, tiba-tiba ia ditangkap polisi. Di kantor polisi, Anton dicecar dengan berbagai pertanyaan yang menjebak dan tak dipahaminya. Misalnya, Anton ditanyai apakah tahu peristiwa kerusuhan. Jawabannya tentu saja tahu karena rumahnya hanya berjarak sekitar 200 meter dari gedung pengadilan. Dari rumahnya, Anton mendengar keriuhan massa dan dari jendela melihat asap hitam membubung tinggi. "Saya sama sekali tak keluar rumah, apalagi ikut dalam aksi pembakaran," katanya.
Semula Anton dikenai pasal yang serupa dengan para tersangka lainnya. Namun, karena merasa salah tangkap, polisi mengubah tuduhan, yakni Anton menyediakan bensin untuk membakar gedung. "Saya memang menjual bensin, tapi tak menyediakan bensin untuk pembakaran gedung itu," katanya. Karena alasan sakit, penahanan Anton juga diubah menjadi tahanan kota.
Romo Frans menduga para tersangka yang diseret ke pengadilan adalah orang yang bermasalah dengan Bupati Felix Fernandez dalam pembebasan tanah. "Ada yang tidak beres karena yang ditangkap orang-orang dari kampung Lebao. Anton Domi Labina salah seorang tokoh masyarakat Lebao yang sangat keras menentang Bupati dalam kasus pembebasan tanah," ujar Romo Frans.
Dalam kasus tanah Lebao, Romo Frans curiga ada penggelembungan harga serta luas tanah yang dibebaskan. Pembelian tanah pada tahun 2001 itu untuk pembangunan rumah anggota parlemen Flores Timur dan pegawai negeri. Namun, setelah musibah banjir bandang di Larantuka, Bupati menunjuk daerah tersebut sebagai tempat baru korban banjir. Padahal proses pembebasan tanah belum beres.
Dalam laporannya, Bupati menyebutkan bahwa luas tanah yang dibebaskan 7,7 hektare dengan nilai Rp 1,936 miliar. Tapi, berdasarkan batas-batas, dan pernah diukur oleh para ketua suku di Lebao, luas tanah tersebut hanya 4,6 hektare. Kelebihannya, 3,1 hektare, tidak termasuk yang dibebaskan. Masyarakat Lebao merasa dicurangi bahwa tanah yang tak dibayar itu akan diserobot Bupati. Warga tersebut segera menduduki lahan itu.
Tapi Bupati Felix tetap mengklaim 7,7 hektare tanah Mbatu Ata di Lebao karena merasa telah membayar harga tanah itu kepada Aloysius Labina dan Yohanis Langkamau, orang yang mengaku diberi kuasa oleh penduduk pemilik tanah untuk menangani proses pelepasan tanah itu. Padahal pemilik tanah tak pernah merasa memberikan kuasa kepada siapa pun.
Menurut Romo Frans, enam pemrotes masalah tanah itu kini termasuk yang meringkuk di tahanan dengan tuduhan pembakaran gedung pengadilan dan kejaksaan Larantuka. Bupati lewat Badan Pertanahan Nasional Flores Timur juga membatalkan seluruh surat bukti kepemilikan tanah penduduk Lebao. "Saya menduga kuat, ada yang berkonspirasi dalam urusan ini," kata Romo Frans.
Tudingan ada konspirasi penangkapan warga Lebao dibantah Kepala Kepolisian Resor Flores Timur, Ajun Komisaris Besar Darto Djuhartono. Proses penangkapan, penahanan, sampai pelimpahan kepada kejaksaan, menurut Kapolres Darto, sudah sesuai dengan prosedur, fakta hukum, dan keterangan para saksi. "Boleh-boleh saja para tersangka membela diri dengan mengatakan tak terlibat pembakaran. Tapi polisi punya cukup bukti. Semuanya akan dibuktikan di persidangan nanti," katanya. Soal Antonius Domi Labina, menurut Darto, ada saksi yang melihat tokoh warga Lebao itu berada di tempat kejadian. "Kami tangkap semua tersangka sesuai dengan keterangan saksi. Tak ada penodongan dan salah tangkap," ujar Darto.
Bupati Felix juga menolak tuduhan bahwa dirinya mengintervensi kepolisian dalam penetapan para tersangka kasus pembakaran gedung pengadilan dan kejaksaan Larantuka. "Saya tak pernah menekan, apalagi mengintervensi pekerjaan polisi," katanya. Menurut Bupati, polisi bekerja secara profesional dan tak ada campur tangan. Ia menegaskan pula bawah ke-12 tersangka merupakan warga di daerah yang dipimpinnya. "Mereka juga warga saya yang harus mendapat perlindungan. Saya tak pernah membangun permusuhan dengan mereka," kata Felix.
Prinsipnya, menurut Felix, yang dilakukan jaksa, polisi, dan pengadilan dalam kaitan dengan kasus pembakaran gedung pengadilan dan kejaksaan Larantuka adalah otonomi penuh lembaga penegak hukum tersebut. "Proses dan putusannya harus dihargai," ujarnya. Ia juga menyatakan bahwa pembebasan tanah yang pernah terjadi sudah melalui mekanisme yang ada. Tanah tersebut, menurut sang Bupati, telah dibayar dan penyerahannya dilakukan di hadapan DPRD.
Soalnya, sejak semula, masyarakat setempat kurang percaya terhadap kemandirian aparat penegak hukum. Dan masalah ini belum teratasi sampai kini.
Ahmad Taufik, Jalil Hakim (Denpasar), Jem's de Fortuna (Larantuka)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo