ORANG banyak mengeluh, merasa bahwa seni bertambah sulit.
Bahwasanya lukisan makin lama makin pribadi sifatnya, makin
terisolir dari kenyataan, makin jauh dari lingkungan -- sehingga
kehilangan fungsi sosialnya, baik sebagai pencatat derap jaman
maupun sebagai hiburan di atas dinding meja tamu.
Terhadap orang-orang yang mengeluh itu, Basuki Abdullah membawa
kabar yang menggembirakan. Dengan dibuka oleh ibu Tien Soeharto
serta disponsori Adam Malik, sejumlah 200 lebih lukisan pelukis
kawakan ini dipamerkan di Flores Room Hotel Borobudur (25-31
Januari). Di sana, dengan membayar sumbangan Rp 500 dan
separuhnya untuk pelajar (semuanya untuk dana sumbangan DKI)
--dengan sepuas-puasnya dapat dilihat lukisan figuratif, berupa
perempuan-perempuan cantik, baik dia nyonya, nona, bintang film,
pelajar, anak desa atau penari. Dapat juga dilihat wajah-wajah
terkenal dalam senyuman keluarga mereka yang teduh. Dapat
dilihat gajah, macan, burung-burung, hutan, kuda, laut dan
sebagainya yang dengan warna yang empuk kadangkala menyala
seperti kembang gula yang manis.
Dengan tema "Indonesia dan Muangthai Indah" pameran yang hanya
juga mendapat kunjungan itu, sekaligus barangkali boleh jadi
jawaban, bahwasanya masih tetap juga hidup senilukis yang
semata-mata ingin menyajikan moleknya sosok-sosok yang nyata
dapat dilihat dalam kehidupan ini. Tentu ada orang yang menyebut
pelukis istana ini hanya sekedar tukang. Tapi tak dapat
dipungkiri lagi bahwa Basuki Abdullah telah hadir, melukis demi
kecantikan, dan berhasil hidup dengan layak dari hasil kerjanya
itu. Salah satu lukisannya yang terkenal di kalangan masyarakat
yang berjudul Diponegoro (27-12-1946) ikut pula nyempil di
sebuah sudut pameran. Tapi dengan agak mengherankan, ia
kelihatan jauh lebih berjiwa ketimbang lukisan-lukisannya
lainnya. Tidak saja karena suasana jauh berbeda, suasana
bergolak (lukisan-lukisan lain membersitkan suasana mapan pada
periode-periode yang terakhir) -- tapi karena dia semata-mata
tidak diciptakan demi kemolekan. Ada semangat jujur yang
mendukung di belakangnya. Sehingga Diponegoro itu tidak hanya
hasil ketrampilan mempergunakan kwas dan mengatur komposisi
warna. Bau darah kepahlawanan yang mau dia sabet sempat
ditampilkan dalam warna yang didominir oleh coklat. Meskipun
daya pukaunya tidak seberapa, karena kehendak mengidealisir
kepahlawanan jauh lebih diutamakan, sehingga hasilnya lebih
terasa melamun daripada menampilkan. Ini bedanya Diponegoro
Basuki Abdullah dengan Diponegoro dari Raden Saleh. Sudah jelas
bahwa Basuki Abdullah sengaja tidak berusaha menjadi pelukis
realis. Dia lebih condong pada seorang yang romantis, yang
mengutamakan realisme wadag dan seringkali mengurbankan
kenyataan-kenyataan yang lain. Penyulapan yang boleh saja
dianggap sah, karena memang diniatkan.
Rahayu Effendi
"Untuk Nataya Tjintaku dari lakimu Basuki Abdullah", tulis
pelukis ini di salah sebuah lukisannya. Kata-kata ini
seakan-akan tampak pula setiap kali di samping tanda tangannya
-- karena setiap lukisannya tidak menyembunyikan hasrat untuk
memanjakan, meninabobokkan, kadangkala memuja subjek-subjeknya.
Kanvasnya rata-rata jadi dongeng yang ramah dan segar -- seperti
cerita-cerita sebelum tidur untuk mengantarkan mimpi-mimpi yang
indah, sementara hidup persis berada dalam kondisi sebaliknya.
Apalagi ia tak bisa mengekang dirinya untuk memberi
komentar-komentar, yang kadangkala terasa sebagai kata-kata
rayuan di dalam judul-judul lukisannya. Beberapa judul terasa
pula bombastis. Misalnya ini: "Cinta Kepada Rakyat Adalah
Sesuatu Yang Indah", "Menang Yang Tak Ada Faedahnya",
"Pertahankan Kesenian Sepanjang Masa", "Perasaan Jutawan", dan
sebagainya.
Judul-judul ini tampaknya dirumuskan belakangan. Sementara
ide-ide yang mendukung setiap kanvas bukanlah keinginan untuk
menampilkan sesuatu secara kompleks lengkap, dengan segala
kaitannya yang wajar dengan sekelilingnya dalam kehidupan yang
nyata. Tapi sebuah lubang berfilter yang hanya menampakkan
hal-hal yang melegakan hati. Karena itu kalau ia melukis kuda
termasuk objek yang disukainya -- kudanya tidak mencerminkan
kuda pada umumnya yang sering dianggap sebagai lambang
kejantanan yang dinamis itu. Kalau ia melukis macan, tak terasa
naluri rimba di mana satu-satunya hukum adalah siapa kuat dia
menang. Yang kelihatan adalah macan-macan sirkus. Dan kalau ia
melukis perempuan yang nampak bukanlah Rahayu Effendi, nyonya
Naro, nyonya Sumi Hakim dan sebagainya, tetapi dewi-dewi
kayangan yang terlepas dari nafas dan panas sehari-hari. Dan
kalau ia melukis alam, yang tampil adalah benda-benda yang sudah
dilepas dari lingkungannya.
Gadis Telanjang
Basuki Abdullah adalah seorang tukang rias yang ulung. Seorang
tuan rumah yang ramah sekali karena maunya menggembirakan
tamu-tamunya dengan segala macam gula-gula. Namun demikian
seringkali pula ia berhasil menyuguhkan sesuatu keharuan yang
wajar seperti tampak dalam Laut (121) yang menampilkan hamparan
laut biru yang tenang tetapi penuh rahasia. Ia juga menangkap
suasana dalam Randa (204) -- sebuah dongeng di Bali sesudah
seringkali gagal menampilkan ekspresi penari-penari Bali dalam
banyak kanvasnya. Beberapa potretnya terutama wajah anak-anak
(tak ada nomor), membersitkan pengamatan yang lebih
sungguh-sungguh dan wajar ketimbang potret-potret wanita cantik
sehingga kanvasnya sempat melantunkan dialog di samping pameran
kelancaran menyapukan kwas. Tapi agaknya pelukis ini memang
lebih berhasil kalau memilih objek-objek dari "lakon", "cerita
rakyat" atau "dongeng-dongeng" seperti lukisan-lukisannya yang
kita lihat dalam Koleksi Soekarno -- baik bernama Jaka Tarub,
Nyai Roro Kidul atau Rahwana yang sedang memperebutkan Dewi
Sinta melawan Jatayu di udara. Ini cocok dengan arus khayalannya
yang suka mempermolek segala sesuatu. Sedangkan kalau ia mencoba
melukis tukang becak, pengemis, orang tua, penari Bali, atau
suasana-suasana sehari-hari yang lain, ia selalu tampak
kelebihan, karena bau salonnya seakan-akan parfum yang meskipun
mahal tetapi kelewatan dosisnya.
Dalam pameran yang juga menjual buku kecil reproduksi beberapa
lukisan (Rp 2.500) ini, terlihat juga beberapa usaha Basuki
untuk meninggalkan keroyalannya pada warna dan sapuan-sapuan
bidang. Beberapa lukisannya seperti Ramayana 9 ( 176) dan Tarian
dari Negara Muangthai (4) misalnya, hanya berwarna putih
kelabu. Sementara pada beberapa lukisan potret yang lain,
sejumlah bidang dibiarkan kosong, sehingga garis-garis
memperoleh peran yang lebih besar dari sebelumnya. Hanya saja
belum tampak garis-garis yang kuat untuk mendukung peranan baru
itu, sehingga kita lebih yakin lagi bahwa kemahiran pelukis ini
memang pada sapuan bidang. Potret Adam Malik dan Isteriku --
merupakan contoh yang baik untuk usaha untuk selektif ini. Tapi
usahanya yang lain yang kelihatannya mau simbolis -- seperti
terlihat pada Di mana ada sinar di situ ada bayangan (177), yang
memperlihatkan seorang wanita telanjang menaiki kuda dengan
separuh badan memutih dan separuh kelam, masih terasa baru
mencoba-coba dan tidak jujur. Jauh lebih meyakinkan gadis
telanjangnya yang lain, di atas kuda putih di samping kuda hitam
di pantai (91), atau gadis telanjangnya yang lain (132) yang
terang-terangan saja tak menyembunyikan ketelanjangan yang mirip
gadis model kalender tanpa dalih simbolis-simbolisan.
Adanya usaha menampilkan seni Basuki Abdullah ini sangat
bermanfaat, untuk memuaskan hasrat pencinta senilukis salon yang
selama ini merasa dikibuli melulu oleh apa yang dinamakan
senilukis "kontemporer". Pameran ini juga suatu gejala
sosial-budaya Indonesia dewasa ini, karena ia mencerminkan
selera kalangan atas kita dan lingkungannya. Singkatnya, penting
-- bahkan bersejarah.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini