Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Untuk cintaku nataya

Basuki abdullah memamerkan 200 lukisan figuratifnya di flores room hotel borobudur. dengan tema "indonesia dan muangthai indah", lukisannya cukup indah, tapi terasa keluar dari lingkungannya. (sr)

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG banyak mengeluh, merasa bahwa seni bertambah sulit. Bahwasanya lukisan makin lama makin pribadi sifatnya, makin terisolir dari kenyataan, makin jauh dari lingkungan -- sehingga kehilangan fungsi sosialnya, baik sebagai pencatat derap jaman maupun sebagai hiburan di atas dinding meja tamu. Terhadap orang-orang yang mengeluh itu, Basuki Abdullah membawa kabar yang menggembirakan. Dengan dibuka oleh ibu Tien Soeharto serta disponsori Adam Malik, sejumlah 200 lebih lukisan pelukis kawakan ini dipamerkan di Flores Room Hotel Borobudur (25-31 Januari). Di sana, dengan membayar sumbangan Rp 500 dan separuhnya untuk pelajar (semuanya untuk dana sumbangan DKI) --dengan sepuas-puasnya dapat dilihat lukisan figuratif, berupa perempuan-perempuan cantik, baik dia nyonya, nona, bintang film, pelajar, anak desa atau penari. Dapat juga dilihat wajah-wajah terkenal dalam senyuman keluarga mereka yang teduh. Dapat dilihat gajah, macan, burung-burung, hutan, kuda, laut dan sebagainya yang dengan warna yang empuk kadangkala menyala seperti kembang gula yang manis. Dengan tema "Indonesia dan Muangthai Indah" pameran yang hanya juga mendapat kunjungan itu, sekaligus barangkali boleh jadi jawaban, bahwasanya masih tetap juga hidup senilukis yang semata-mata ingin menyajikan moleknya sosok-sosok yang nyata dapat dilihat dalam kehidupan ini. Tentu ada orang yang menyebut pelukis istana ini hanya sekedar tukang. Tapi tak dapat dipungkiri lagi bahwa Basuki Abdullah telah hadir, melukis demi kecantikan, dan berhasil hidup dengan layak dari hasil kerjanya itu. Salah satu lukisannya yang terkenal di kalangan masyarakat yang berjudul Diponegoro (27-12-1946) ikut pula nyempil di sebuah sudut pameran. Tapi dengan agak mengherankan, ia kelihatan jauh lebih berjiwa ketimbang lukisan-lukisannya lainnya. Tidak saja karena suasana jauh berbeda, suasana bergolak (lukisan-lukisan lain membersitkan suasana mapan pada periode-periode yang terakhir) -- tapi karena dia semata-mata tidak diciptakan demi kemolekan. Ada semangat jujur yang mendukung di belakangnya. Sehingga Diponegoro itu tidak hanya hasil ketrampilan mempergunakan kwas dan mengatur komposisi warna. Bau darah kepahlawanan yang mau dia sabet sempat ditampilkan dalam warna yang didominir oleh coklat. Meskipun daya pukaunya tidak seberapa, karena kehendak mengidealisir kepahlawanan jauh lebih diutamakan, sehingga hasilnya lebih terasa melamun daripada menampilkan. Ini bedanya Diponegoro Basuki Abdullah dengan Diponegoro dari Raden Saleh. Sudah jelas bahwa Basuki Abdullah sengaja tidak berusaha menjadi pelukis realis. Dia lebih condong pada seorang yang romantis, yang mengutamakan realisme wadag dan seringkali mengurbankan kenyataan-kenyataan yang lain. Penyulapan yang boleh saja dianggap sah, karena memang diniatkan. Rahayu Effendi "Untuk Nataya Tjintaku dari lakimu Basuki Abdullah", tulis pelukis ini di salah sebuah lukisannya. Kata-kata ini seakan-akan tampak pula setiap kali di samping tanda tangannya -- karena setiap lukisannya tidak menyembunyikan hasrat untuk memanjakan, meninabobokkan, kadangkala memuja subjek-subjeknya. Kanvasnya rata-rata jadi dongeng yang ramah dan segar -- seperti cerita-cerita sebelum tidur untuk mengantarkan mimpi-mimpi yang indah, sementara hidup persis berada dalam kondisi sebaliknya. Apalagi ia tak bisa mengekang dirinya untuk memberi komentar-komentar, yang kadangkala terasa sebagai kata-kata rayuan di dalam judul-judul lukisannya. Beberapa judul terasa pula bombastis. Misalnya ini: "Cinta Kepada Rakyat Adalah Sesuatu Yang Indah", "Menang Yang Tak Ada Faedahnya", "Pertahankan Kesenian Sepanjang Masa", "Perasaan Jutawan", dan sebagainya. Judul-judul ini tampaknya dirumuskan belakangan. Sementara ide-ide yang mendukung setiap kanvas bukanlah keinginan untuk menampilkan sesuatu secara kompleks lengkap, dengan segala kaitannya yang wajar dengan sekelilingnya dalam kehidupan yang nyata. Tapi sebuah lubang berfilter yang hanya menampakkan hal-hal yang melegakan hati. Karena itu kalau ia melukis kuda termasuk objek yang disukainya -- kudanya tidak mencerminkan kuda pada umumnya yang sering dianggap sebagai lambang kejantanan yang dinamis itu. Kalau ia melukis macan, tak terasa naluri rimba di mana satu-satunya hukum adalah siapa kuat dia menang. Yang kelihatan adalah macan-macan sirkus. Dan kalau ia melukis perempuan yang nampak bukanlah Rahayu Effendi, nyonya Naro, nyonya Sumi Hakim dan sebagainya, tetapi dewi-dewi kayangan yang terlepas dari nafas dan panas sehari-hari. Dan kalau ia melukis alam, yang tampil adalah benda-benda yang sudah dilepas dari lingkungannya. Gadis Telanjang Basuki Abdullah adalah seorang tukang rias yang ulung. Seorang tuan rumah yang ramah sekali karena maunya menggembirakan tamu-tamunya dengan segala macam gula-gula. Namun demikian seringkali pula ia berhasil menyuguhkan sesuatu keharuan yang wajar seperti tampak dalam Laut (121) yang menampilkan hamparan laut biru yang tenang tetapi penuh rahasia. Ia juga menangkap suasana dalam Randa (204) -- sebuah dongeng di Bali sesudah seringkali gagal menampilkan ekspresi penari-penari Bali dalam banyak kanvasnya. Beberapa potretnya terutama wajah anak-anak (tak ada nomor), membersitkan pengamatan yang lebih sungguh-sungguh dan wajar ketimbang potret-potret wanita cantik sehingga kanvasnya sempat melantunkan dialog di samping pameran kelancaran menyapukan kwas. Tapi agaknya pelukis ini memang lebih berhasil kalau memilih objek-objek dari "lakon", "cerita rakyat" atau "dongeng-dongeng" seperti lukisan-lukisannya yang kita lihat dalam Koleksi Soekarno -- baik bernama Jaka Tarub, Nyai Roro Kidul atau Rahwana yang sedang memperebutkan Dewi Sinta melawan Jatayu di udara. Ini cocok dengan arus khayalannya yang suka mempermolek segala sesuatu. Sedangkan kalau ia mencoba melukis tukang becak, pengemis, orang tua, penari Bali, atau suasana-suasana sehari-hari yang lain, ia selalu tampak kelebihan, karena bau salonnya seakan-akan parfum yang meskipun mahal tetapi kelewatan dosisnya. Dalam pameran yang juga menjual buku kecil reproduksi beberapa lukisan (Rp 2.500) ini, terlihat juga beberapa usaha Basuki untuk meninggalkan keroyalannya pada warna dan sapuan-sapuan bidang. Beberapa lukisannya seperti Ramayana 9 ( 176) dan Tarian dari Negara Muangthai (4) misalnya, hanya berwarna putih kelabu. Sementara pada beberapa lukisan potret yang lain, sejumlah bidang dibiarkan kosong, sehingga garis-garis memperoleh peran yang lebih besar dari sebelumnya. Hanya saja belum tampak garis-garis yang kuat untuk mendukung peranan baru itu, sehingga kita lebih yakin lagi bahwa kemahiran pelukis ini memang pada sapuan bidang. Potret Adam Malik dan Isteriku -- merupakan contoh yang baik untuk usaha untuk selektif ini. Tapi usahanya yang lain yang kelihatannya mau simbolis -- seperti terlihat pada Di mana ada sinar di situ ada bayangan (177), yang memperlihatkan seorang wanita telanjang menaiki kuda dengan separuh badan memutih dan separuh kelam, masih terasa baru mencoba-coba dan tidak jujur. Jauh lebih meyakinkan gadis telanjangnya yang lain, di atas kuda putih di samping kuda hitam di pantai (91), atau gadis telanjangnya yang lain (132) yang terang-terangan saja tak menyembunyikan ketelanjangan yang mirip gadis model kalender tanpa dalih simbolis-simbolisan. Adanya usaha menampilkan seni Basuki Abdullah ini sangat bermanfaat, untuk memuaskan hasrat pencinta senilukis salon yang selama ini merasa dikibuli melulu oleh apa yang dinamakan senilukis "kontemporer". Pameran ini juga suatu gejala sosial-budaya Indonesia dewasa ini, karena ia mencerminkan selera kalangan atas kita dan lingkungannya. Singkatnya, penting -- bahkan bersejarah. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus