ISTILAH-ISTILAH yang dioper dari bahasa asing, memang
seringkali sesudah populer di mulut orang awam kehilangan
arti yang sebenarnya. Misalnya saja apa yang dinamakan
"diskotik" Itu 'kan maunya sebuah rumah musik tempat bersantai
dan berdansa yang tidak memakai hostes alias pramuria. Tapi apa
mau dikata kalau terang-terangan atau gelap-gelapan
diskotik-diskotik pribumi sudah menjadi daerah percaturan
pramuria pula.
Di kawasan Banjarmasin ada yang dahulunya bernama Imperial, dan
sekarang ini lebih suka disebut Blue Sixteen. Menurut
kodratnya, tempat hiburan ini sebuah diskotik. Tetapi dengan
segala pertimbangannya, kenyataannya ia persis sebuah klab
malam. Umum sudah tahu bahwa di BS ini ada band hidup dan
sejumlah pramuria. Sudah tentu Walikotanya juga tahu. Beliau ini
sudah pula berusaha memberi teguran-teguran. Bahkan pers
setempat sudah mengangkat pena dan nyemprot dengan beringas.
Namun apa lacur: baik teguran, sindiran atawa kritik, tak
mempan. BS terus juga bandel, "bagaikan karang diterjang
gelombang", kata orang-orang sana. Yang lain bahkan mengumbar
kasak-kusuk, kalau-kalau BS memang punya beking yang kekar. Toh
BS tetap membatu, biarpun suratkabar lokal Media Masyarakat
bulan Nopember lalu membuat berita: "BS jual hostes!"
Tidak Ada Saingan
Kalau BS tidak sudi menggubris, maka penunjung rupanya kena
teror Juga. Hari demi hari makin langkalah para tamu. Karuan
saja banyak pramuria lalu lebih suka mencari nafkah di Diamond
Club atawa pindah ke Balikpapan. "4 bulan terakhir ini paling
banyak tamu kami 4 atau 5 orang saja setiap malam", bisik
seorang penjaga. Anehnya BS tak berniat menutup usahanya.
Bahkan ngebet mau meningkat kan diri menjadi klab malam. Niat
ini agak menolong, walau izin usaha sudah putus bulan Nopember
itu. Sidik Susanto, walikota Banjarmasin, memhri catatan bahwa
lantaran niat meningkat itu maka izin diskotik itu diperpanjang
2 bulan. "Tapi apabila Gubernur sebagai pemberi izin nite club
tidak mengabulkan permohonan itu, izin disko benar-benar akan
ditarik", ujarnya. Walikota yang pendiam ini pada prinsipnya
tidak menolak bahwa di samping Diamond bakal ada klab malam BS.
Namun ia tak sudi rumah santai itu bercokol di jantung kota.
"Misalnya saja di sekitar Pelabuhan Trisakti atau Banjar-Raya
saja", katanya.
Sementara itu Diamond milik Li Lian masih menikmati monopolinya
sampai saat ini. Dia juga tahu diri, pandai menjaga keamanan
tamu-tamu di samping menyediakan pramuria yang ck, ck, ck. Hanya
cilakanya, merasa diri molek dan tidak punya saingan pramuria
ini kurang siip memberi "service" tetamu. "Salah-salah kita
berbalik menghibur hostes. Padahal kita datang ke situ untuk
dihibur, bukan sebaliknya kan!" ujar langganan-langganan.
Sementara itu perlu diketahu istilah service menurut ukuran
setempat bisa berarti segalanya. Barangkali ini ada hubungannya
dengan sistim borongan dalam buking hostes. Artinya disyaratkan
Rp 5000 untuk mnereka yang pingin ditemani wanita -- di luar
minuman -- untuk waktu satu jam atau sampai bubar. Kalau malam
minggu, manakala ada show istimewa -- striptis misalnya --
mesti tambah Rp 1000 lagi. Dari jumlah tersebut akan meluncur
separuhnya ke dompet hostes yang tak dikontrak perusahaan.
Sedang pramuria yang terikat kontrak, hanya memperoleh Rp 2000
per tamu.
Soal hostes kontrakan ini memang ada datanya tersendiri. Mereka
diberi makan dan minum setiap hari oleh perusahaan, di dalam
rumah tinggal yang jua termasuk jaminan sosial mereka. Yang
penting karena kebanyakan mereka ini berasal dari Jawa, tersedia
pula tiket pesawat pp asal mereka bekerja minimal 3-6 bulan.
Adapun yang non kontrakan, yang ternyata berasal dari
Banjarmasin, tidak ada jaminan apa-apa. Tetapi sebagai
imbalannya mereka tidak mempunyai kewajiban untuk turun saban
malam. Jumlahnya hanya 30O. "Kalau tidak ada yang membuking
yah, berarti tidak dapat duit. Tapi perkara makan-minum, kami
tidak khawatir", kata salah seorang dari mereka yang maaf saja
tidak suka disebut namanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini