MASA Pelita ada juga baiknya, barang-barang antik milik
rakyat Kalimantan Selatan. Tangan Dewan Kesenian daerah
setempat, yang memulai merogoh lubang-luban tua, telah mendapat
bantuan dari Direktorat Kesenian Jakarta Kemudian Himpunan
Masyarakat Sejarahwan Indonesia cabang Banjarmasin pun ikut
campur. Dan manakala ada duit nganggur berupa dana dari Ford
Foundation pertengahan Desember lalu, turunlah sebuah team
peneliti dari dosen-dosen jurusan sejarah dengan program
mengorek "Sisa-sisa Kesenian Tradisionil di Kalangan Rakyat
Kalsel".
Adalah sebuah desa yang bernama Pandahan di kabupaten Tapin
(Hulu Sungai) yang rupanya selama ini penuh kemungkinan yang
menantang untuk digarap. Di sana ada cerita-rakyat berlagu yang
disebut Andi-Andi dan tarian hiburan yang bernama Gandut. Tak
segan-segan team melakukan penyusupan sehingga berhasil juga
mengumpulkan para pelaku Gandut. Meskipun seniman-seniman itu
agak merepotkan. toh mereka berhasil juga digiring ke dalam
ruangan gudang BUUD -- yang untung saja pada masa itu tidak
begitu banyak karung. Dengan sedikit rayuan, sesepuh-sesepuh
Gandut akhirnya suka juga mencak-mencak dan berjingkat di siang
hari bolong dalam panas matahari Desember. Tampaknya sudah
banyak juga yang agak lupa, sehingga terpaksa mengingat-ingat
dulu masa lalu mereka.
Mahir Pencak Silat
"Seharusnya dilakukan malam-malam di bawah cahaya stromking",
ujar Johansyah, salah seorang anggota team. "Bupati Tapin malah
menyarankan agar dilakukan di kabupaten, tapi kami ingin agar
suasana lampung yang intim mendekati keaslian lokasinya. Kami
tak punya lampu sorot untuk memilemkannya, jadi yah apa boleh
buat siang begitulah". Dan siang-siang itu untunglah jago-jago
Gandut cukup tangguh, sehingga team boleh juga tarik nafas lega
menghirup cucur keringatnya sendiri. Di sana tampak Uning,
wanita berusia 55 tahun yang terkenal ulung di masa mudanya.
Tampak juga Cabak lelaki yang 5 tahun lebih muda. Keduanya hanya
sebentar sempat kikuk. Selebihnya, gerakan-gerakan mulai
memperoleh jiwanya yang pernah pingsan ditelan jaman. Tangan dan
kaki mulai mengutarakan perasaan-perasaannya, lalu suasana tak
terasa mulai masuk kekawasan yang romantis di siang bolong itu.
Apalagi penggiringnya adalah biola. babun dan sekali-sekali bisa
suling instrumen yang memang rajanya dalam meremas-remas
suasana.
Marsudi, kepala bidang kesenian P & K Kalsel, mencoba
menerangkan kemiripan Gandut dengan Doger di Jawa Barat,
Ronggeng Madura di Jawa Timur serta Gandrung di Banyuwangi.
Kesemuanya merupakan warna lokal dalam pengutaraan gerak jiwa
yang lagi "kasmaran" -- dengan norma-norma yang merupakan ciri
khas masing-masing sebagai kesenian rakyat. Dalam Gandut ada
yang dinamakan gadur -- sebuah bejana yang tersedia di sisi
gelanggang tatkala penggandut (wanita) menari meliuk-liuk
mengikuti polah lagu. Lelaki-lelaki yang sudah gatal kakinya
untuk memasuki tarian, terlebih dahulu harus melemparkan uang
logam ke dalam gadur, sebelum dia diperbolehkan ikut
meliuk-liuk. Tetapi setelah ia memenuhi syarat, iapun tak boleh
semaunya saja. Karena penggandut juga adalah yang mahir pencak
silat. Ia bisa dengan lihay menepiskan tangan-tangan jahil.
Nilai Kesatrian
Namun ada tetapinya. "Pada lagu Madung-Mandung, pihak pria
boleh pegang apa saja secara halus dan tidak dengan paksaan,
kalau dapat", ujar Lamri Busani, ketua proyek Pengembangan
Kesenian Kanwil Dep. P & K Kalsel. Sambil tersenyum-senyum ia
menambahkan bahwa hal tersebut jarang sekali berhasil, karena
penggandut selalu mahir menguasai tubuh-tubuhnya yang berhahaya
untuk dicomot. Adakalanya dalam bayangan lampu sentuhan-sentuhan
asmara jahil itu berhasil, tetapi sesungguhnya hanya karena
tipuan mata saja. Apalagi dengan adanya yang disebut "kaki
bersih" -- dunia gandut tak sampai lebih dari sekedar hiburan
yang sehat. Pakem itu merupakan kaidah tak tertulis yang
menetapkan bahwa para pelaku gandut harus memegang prinsip
kesucian dan kejujuran menurut ketentuan aturan permainan. "Jadi
di samping mencari hiburan, ia mengandung juga unsur kesatrian
dan keperwiraan", konentar Marsudi. Hebat juga ya.
Tetapi bagaimana pun teorinya, apa yang telah terjadi pantas
juga dilaporkan di sini. Kaidah gandut di masa ramainya memang
pernah juga tidai mempunyai kewibawaan -- sehingga keramaian
gandut tidak jarang berakhir dengan pertumpahan darah. Soalnya
manakala penggandut begitu moleknya, para pria merasa perlu
tidak hanya bersaing secara jujur di dalam gelanggang, tetapi
juga dengan otot mereka di ujung kampung. Apalagi ada gandut
yang disebut ManungguL Dalam gandut ini, seorang pria yang tak
pintar menari, sesudah memasukkan cover charge uang logamnya,
boleh duduk dengan tenang di tengah gelanggang sambil berkelobot
kain sarung menutup mukanya. Penggandut yang digandrunginya
nantinya akan datang juga sambil menari, meliuk-liuk,
menghampiri, lalu -- awas -- duduk di simpuhan pria
mendendangkan lagu-lagu. Sementara bunyi-bunyian ditibuh keras,
mereka bisa saja saling bisik-bisik sehingga "anda" boleh merasa
iri.
Sebagaimana kesenian rakyat yang lain, gandut juga mempunyai
fungsi sosial. Uang logam yang terkumpul, selain akan masuk ke
kocek rombongan gandut, seringkali disalurkan untuk pembuatan
jembatan atau menolong korban kecelakaan yang menimpa desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini