NAMANYA Muharni. Gadis bongsor bertubuh gempal ini berusia 19 tahun. Wajahnya lumayan. Melihat dia hati siapa tak tertawan? Di antara yang tergoda itu, rupanya, Sain Bagindo. Dan Bagindo nan 42 tahun ini tak lain, ya, ayah tiri Muharni sendiri. Kisah tanda tanda zaman ini bermula di Minggu, April 1985. Lokasinya tak jauh dari musibah longsor dua bulan lalu, di Kelurahan Tanah Hitam, Padangpanjang, Sumatera Barat. Rumah papan yang sedang sepi itu berlantai tanah. Nurbaini, ibu kandung Muharni, ke pasar, tetap kedua adiknya sibuk bermain. Muharni menyetrika pakaian di kamarnya. Tak perlu diceritakan apa yang menyusul kemudian. Bagindo yang berkulit hitam langsung menyergap anak tirinya itu. Gadis kelas II SMA Negeri di Padangpanjang ini meronta, berhasil lolos. Bagindo mengancam, "Awas, kalau tak mau, ibumu akan kuceraikan." Muharni tak berdaya. Gadis berkulit putih bersih tadi akhirnya elok badan. Ibu kandungnya curiga. Nurbaini, bekas janda itu, mengusut. Tapi: si suami enteng saja mengaku. "Ambo talonsong, maafkan ambo (Saya telanjur, maafkan saya)," kata Bagindo. Pada Januari 1986, Muharni melahirkan. Dan suami- istri itu membidani cucunya sendiri. Kemudian, entah bagaimana, si cucu meninggal dan dikuburkan di dapur. Yang jelas, mereka aman sementara, karena aib keluarga bisa ditutupi. Arkian, si ibu kembali melepas suami dan anaknya berangkat ke sekolah. Sudah 15 tahun Bagindo bekerja di SMA Negeri tempat anak tirinya itu belajar. Ia mulai dari pegawai honorer dengan jabatan tukang sapu, sampai kini jadi tata usaha. Suatu malam, September tahun lalu, Nurbaini sendiri memergoki suaminya memaksakan kehendaknya pada Muharni. Sumpah-serapah pun muncrat dari mulutnya. Lagi-lagi Bagindo mengancam: akan menceraikan perempuan berambut keriting itu bila dia macam-macam. Sejak itu, Bagindo makin kental berkawan dengan setan. Ia tak peduli lagi pada derita Muharni. Padahal, setelah ia mengawini Nurbaini, sebagai istri ketiga, ia beroleh anak satu. Dari istri kedua, di tempat lain, Bagindo dapat sembilan anak. Istri pertama dicerainya, karena perempuan itu tak memberi keturunan. Karena adegan laknat sudah sering berulang, Muharni yang malang itu hamil lagi. Seperti ketika hamil pertama, Muharni tak masuk sekolah. Bagindo selalu mengabarkan anak tirinya itu sakit. Ketika cucu kedua lahir, 15 Mei 1987 lalu, kembali dibidani sendiri oleh nenek dan ayahnya. Tapi bayi itu "mendadak" meninggal, dan dikuburkan di belakang dapur. Muharni, ibu muda itu, mengalami pendarahan parah. Kepalanya pusing, kendati Bagindo memberinya obat antipusing. Tapi Muharni bukannya semakin baik. Tubuhnya lemas dan sering menggigil. Buru-buru Bagindo membawanya ke puskesmas setempat. Lantaran keadaannya gawat, kemudian Muharni dikirim ke Rumah Sakit Padangpanjang. Para dokter curiga, antara lain, karena payudara Muharni menitikkan air susu. Anak perempuan ini lalu dikirim ke Bagian Kebidanan RS Dokter Achmad Mochtar di Bukittinggi. Lima hari dirawat di sini, Muharni hendak dijemput ayah tirinya. Tapi dokter belum mengizinkan. Muharni masih harus dirawat lagi. Bagindo ngotot, sampai-sampai ia bersitegang urat leher dengan para petugas satuan keamanan Rumah Sakit. Tapi gara-gara itu, akhirnya polisi campur tangan. Karena dokter melapor. Bagindo ditahan. Dan ada kejutan: ia blak-blakan mengaku telah membunuh kedua cucu yang sekaligus anak dari benihnya sendiri. Cucu pertama dicekik, begitu lahir. Tetapi cucu kedua dijerat lehernya dengan tali plastik. Mayat kedua bayi dikubur di tempat-tempat itu, setahu si nenek pula. Nurbaini memang tak ditahan. "Kalau ia ikut ditahan, siapa lagi yang akan menghidupi anak-anaknya?" kata Lettu Faisal Abdul Nascr, Kapolsektif Padangpanjang. Muharni juga boleh di rumah, tak ditahan, karena Pak Polisi menaruh kasihan padanya. Dalam pemeriksaan, Bagindo mengakui semua perbuatannya. Termasuk bagaimana dia mencekik dan menguburkan kedua korbannya. Ia juga menurut ketika diminta polisi agar menggali kembali kuburan kedua anaknya sendiri itu. Kuburan pertama, jaraknya hanya 30 cm dari tungku tempat istri Bagindo memasak. Lubang kuburan dalamnya setengah meter, diberi pagar keliling dengan bambu. Gundukan tanah di atasnya juga dipagar, dan ditutup rapat dengan bambu pula. Nurbaini biasa meletakkan periuk nasinya di atas kuburan itu. Di sana ditemukan tulang-belulang bayi yang mulai melapuk, terbungkus kain kelambu warna putih. Kuburan kedua, tiga meter di luar dapur. Di sana ditemukan mayat bayi terbungkus plastik yang sudah membusuk. Pada lehernya yang mulai hancur, masih melingkar seutas tali plastik. "Bayi itu saya jerat dengan tali ini, yang disodorkan istri saya," kata Bagindo terbata-bata. Orang Padangpanjang gempar. Apalagi selama ini keluarga Bagindo dikenal damai. Tak pernah terdengar mereka bertengkar. Mereka juga tak percaya Bagindo bisa sekejam itu. Penduduk Kelurahan Tanah Hitam tak pernah tahu apa yang terjadi di rumah Sain Bagindo. Rumah papan ukuran 6 X 12 m itu berada di ujung lereng perbukitan, berhutan bambu lebat. Deburan air di kali, di samping rumah itu, sangat bising. Jalan setapak di depan rumah, sepi. Siang hari, hampir semua penduduk mencari nafkah ke pusat kota. Nurbaini luluh lantaklah hatinya. Ia tak bisa berucap sepatah, ketika polisi memeriksanya. Tapi dengan tenang Muharni berkata, sendu, "Emak tak usahlah takut. Ceritakan semuanya, biar orang tahu bagaimana nasib kita." Akan halnya Bagindo? Ia membentur-benturkan kepalanya ke dinding kamar tahanan. Ia berteriak-teriak histeris, "Hukumlah saya, hukumlah saya. Tapi jangan berhentikan saya sebagai pegawai negeri ...." Laporan Fachrul Rasyid H.F. (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini