Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Klaten - Sebelum naik daun seperti sekarang, enam tahun silam, Sungai Pusur hanyalah 'halaman belakang' dari Kecamatan Tulung dan Polanharjo. Tulung dan Polanharjo adalah dua kecamatan di Kabupaten Klaten yang sejak dulu terkenal sebagai gudangnya objek wisata pemandian dari mata air alami. Sebut saja Umbul Ponggok, Umbul Kemanten, Obyek Mata Air Cokro, semua ada di sekitar Sungai Pusur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tersembunyi di balik area persawahan dan permukiman penduduk, sungai berair jernih dan dingin yang berhulu di Kabupaten Boyolali dan berhilir di Bengawan Solo, itu seolah tak terjamah. "Meski tidak separah sungai-sungai di kota, Sungai Pusur juga pernah menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga," kata Ketua Komunitas River Tubing Pusur Adventure atau RTPA, Aris Wardoyo, 39 tahun, pada Rabu, 15 Mei 2019.
River Tubing Pusur Adventure adalah komunitas relawan yang bergerak di bidang pengurangan risiko bencana di kawasan Sungai Pusur. Kini, RTPA dikenal sebagai objek wisata alternatif di Dukuh Jragan, Desa Wangen, Polanharjo, Klaten, yang menawarkan pengalaman mengarungi jeram Sungai Pusur dengan menumpang 'perahu' mini dari ban dalam traktor.
Terbentuk dengan nama awal Komunitas Pusur, Aris dan rekan-rekannya mulai terpanggil membersihkan Sungai Pusur di 2013. Pada masa itu, wabah demam berdarah sempat menjangkiti sebagian warga Desa Wangen sisi timur, termasuk Dukuh Jragan.
Wisatawan River Tubing Pusur Adventure berfoto di air terjun kecil di tengah perjalanan menyusuri Sungai Pusur di Klaten, Jawa Tengah. TEMPO | Dinda Leo Listy
Lantaran gerakan mencegah wabah demam berdarah saat itu hanya menyasar permukiman penduduk, Aris mengajak sebagian pemuda Desa Wangen merambah Sungai Pusur. "Genangan-genangan air akibat tumpukan sampah yang menyangkut pada batu dan cabang-cabang pohon bambu menjadi sasaran utama dalam kegiatan gotong-royong rutin kami,” kata Aris.
Oleh PT Tirta Investama Klaten (pabrik Aqua di Desa Wangen yang berdiri sejak 2002), komunitas itu mendapat bantuan berupa dua set pelampung dan helm. "Dua set pelampung dan helm itu menjadi modal awal Komunitas Pusur pada 2013," ujar Aris.
Selama 2013 sampai 2015, komunitas yang kini beranggotakan 45 orang itu rutin membersihkan Sungai Pusur secara sukarela. Tak disangka, foto-foto dan video dokumentasi kegiatan gotong-royong di Sungai Pusur yang diunggah di media sosial memantik rasa penasaran warganet. Wisatawan mulai berdatangan karena tertarik dengan keelokan Sungai Pusur.
Demi melayani wisatawan, saat itu Komunitas Pusur terpaksa harus menyewa pelampung dan helm dari luar. "Saat itu kami tidak membayangkan Sungai Pusur bakal menjadi objek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara seperti sekarang," kata Aris mengenangkan masa awal berdirinya RTPA.
Lantaran jumlah wisatawan semakin membludak, pada 2015, tercapailah kesepakatan untuk mengelola Sungai Pusur secara profesional dalam nama RTPA. Uang kas yang terkumpul dari pengunjung sejak 2013 diputar menjadi modal untuk melengkapi fasilitas penunjang wisata seperti jembatan bambu, gazebo, dan wahana berswafoto. "Sekarang kami punya seratus set pelampung, helm, sepatu air, dan 120 ban," kata Aris.
Mengandalkan media sosial untuk berpromosi, pendapatan kotor RTPA tiap bulan kini berkisar Rp 30 sampai 40 juta. Pada musim liburan, angka itu melonjak hingga Rp 160 hingga 170 juta per tiga bulan. Setiap pelancong membayar tiket sesuai paket wisata yang dipilih, Rp 50 ribu atau Rp 70 ribu. Yang membedakan dari dua paket itu hanya pada menu makanan yang disajikan di akhir petualangan.
Dari harga tiket tadi, komunitas hanya memungut Rp 15 ribu untuk jasa pemandu. Sisanya buat konsumsi yang dikelola PKK, parkir yang dikelola penduduk sekitar, jasa transportasi pengantar wisatawan ke titik start, jasa dokumentasi, retribusi untuk RT, dan lain-lain.
Seorang pemandu wisatawan di RTPA, Rohman Shodiq, 40 tahun, mengatakan mendapat tambahan penghasilan sekitar Rp 500 ribu per dua bulan. "Jadwal memandu di RTPA itu fleksibel karena mayoritas anggota komunitas juga punya pekerjaan tetap. Kalau kas pemandu sudah terkumpul Rp 5 juta, baru dibagi," kata Rohman.
Sejumlah wisatawan mengisi liburan dengan bermain tubing di River Tubing Pusur Adventure, Desa Wangen, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. TEMPO | Dinda Leo Listy
Keberadaan RTPA juga mendongkrak omzet usaha kerajinan tas dan dompet batik di Desa Wangen. Setelah mengarungi Sungai Pusur, sebagian wisatawan mengisi waktu dengan berbelanja ke rumah-rumah penduduk yang memproduksi tas dan dompet batik. "Ada yang membeli sekadar untuk oleh-oleh. Banyak juga yang membeli untuk dijual lagi karena murah," kata Rohman. Satu kodi dompet batik hanya dibanderol Rp 25 ribu.
Sejumlah warga Dukuh Jragan yang rumahnya dekat dengan basecamp RTPA juga mendapat tambahan penghasilan dari jasa menyediakan kamar mandi untuk berbilas. Cukup letakkan tempolong atau kotak kas tanpa mematok tarif, maka uang akan masuk dengan sendirinya. "Setiap rumah bisa mendapat sekitar Rp 200 ribu setiap bulan," kata Rohman.
Kepala Desa Wangen, Mashudi mengatakan Wangen pada 2018 sudah menyandang predikat Desa Open Defecation Free alias bebas buang air sembarangan. "Sejak Sungai Pusur digarap menjadi objek wisata, masyarakat tidak lagi buang air besar di sungai," katanya. "Kami juga sudah membangun tempat pengelolaan sampah sebagai imbal balik dari penduduk yang tidak lagi membuang sampah ke sungai."
Mashudi menambahkan, Pemerintah Desa Wangen melalui Badan Usaha Milik Desa akan bekerja sama dengan Komunitas RTPA dalam pengembangan wahana wisatanya. Badan Usaha Milik Desa akan melengkapi apa saja yang belum ada di RTPA, seperti rencana pembangunan stan kuliner dan stan produk kerajinan hasil industri rumahan.