10 Januari yang lalu. Ketua Badan Sensor Film (BSF) menulis
surat hepada Turino Junaidy, Direktur P.T. Sarinande Film di
Jakarta. "Dengan ini kami beritahukan bahwa BSF dalam sidang
plenonya hari ini untuk menilai film Krisis X yang diproduksi
oleh Saudara telah memutuskan untuk melarang film tersebut
dipertunjukkan kepada umum . . . ", begitu Soemarmo memulai
suratnya. Bukan tanpa alasan keputusan tersebut. Ini alasan di
balik keputusan itu: 'Film ini dapat memberi pengaruh negatif
terhadap masyarakat dari segi: a. keamanan dan ketertiban
masyarakat yang menyangkut penggunaan senjata api dan pembunuhan
secara sewenang-wenang oleh anak-anak muda, dan kritik-kritik
yang dapat merangsang timbulnya gejolak sosial b. moral yang
menyangkut penggambaran adegan-adegan dan dialog yang
menyinggung perasaan susila dan kesopanan Timur".
Dan film itu hanya bisa diizinkan beredar kalau pemiliknya mau
melakukan revisi. 'Kalau film asing sih, kita tolak saja, beres.
Tapi ini modal dalan negeri, kasian kan?", begitu seorang
anggota BSF memberi komentar. Turino jelas tidak langsung
menerima begitu saja putusan orang-orang yang berkumpul dan
bersidang di bioskop kecil jalan Agussalim itu. Dua puluh empat
jam setelah menerima surat dari ketua LSF, Soemarmo, Turino pun
mengirimkan balasannya. Jauh lebih panjang dari surat yang harus
dijawabnya, pemilik Sarinande Film dan memulai suratnya dengan
janji memberi kehormatan kepada surat Soemarmo untuk diberi
"bingkai dan disimpan di sinematek Pusat Perfilman Nasional
sebagai suatu peristiwa penting dalam sejarah film Indonesia".
Tidak lupa Turino juga berkisah tentang kehidupannya sebagai
orang film selama 17 tahun terakhir dan "selama itu
alhamdulillah film-film yang saya buat belum pernah dijatuhi
hukuman mati seperti sekarang"
Sudah harus dipastikan bahwa lewat surat yang lumayan panjangnya
itu Turino akan mencoba membela filmnya. Sebab dengan menerima
begitu saja keputusan BSF berarti sejumlah uang harus ia
keluarkan untuk revisi. "Saya kira adegan-adegan yang ada dalam
Krisis X itu belum seberapa kalau dibandingkan dengan
adegan-adegan yang ada dalam film Barat", kata Turino. Bahkan
menurut Turino, adegan-adegan yang ia tampilkan dulu (1970)
dalam film Bernafsu Dalam Lumpur lebih berani dari pada dalam
film terbaru yang lagi naas itu. Tanya Turino: "Kenapa Bernafas
Dalam Lumpur bisa lolos dan Krisis X tidak?". Jawab A. Karim,
anggota BSF: "Film ini terlalu obral senjata api, dan ini
menunjukkan betapa mudahnya orang main hakim sendiri". Sembari
berkata demikian, Karim yang menjadi anggota BSF sejak belasan
tahun silam, tidak lupa pula memuji tema pilihan Turino itu.
"Sayangnya tema yang baik terasa hanya menyelimuti keseluruhan
film, sehingga tidak ada keseimbangan antara isi dan
penyampaiannya", tambah Karim pula.
Kebobrokan
Turino Junaidy bukan tidak punya jawaban terhadap argumentasi
Karim. Tapi debat yang timbul dari jawaban itu akhirnya toh sama
saja dengan debat-debat yang dulu berputar di sekitar keputusan
BSF untuk juga melarang peredaran (sebelum direvisi) film-film
Manusia Tera*hir, Akhir Cinta Di Atas Bukit dan Mimpi Sedih. Si
pembuat film merasa menggambarkan kebobrokan dalam masyarakat,
BSF berkesimpulan bahwa penggambaran itu tidak proporsionil
terlalu dilebih-lebihkan. Karena itu lebih baik kita dengar
alasan Turino membuat film yang kabarnya cukup "berani" itu.
"Melihat gejala-gejala yang akan melumpuhkan kembali industri
film nasional, saya menjadi cemas, lebih cemas dari pada di
tahun 1970", tulis Turino dalam suratnya. Seperti sudah bisa
diduga, yang menjadi sumber kecemasn tokoh kita ini adalah
film-film impor itu. "Sekarang film-film demikian diperbolehkan
masuk ke negeri ini, dan film-film itu umumnya dibuat oleh
orang-orang yang berkesusilaan Timur seperti Hongkong, Pilipina,
Jepang, Korea dan Taiwan ...".
Sembari merenung dan mereka-reka kemungkinan bersaing dengan
film impor yang terus membanjiri pasaran Indonesia, Turino tiba
pada pertanyaan ini: "Mampukah film-film komedi konyol dan
percintaan cengeng merebut selera penonton yang tlah rusak,
dirusakkan oleh film-film luar negeri?" Pertanyaan Turino lewat
surat ini mengejutkan seorang anggota BSF. "Lho, apa Turino
mengira bahwa film yang kita loloskan di sini semua film-film
sex bunuh-bunuhan serta segala macam kekasaran?" Menurut anggota
yang segan namanya masuk koran itu, kesalahan terbesar yang
dilakukan Turino bersumber pada seleranya sendiri yang cuma
sanggup berkelahi dengan film murah yang masuk kemari dan
pura-pura tidak tahu danya sejumlah film bermutu yang juga
beredar di Indonesia. "Kok yang dijadikan ukuran yang
konyol-konyol dari Hongkong, kenapa tidak film-film Perancis
yang halus dengan ongkos pembuatan yang juga tidak mahal"
Debat macam ini bisa tidak habis sampai tua. Yang jelas Turino
risau lantaran koceknya -- dan katakanlah juga kehendaknya
bekerja -- terancam. Tapi sebelum semuanya terlanjur, kabarnya
peringatan halus sudah pula sampai ke kantor PT Sarinande. Ini
komentar Haji Djohardin, Direktur Pembinaan Film Deppen: "Kalau
Sarinande mau mendengarkan saran kami dengan meninjau kembali
soal porno dan adegan yang menyinggung pemerintahan, saya kira
BSF akan meloloskannya". Alasannya, pak? "Yah, karena adegan
yang demikian itu belum cocok dengan kondisi masyarakat kita",
jawab Djohardin.
Turino boleh mengungkapkan segala perjuangannya dalam dunia film
selama 17 tahun dan bahwa "perusahaan milik pribumi 100 persen
ini tidak memiliki modal kuat, seluruhnya sudah tertanam dalam
film Krisis X", tapi kalau itu dinilai oleh yang berkuasa
sebagai "belum cocok dengan kondisi masyarakat", yah, apa boleh
buat. Dan Turino pun tahu diri, karena itu film yang sudah ia
revisi kini dikembalikannya lagi ke BSF. "Kalau ini juga gagal,
terpaksa saya mulai dari bawah lagi", pasrah Turino. Harap
dicatat bahwa kata "dari bawah" di sini tidak lalu berarti mulai
kumpul uang dari sana-sini. Sebab selain bonafide, Sarinande
adalah satu-satunya perusahaan film Indonesia yang mempunyai
peralatan paling lengkap, dan lantaran itu antara lain maka
biaya produksinya selalu berhasil ditekan amat rendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini